Pemuda Muhammad Dan Bi’tsah (Pengangkatan)

ab : PERIODE MAKKAH
Sub : Dari Bi’tsah Hingga Hijrah


 
Rasulullah Saw berumur 35 tahun saat dilakukan perbaikan bangunan Ka’bah oleh kaum Quraisy. Mereka bermaksud memberi atap pada Ka’bah. Ketika pembangunan sampai pada rukun (sudut Ka’bah) mereka berselisih tentang Hajar Aswad. Tiap suku ingin memperoleh kehormatan meletakkannya.

Nyaris terjadi perang hingga mereka sepakat orang pertama yang masuk Masjidil Haram akan memutuskan permasalahan. Muhammad yang masuk, mereka pun rela. Muhammad meletakkan Hajar Aswad di atas kain dan berkata “tiap suku memegang sudut kain, angkat bersama-sama”. Setelah sampai beliau yang memasangnya. Begitulah Muhammad berhasil mncegah terjadinya perang dengan penuh kebijaksanaan. Beliau menajadi rahmat di kalangan umatnya yang tidak bisa baca tulis.

Muhammad mendapati dalam dirinya kegelisahan yang misterius. Tidak tahu dari mana dan sampai kapan. Tidak terpikir sedikitpun wahyu akan sgera datang. Muhammad saw genap berusia 40 tahun. Kegelisahan tersebut mendorongnya untuk senang menyendiri. Meninggalkan rumah, merambah celah-celah bukit batu Mekah.
Rasulullah saw bersabda:
“Aku benar-benar mengenal batu di Mekah. Ia senantiasa mengucapkan salam padaku sebelum aku diangkat menjadi Nabi”.
Muhammad menyepi di gua Hira’ beberapa mlm berturut-turut dengan membawa bekal. Beliau beribadah dan berdoa menurut millah agama Ibrahim yang lurus dan fitrah.

Muhammad dan Bi’tsah .. bagaikan berita gembira di suatu pagi dan terbitnya kebahagiaan. Itulah Bi’tsah (pengangkatan Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul). Dalam satu kesempatan, datanglah pada beliau hari yang telah ditetapkan. Saat itu tgl 17 Ramadhan tahun ke 41 sejak kelahiran atau 6 Agustus 610M.

Ketika itu beliau dalam keadaan terjaga dan sadar sepenuhnya. Malaikat mendatanginya seraya berkata “Bacalah”, beliau menjawab “Aku tidak bisa membaca”. Rasulullah bercerita “Ia menarik dan mendekapku hingga aku kepayahan. Ia lepaskan dan kembali berkata, “Bacalah!”, “Aku tidak bisa membaca” jawabku. Begitulah hingga tiga kali. Kemudian malaikat melepaskannya dan mengatakan “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan ..” (Al-Alaq 1-5)

Itulah hari pertama kenabian & wahyu pertama Al-Quran, dengan penyebutan qalam(pena) pada seorang ummi yang tinggal di negeri yang sulit ditemukan pena. Rasulullah saw merasa ketakutan. Masa fatrah (masa vakum kenabian) memang berlangsung lama. Beliau kawatir dan pulang ke rumah dengan gemetar.

Ketika sampai di rumah, Muhammad saw berkata pada istrinya, “selimuti aku, selimuti aku, aku sangat takut”. Kadhijah menanyakan apa sebabnya. Rasulullah saw menceritakan kisahnya. Kadhijah pun memahami karena beliau wanita yang cerdas. Ia sering mendengar tentang kenabian dan malaikat.
Maka Kadhijah pun berkata dengan penuh kekuatan, keimanan dan dukungan :
“Tidak akan terjadi apa-apa! Demi Allah, Dia tidak akan mempermalukan engkau. Engkau menyambung hub. kasih sayang, meringankan beban orang-orang yang menderita, memberi orang yang kehilangan, menghormati tamu dan selalu menolong”***

Klik: http://boemi-islam.net >>

Pelajaran dari Perang Badar


Perang badar yang penuh berkah terjadi pada hari Jum’at 17 Ramadhan tahun ke- 2H, peperangan yang mesihkan antara haq dan bathil, maka oleh Allah Ta’ala dinamakan dengan Yaum Furqan (hari pembeda).

Latar belakang peperangan ini, Suatu ketika terdengarlah kabar di kalangan kaum muslimin Madinah bahwa Abu Sufyan beserta kafilah dagangnya, hendak berangkat pulang dari Syam menuju Mekkah. Jalan mudah dan terdekat untuk perjalanan Syam menuju Mekkah harus melewati Madinah. Kesempatan berharga ini dimanfaatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat untuk merampas barang dagangan mereka.

Selanjutnya Rasulullah Shallallahu a’alaihi wa sallam bersama tiga ratus sekian belas sahabat dari muhajirin dan anshar, Rasulullah tidak membuat persiapan besar untuk keluar ke Badar, mereka tidak berangkat kecuali hanya membawa satu atau dua kuda perang, dan tujuh puluh onta setiap onta dinaikin dua atau tiga orang.

Adapun tentara musyrikin jumlahnya sekitar 1000 orang, , 600 baju besi, 100 kuda, dan 700 onta serta dengan persenjataan lengkap, setiap hari menyembelih 9 sampai 10 onta, Berangkat dengan penuh kesombongan dan pamer kekuatan di bawah pimpinan Abu Jahal.

Maka kalau ditimbag kekauatan keduanya, akan nampak bahwa pasukan kafir quraisy lebih kuat, namun Allah karuniakan kemenagan saat kepada kaum muslimin, faktor yang menjadikan kemenangan ada di pihak kaum muslimin meskipun kalah jumlah dan perangkat perang adalah i’timad (bersandar) terhadap Allah Ta’ala, para mujahidin benar- benar memahami ayat Allah,

وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
“Dan tidaklah kemenangan itu, selain dari Allah yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana,” (Ali Imran : 126)

Maka ketika jumlah sedikit dari kaum Thalut, pasukan Jalut,
 قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
 “Mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan keompok besar dengan izin Allah. ”Dan Allah bersama Orang- orang sabar” (Al-Baqarah : 249).

Namun saat ini setan berhasil membuat takut kebanyakan kaum muslimin dari kekuatan Amerika dan sekutunya, sehingga banyak mereka yang menisbatkan kepada ilmu dan dakwah menutupi ketakutan itu dengan dalih maslahah dan kebijaksanaan,akan tetapi hal itu tidak akan berpengaruh terhadap mujahidin yang memahami kalam Allah,

إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut- nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman.” (Ali Imran : 175)

Maka ketika Amerika mengatakan, “siapa yang lebih kuat dari kita ?” maka takutlah orang yang melihat keperkasaannya lupa akan kekuatan Allah, namun para mujahidin yang sabar akan mengatakan,

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً
Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang Menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka ? (Fushilat : 15)

Allah Berkehendak Lain

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para shahabat keluar dari Madinah dengan harapan dapat menghadang kafilah dagang Abu Sufyan. Merampas harta mereka sebagai ganti rugi terhadap harta yang ditinggalkan kaum muhajirin di Makah. Meskipun demikian, mereka merasa cemas bisa jadi yang mereka temui justru pasukan perang. Oleh karena itu, persenjataan yang dibawa para shahabat tidaklah selengkap persenjataan ketika perang. Namun, Allah berkehendak lain. Allah mentakdirkan agar pasukan tauhid yang kecil ini bertemu dengan pasukan kesyirikan. Allah hendak menunjukkan kehebatan agamanya, merendahkan kesyirikan. Allah gambarkan kisah mereka dalam firmanNya,

وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللَّهُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjata-lah yang untukmu (kamu hadapi, pent. Yaitu kafilah dagang), dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.” (Qs. Al Anfal: 7)

Demikianlah gambaran orang shaleh. Harapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat tidak terwujud. Mereka menginginkan harta kafilah dagang, tetapi yang mereka dapatkan justru pasukan siap perang.

Jiwa manusia selalu mengutamakan kemudahan hal- hal yang nyamana daripada bersusah payah dalam mencapai tujuan, akan tetapi setiap jiwa harus tahu bahwa kemuliaan harus ditempuh dengan susah payah bahkan dengan hilangnya nyawa.

Maka sesungguhnya jihad meskipundi dalamnya ketakutan, rasa lapar, dan berkurangnya harta dan jiwa, tetapi manfaatnya bagi Islam dan muslimin sangat besar,maka ketika pemahaman jihad hilang dari hati kaum muslimin, dan mereka lebih suka condong ke dunia, dan takut mati, Allah timpakan pada mereka kehinaan.

Tak heran kalau ditemukan kelompok yang berintisab pada ilmu dan dakwah, jalan mereka untuk memperjuangkan Islam dan menolak kedhaliman melalui jarur siasat dengan tunduk terhadap hukum positif, dan mengatakan inilah cara terbaik.

Lainnya mengatakan, “ tashfiyyah dan tarbiyyah jalan perubahan.”

Ada pula syaikh yang meyakinkan manusia, bahwa menegakkaan gama ini dengan kertas suara, dengan menghindari tertumpahnya darah dan terbunuhnya jiwa.

Ada pula yang mengajak manusia datang ke istana Presiden, sambil menangis sampai luluh hati sang pimpinan, dengan harapan dapat menerapakan syariat.

Namun Mukmin Shadiq meninggalkan segala kenyamanan tersebut, dan memilih jihad sebagai jalan terbaik,

فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
 “Allah Memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah Memberi petunjuk kepada siapa yang Dia Kehendaki ke jalan yang lurus” (Al-Baqarah : 213). [AH]

Referensi: fi Dhilalis Sirah, Syaikh Manshur Asy-Syami.

klik... http://panjimas.com >>  Jum`at, 13 Ramadhan 1435H / July 11, 2014

Pemimpin Kafir dan Murtad, Jangan ditaati!!

Mentaati penguasa merupakan salah satu kewajiban seorang Muslim. Allah swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
 فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” [TQS. al-Nisaa’:59]

Ketika menafsirkan surat al-Nisa’:59, Imam Nasafiy menyatakan:

ودلت الآية على أن طاعة الأمراء واجبة إذا وافقوا الحق فإذا خالفوه فلا طاعة لهم لقوله عليه السلام ” لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق ” . وحكي أن مسلمة بن عبد الملك بن مروان قال لأبي حازم : ألستم أمرتم بطاعتنا بقوله : و«أولي الأمر منكم»؟ فقال أبو حازم : أليس قد نزعت الطاعة عنكم إذا خالفتم الحق . بقوله «فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله» أي القرآن و«الرسول» في حياته وإلى أحاديثه بعد وفاته { ذلك } إشارة إلى الرد أي الرد إلى الكتاب والسنة

“Ayat ini menunjukkan bahwa taat kepada para pemimpin adalah wajib, jika mereka sejalan dengan kebenaran. Apabila ia berpaling dari kebenaran, maka tidak ada ketaatan bagi mereka. Ketetapan semacam ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiyatan kepada Allah.”[HR. Ahmad]. Dituturkan bahwa Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan berkata kepada Abu Hazim,” Bukankah engkau diperintahkan untuk mentaati kami, sebagaimana firman Allah, “dan taatlah kepada ulil amri diantara kalian..” Ibnu Hazim menjawab, “Bukankah ketaatan akan tercabut dari anda, jika anda menyelisihi kebenaran, berdasarkan firman Allah, “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, yakni kepada Rasul pada saat beliau masih hidup, dan kepada hadits-hadits Rasul setelah beliau saw wafat..”[1]

Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Hafidz al-Suyuthi dalam kitab Tafsirnya, al-Durr al-Mantsûr, Imam Syaukani dalam Fath al-Qadîr, dan serta kalangan mufassir lainnya. Ibnu al-‘Arabiy, dalam kitab Ahkâm al-Qur’ân, menyatakan: “Kemudian mereka diperintahkan untuk mentaati pemimpin (ulil amri) yang telah diperintahkan oleh Rasulullah. Ketaatan kepada mereka bukanlah ketaatan mutlak, akan tetapi yang dikecualikan dalam hal ketaatan dan apa yang diwajibkan kepada mereka….”[2]

Dalam kitab Minhâj al-Sunnah, Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya, Nabi saw telah memerintahkan untuk taat kepada imam (pemimpin) legal yang memiliki kekuasaan, dan mampu mengatur urusan masyarakat. Tidak ada ketaatan bagi pemimpin yang tidak dikenal dan tidak legal. Tidak ada ketaatan bagi orang yang tidak memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kemampuan apapun, secara asal. “[3]

Di dalam hadits-hadits shahih juga dituturkan mengenai kewajiban mentaati penguasa (ulil amriy), baik yang adil maupun fasik. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abi Salamah bin ‘Abdirrahman, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Rasulullah saw telah bersabda, “Siapa saja yang mentaati aku, maka dia telah mentaati Allah swt, dan barang siapa bermaksiyat kepadaku, sungguh dia telah bermaksiyat kepada Allah. Siapa saja yang mentaati pemimpinku, maka dia telah mentaatiku; dan barangsiapa tidak taat kepada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiyat kepadaku..” [HR. Bukhari]

Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia menyatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda:

سَيَلِيْكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيْكُمُ الْبِرَّ بِبِرِّهِ وَالْفَاجِرُ بِفُجُوْرِهِ فَاسْمَعُوْا لَهُمْ وَأَطِيْعُوْا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَصَلُّوْا وَرَاءَهُمْ فَإِنْ أَحْسَنُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أًَسَاءُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Setelahku akan ada para penguasa, maka yang baik akan memimpin kalian dengan kebaikannya, sedangkan yang jelek akan memimpin kalian dengan kejelekannya. Untuk itu, dengar dan taatilah mereka dalam segala urusan bila sesuai dengan yang haq. Apabila mereka berbuat baik, maka kebaikan itu adalah hak bagi kalian. Apabila mereka berbuat jelek maka kejelekan itu hak bagi kalian untuk mengingatkan mereka, serta kewajiban mereka untuk melaksanakannya.”

Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepada kami:

سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ

“Kalian akan melihat pada masa setelahku, ada suatu keadaan yang tidak disukai serta hal-hal yang kalian anggap mungkar. Mereka (para shahabat) bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Tunaikanlah hakmereka, dan memohonlah kepada Allah hak kalian.” [HR. Bukhari]

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Raja’, dari Ibnu ‘Abbas, dinyatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa membenci sesuatu yang ada pada pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sebab, tak seorangpun boleh memisahkan diri dari jama’ah, sekalipun hanya sejengkal, kemudian dia mati, maka matinya adalah seperti mati jahiliyyah.” [HR. Bukhari]

Dalam Syarh an-Nawawi ‘alâ Shahiih Muslim telah dinyatakan, “Memisahkan diri dari mereka —maksudnya, para penguasa— hukumnya jelas haram, berdasarkan ijma’ kaum Muslim, walaupun para penguasa itu orang yang fasik dan zalim. Banyak hadits yang menunjukkan pengertian seperti pendapat saya ini”.[4]

Hadits-hadits di atas merupakan hujjah yang sangat jelas wajibnya seorang Muslim mentaati penguasa meskipun ia terkenal fasik dan dzalim. Bahkan di dalam riwayat-riwayat lain, Rasulullah saw telah memberikan penegasan (ta’kîd) agar kaum Muslim tetap mentaati penguasa dalam kondisi apa pun.

Kapan Penguasa Tidak Boleh Ditaati?

Meskipun kaum Muslim diperintahkan untuk tetap mentaati penguasa dzalim dan fasiq[5], dan dilarang memerangi dengan pedang, akan tetapi dalam satu kondisi; kaum mukmin wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang, yaitu, jika mereka telah menampakkan kekufuran yang nyata. Ketentuan semacam ini didasarkan pada riwayat-riwayat berikut ini. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:
“قوله صلى الله عليه وسلم : ( ستكون أمراء فتعرفون وتنكرون فمن عرف فقد برئ ومن أنكر سلم , ولكن من رضي وتابع , قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا . . . ما صلوا ” هذا الحديث فيه معجزة ظاهرة بالإخبار بالمستقبل , ووقع ذلك كما أخبر صلى الله عليه وسلم . وأما قوله صلى الله عليه وسلم : ( فمن عرف فقد برئ ) وفي الرواية التي بعدها : ( فمن كره فقد برئ ) فأما رواية من روى ( فمن كره فقد برئ ) فظاهرة , ومعناه : من كره ذلك المنكر فقد برئ من إثمه وعقوبته , وهذا في حق من لا يستطيع إنكاره بيده لا لسانه فليكرهه بقلبه , وليبرأ . وأما من روى ( فمن عرف فقد برئ ) فمعناه – والله أعلم – فمن عرف المنكر ولم يشتبه عليه ; فقد صارت له طريق إلى البراءة من إثمه وعقوبته بأن يغيره بيديه أو بلسانه , فإن عجز فليكرهه بقلبه . وقوله صلى الله عليه وسلم : ( ولكن من رضي وتابع ) معناه : لكن الإثم والعقوبة على من رضي وتابع . وفيه : دليل على أن من عجز عن إزالة المنكر لا يأثم بمجرد السكوت . بل إنما يأثم بالرضى به , أو بألا يكرهه بقلبه أو بالمتابعة عليه . وأما قوله : ( أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا , ما صلوا ) ففيه معنى ما سبق أنه لا يجوز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام .

“Sabda Nabi saw, “(Satukûnu umarâu fa ta’rifûa wa tunkirûn faman ‘arifa faqad bari`a wa man ankara salima, wa lakin man radhiya wa tâba’a, qâlû: afalâ nuqâtiluhum? Qâla: Lâ…mâ shallû)”, hadits ini, di dalamnya terkandung mukjizat yang sangat nyata mengenai informasi yang akan terjadi di masa mendatang, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi saw. Adapun sabda Rasulullah saw, “(faman ‘arafa faqad bari`a) dan dalam riwayat lain dituturkan, “(faman kariha faqad bari`a). Adapun riwayat dari orang yang meriwayatkan, “(faman kariha faqad bari`a), maka hal ini sudah sangat jelas. Maknanya adalah, ”Siapa saja yang membenci kemungkaran tersebut, maka terlepaslah dosa dan siksanya. Ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisannya, lalu ia mengingkari kemungkaran itu dengan hati. Dengan demikian, ia telah terbebas (dari dosa dan siksa). Adapun orang yang meriwayatkan dengan redaksi ”(faman ’arafa bari`a), maknanya adalah –Allah swt yang lebih Mengetahui–, ”Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, kemudian ia tidak mengikutinya, maka ia akan mendapat jalan untuk terlepas dari dosa dan siksanya dengan cara mengubah kemungkaran itu dengan tangan dan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaknya ia mengingkari kemungkaran itu dengan hatinya. Sedangkan sabda beliau, ”(walakin man radhiya wa tâba’a)”, maknanya adalah, akan tetapi, dosa dan siksa akan dijatuhkan kepada orang yang meridloi dan mengikuti. Hadits ini merupakan dalil, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak akan berdosa meskipun hanya sukût (mengingkari kemungkaran dengan diam). Namun, ia berdosa jika ridlo dengan kemungkaran itu, atau jika tidak membenci kemungkaran itu, atau malah mengikutinya.

Adapun sabda Rasulullah saw, ”(Afalâ nuqâtiluhum? Qâla” Lâ, mâ shalluu), di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni tidak boleh memisahkan diri dari para khalifah, jika sekedar dzalim dan fasik, dan selama mereka tidak mengubah salah satu dari sendi-sendi Islam”.[6]

Dalam hadits ‘Auf bin Malik yang diriwayatkan Imam Muslim, juga diceritakan:

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ

“Ditanyakan,”Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!‘ Lalu dijawab, ”Tidak, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.” [HR. Imam Muslim]

Dalam riwayat lain, mereka berkata:

قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka ketika itu?!‘ Beliau menjawab, ‘Tidak, selama mereka masih sholat.”

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.” [HR. Bukhari]

Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa dengan pedang pada satu kondisi, yakni ”kekufuran yang nyata”. Artinya, jika seorang penguasa telah melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum Mukmin wajib melepaskan ketaatan dari dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang.

Al-Hafidz Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan, jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.[7]

Imam al-Khathabiy menyatakan; yang dimaksud dengan “kufran bawahan“ (kekufuran yang nyata) adalah “kufran dzâhiran bâdiyan” (kekufuran yang nyata dan terang benderang)[8]

‘Abdul Qadim Zallum, dalam Nidzâm al-Hukmi fi al-Islâm, menyatakan, bahwa maksud dari sabda Rasulullah saw “selama mereka masih mengerjakan sholat“, adalah selama mereka masih memerintah dengan Islam; yakni menerapkan hukum-hukum Islam, bukan hanya mengerjakan sholat belaka. Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz ithlâq al-juz`iy wa irâdât al-kulli (disebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan).[9]

Masih menurut ‘Abdul Qadim Zallum, riwayat yang dituturkan oleh ‘Auf bin Malik, Ummu Salamah, dan ‘Ubadah bin Shamit, seluruhnya berbicara tentang khuruj ‘ala al-imaam (memisahkan diri dari imam), yakni larangan memisahkan diri dari imam. Ini termaktub dengan jelas pada redaksi hadits: “ Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]. Dengan demikian, hadits ini merupakan larangan bagi kaum Muslim untuk memisahkan diri dari penguasa, meskipun ia terkenal fasiq dan dzalim.[10]

Masih menurut ‘Abdul Qadim Zallum; akan tetapi, larangan memisahkan diri dari penguasa telah dikecualikan oleh potongan kalimat berikutnya, yakni,” kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari]. Ini menunjukkan, bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa, bahkan boleh memerangi mereka dengan pedang, jika telah terbukti dengan nyata dan pasti, bahwa penguasa tersebut telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata.” [11]

Bukti-bukti yang membolehkan kaum Muslim memerangi khalifah haruslah bukti yang menyakinkan (qath’iy). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kekufuran adalah lawan keimanan. Jika keimanan harus didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan (qath’iy), demikian juga mengenai kekufuran. Kekufuran harus bisa dibuktikan berdasarkan bukti maupun fakta yang pasti, tidak samar, dan tidak memerlukan takwil lagi. Misalnya, jika seorang penguasa telah murtad dari Islam, atau mengubah sendi-sendi ‘aqidah dan syariat Islam berdasarkan bukti yang menyakinkan, maka ia tidak boleh ditaati, dan wajib diperangi. Sebaliknya, jika bukti-bukti kekufurannya tidak pasti, samar, dan masih mengandung takwil, seorang Muslim tidak diperkenankan mengangkat pedang di hadapannya.

Imam Nawawiy, di dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:

قال القاضي عياض : أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر , وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل , قال : وكذا لو ترك إقامة الصلوات والدعاء إليها , ….. قال القاضي : فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية , وسقطت طاعته , ووجب على المسلمين القيام عليه , وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك.

Imam Qadliy ‘Iyadl menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa imamah tidak sah diberikan kepada orang kafir. Mereka juga sepakat, seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka ia wajib dimakzulkan. Beliau juga berpendapat, “Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakkan sholat dan seruan untuk sholat…Imam Qadliy ’Iyadl berkata, ”Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariat, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum Muslim untuk memeranginya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang imam adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”.[12]
Patut dicatat, kewajiban memerangi penguasa yang telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata” berlaku bagi penguasa yang sebelumnya menerapkan sistem Islam, kemudian ia mengubahnya menjadi sistem kufur. Pada saat itu, umat Islam harus mencegah tindakan tersebut sekalipun dengan mengangkat senjata. Sedangkan apabila penguasa itu sejak awal menerapkan sistem kufur, maka tindakan yang dilakukan terhadapnya tidak dengan mengangkat senjata. Namun, melalui aktivitas dakwah yang mengikuti thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam. Dan thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam tidak menggunakan kekerasan dan senjata. Beliau saw melakukan pembinaan (tatsqif), berinteraksi dengan umat (tafaa’ul ma’a al-ummah), dan pengambilalihan kekuasaan (istilaam al-hukm).

Status Penguasa Dalam Sistem Kufur

Para ulama telah sepakat; seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, berdasarkan hadits-hadits shahih di atas. Mereka juga sepakat mengenai bolehnya memerangi penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata.

Di dalam Syarh an-Nawawi ‘alâ Shahîh Muslim, dijelaskan sebagai berikut,” al-Qâdhi ‘Iyâdh berkata, “Para ulama’ telah sepakat, bahwa jabatan imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir, kalau tiba-tiba kekufuran itu menimpa dirinya. Dalam kondisi semacam ini ia wajib dipecat. Beliau berkata,” Ketentuan ini juga berlaku jika ia meninggalkan penegakkan sholat dan dakwah untuk mendirikan sholat. Lalu, Imam Nawawi berkata,” al-Qaadhi berkata,” “Seandainya khalifah terjatuh ke dalam kekufuran, atau mengubah syariat, atau melakukan bid’ah yang bisa mengeluarkan dirinya dari jabatan kepala negara; maka ia tidak wajib ditaati. Kaum Muslim wajib mengangkat senjata, mencopotnya, dan mengangkat imam adil yang baru, jika mereka mampu melakukan hal itu.”.[13]

Pertanyaannya, kapan seorang penguasa dianggap telah terjatuh kepada ”kekufuran yang nyata”, sehingga kaum Muslim harus melepaskan ketaatan kepada mereka?

Dr. Muhammad Khair Haekal menyatakan; penguasa dianggap telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, jika ia berada dalam kondisi-kondisi berikut ini;

1. Kekufuran nyata yang terjadi pada diri penguasa itu sendiri. Para ulama berpendapat mengenai wajibnya “munâza’ah” (merebut kekuasaan) dari penguasa yang telah keluar dari Islam[14]. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shaamit ra, bahwasanya ia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim]

2. Kekufuran nyata yang terjadi pada individu-individu kaum Muslim karena kemurtadan mereka dari Islam, namun hal ini tidak diingkari atau dicegah oleh penguasa. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang bertutur wajibnya merebut kekuasaan ketika telah terjadi kekufuran yang nyata pada individu-individu kaum Muslim, dan penguasa tidak mengingkari kekufuran ini. Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, kekufuran tersebut tidak dibatasi hanya kepada penguasa saja atau selain penguasa. Hadits-hadits itu hanya ditaqyiid (dibatasi) dengan kata “bawahan” (nyata) belaka; yakni kekufuran tersebut terjadi secara terang-terangan, telah tersebar luas, dan sudah tidak bisa diingkari lagi.

3. Kekufuran nyata yang berasal dari sistem pemerintahannya, yakni, ketika penguasa tersebut menegakkan sistem pemerintahan di atas aqidah kufur, walaupun penguasa itu belum dianggap kafir. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang menuturkan wajibnya merebut kekuasaan dari penguasa jika telah tampak kekufuran yang nyata. Frase “kekufuran nyata” yang terdapat di dalam nash-nash tersebut tidak hanya diterapkan kepada penguasa yang jatuh kepada kekufuran maupun kepada selain penguasa; akan tetapi juga bisa diberlakukan pada sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas aqidah kufur, misalnya atheisme maupun sekulerisme; dan selanjutnya, sistem ini dipaksakan dan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu, jika seorang penguasa memerintahkan rakyatnya melakukan kemaksiyatan, namun selama sistem aturannya menganggap kemaksiyatan itu sebagai tindak penyimpangan terhadap aturan, maka dalam kondisi semacam ini belum terwujud apa yang disebut dengan “kekufuran yang nyata”, baik pada penguasa maupun sistem pemerintahannya. Namun, bila kemaksiyatan yang dilakukannya berpijak kepada sistem aturan yang justru melegalkan dan mensahkan tindak kemaksiyatan tersebut, misalnya, karena sistem aturannya dibangun berdasarkan sekulerisme–, maka kemaksiyatan semacam ini dianggap sebagai “kekufuran yang nyata“[15].

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan Dr. Muhammad Khair Haekal di atas dapatlah disimpulkan bahwa penguasa-penguasa yang menjadikan aqidah kufur sebagai asas negara –semacam demokrasi dan sekulerisme–, serta menerapkan aturan-aturan kufur telah terjatuh kepada tindak ”kekufuran yang nyata” (kufran shurahan), walaupun secara individu mereka masih mengerjakan sholat. Begitu pula jika mereka tidak lagi menyeru rakyat untuk menegakkan sholat dengan cara menegakkan sanksi bagi orang yang tidak mengerjakan sholat; atau jika mereka sudah mengubah salah satu sendi dari Islam; maka dalam kondisi semacam ini mereka tidak boleh ditaati, bahkan kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka dan memakzulkan mereka jika memungkinkan.

Pendapat ini sejalan dengan penjelasan Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah swt, surat An Nisa’ ayat 59;

“وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية”

“Ulil amriy adalah para imam, sultan, qadliy, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’iyyah[16] bukan kekuasaan thaghutiyyah[17]”.[18]

Walhasil, penguasa-penguasa di negeri-negeri kaum Muslim saat ini telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata. Kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan dengan sekuat tenaga berjuang untuk mengganti system kufur tersebut menjadi system Islam. Inilah pendapat yang lurus, suci, dan dipegang oleh para ulama-ulama wara’.

Sayangnya, ketentuan semacam ini telah dikaburkan dan diselewengkan oleh ulama-ulama salatin yang rela berkhianat terhadap umat Islam untuk melanggengkan eksistensi penguasa dan pemerintahan kufur melalui fatwa-fatwa culas dan penuh dengan pengkhianatan. Ulama-ulama ini tidak segan-segan dan malu-malu menyerukan kepada umat Islam agar mereka tetap mentaati penguasa-penguasa sekarang, padahal para penguasa itu telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata”. WaLlâhu al-Hâdiy al-Muwaffiq ila Aqwâm al-Thâriq.
(Syamsuddin R/Zidan ).
________________________________________
[1] Imam Nasafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil, surat al-Nisaa’:59
[2] Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quran, tafsir surat al-Nisaa’:59
[3] Minhaaj al-Sunnah, juz 1/115
[4] Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz VIII, hal. 35.
[5] Yang dimaksud penguasa fasiq dan dzalim yang tetap harus ditaati adalah penguasa-penguasa yang masih menerapkan sistem Islam untuk mengatur urusan negara dan rakyat, namun berbuat dzalim dan fasiq. Dengan kata lain, selama mereka masih menerapkan sistem pemerintahan Islam, menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai landasan dasar negara dan masyarakat, serta menerapkan syariat Islam untuk mengatur urusan rakyat; kaum Muslim wajib mentaati mereka, meskipun penguasa tersebut dzalim dan fasiq.
[6] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 12/243-244
[7] Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13/8-9
[8] Ibid, juz 13/8
[9] ‘Abdul Qadim Zallum, Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, hal. 257-258
[10] Ibid, hal. 258-260
[11] Ibid, hal. 259-260
[12] Imam Muslim, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36
[13] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz VIII, hal. 35-36.
[14] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36. Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13, hal. 8
[15] Dr. Mohammad Khair Haekal, al-Jihaad wa al-Qitaal fi al-Siyaasah al-Syar’iyyah, juz 1, hal. 130-131. Buku ini merupakan desertasinya untuk meraih gelar doctor dari Kuliah al-Imam al-Auza’iy, pada al-Dirasah al-Islaamiyyah di Beirut pada tahun 1412 H. Desertasi ini meraih gelar imtiyaaz ma’ al-tanwiih (summa cum laude); bahkan jika ada gelar yang lebih tinggi daripada summa cum laude tentu beliau akan meraihnya.
[16] Kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada aqidah dan syariat Islam.
[17] Kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada aqidah dan system kufur.
[18] Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 166.

klik: http://panjimas.com >>   Selasa, 27 Rajab 1435H / May 27, 2014

Umat Islam Indonesia, Sadarilah Masalah Besar Ini


by: Hartono Ahmad Jaiz

Posisi Indonesia secara geopolitik sangat strategis, karena letak posisi geografisnya, sumber alam yang dimilikinya, dan jumlah populasinya yang sangat besar.

Indonesia merupakan negara ketiga populasi terbesar di dunia, sesudah Cina dan India. Bahkan menjadi negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Indonesia akan memasuki milenium baru, abad baru dan dunia baru. Semua sudah berubah. Ini dibutuhkan pemimpin visioner.

Pemimpin Indonesia akan bertemu dengan pemimpin global, seperti Presiden AS,  Barack Obama, Perdana Menteri Inggris David Cameron, Perdana Menteri Jerman Angela Merkel, Presiden Rusia Vladimir Putin, Kepala Kebijakan Uni Eropa Ashton, Perdana Menteri Jepang Senso Abe, Sekjen PBB Ban Kii-mon, Perdana Menteri Turki Erdogan,  dan sejumlah tokoh dunia lainnya. Itu sebuah keniscayaan.

Dapatkah pemimpin Indonesia mendatang duduk sejajar dan bermartabat, ketika harus berhadapan dengan para pemimpin global itu. Dapatkah pemimpin Indonesia melakukan komunikasi dan melakukan perundingan ‘directly’ (langsung) dengan mereka, dan memiliki ‘leverage’ (nilai tawar) yang terhormat, dan membawa kepentingan Indonesia sebagai bangsa terhormat?

Inilah yang menjadi persoalan masa depan Indonesia. Indonesia tidak dapat dipimpin oleh tokoh seperti Jokowi, yang saat wawancara dengan wartawati Bloomberg hanya dapat mengatakan (seputar), “I DON’T THINK ABOUT THAT’. Ini terlalu sederhana.

Kita harus berani realistis melihat figur dan tokoh yang berlaga di pilpres 2014. Jangan sampai pilpres 2014 ini, hanya akan melahirkan ‘disaster’ (bencana), dan hanya membuat kesedihan bagi 250 juta rakyat Indonesia. Tidak lagi kita bisa berkata ‘pokoke’ Jokowi. (lihat voa-islam.com, Selasa, 19 Sya’ban 1435 H / 17 Juni 2014 08:09 wib, Jokowi :Ojo Dumeh, Ora Opo-Opo, I Don’t Think About That .. ).

Ingatlah, Islam telah wanti-wanti (memperingatkan dengan pesan yang sungguh-sungguh):

إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ( البخاري)
 “Idzaa wussidal amru ilaa ghoiri ahlihi fantadziris saa’ah.”  Apabila perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat. (HR Al-Bukhari dari Abi Hurairah).

Ada peringatan yang perlu diperhatikan pula, yaitu keadaan lebih buruk lagi di mana akan datang zaman, pendusta justru dipercaya sedang yang jujur justru didustakan, lalu pengkhianat malah dipercaya. Dan di sana berbicaralah ruwaibidhah, yaitu Orang yang bodoh (tetapi) berbicara mengenai urusan umum. Itulah yang diperingatkan dalam Hadits:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda:

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh kedustaan, saat itu pendusta dipercaya, sedangkan orang benar justru didustakan, pengkhianat diberikan amanah, orang yang amanah justru dikhianati, dan saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya: “Apakah Ruwaibidhah itu?” Beliau bersabda: “Seorang laki-laki yang bodoh namun dia membicarakan urusan orang banyak.” (HR. Ibnu Majah No. 4036, Ahmad No. 7912, Al-Bazzar No. 2740 , Ath-Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyyin No. 47, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 8439, dengan lafaz: “Ar Rajulut Taafih yatakallamu fi Amril ‘aammah – Seorang laki-laki bodoh yang membicarakan urusan orang banyak.” Imam Al-Hakim mengatakan: “Isnadnya shahih tapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.” Imam Adz-Dzahabi juga menshahihkan dalam At-Talkhis-nya, / seperti dikutip dkwtncom).

Antara besarnya Indonesia yang merupakan negeri Muslim terbesar di dunia dan pentingnya kepemimpinan yang mampu mengelolanya dengan baik, termasuk dalam hal sangat penting yang telah diwanti-wanti oleh hadits-hadits tersebut. Satu urusan saja bila diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka akan hancur. Betapa akan hancurnya bila urusan sangat besar (dengan berbagai urusan besar) justru diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, bahkan sudah dikenal tidak amanah lagi, misalnya.

Semoga kita diberi kesadaran sebaik-baiknya oleh Allah Ta’ala yang Maha Membolak-balikkan hati, sehingga tidak terjerumus kepada kehancuran atas ketidak jelian kita sendiri. Amiiin ya Rabbal ‘alamiin.****

klik::   www.nahimunkar.com   >>  18 June 2014


Doa Mohon dikaruniai Akhlaq yang Mulia dan Dijauhkan dari akhlaq yang tercela

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwasanya saat melaksanakan sholat tahajud di waktu malam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca doa istiftah sebagai berikut:

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ. اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ. وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ. لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan berserah diri kepada-Nya dan aku bukanlah dari golongan kaum musryik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah karena Allah, Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, demikianlah aku diperintah dan aku termasuk golongan orang-orang muslim. Ya Allah, Engkau adalah Raja tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau. Mahasuci Engkau dan sepenuh pujian kepada-Mu. 

Ya Allah, Engkau adalah Rabbku dan aku adalah hamba-Mu. Aku telah menzalimi diriku sendiri dan aku telah mengaku dosaku. Maka ampunilah seluruh dosaku, sebab tidak ada yang bisa mengampuni dosa selain Engkau.

Berilah aku petunjuk kepada akhlak yang paling baik, karena tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepada akhlak yang paling baik selain Engkau.

Jauhkanlah aku dari akhlak yang paling buruk, karena tidak ada yang bisa menjauhkan dari akhlak yang paling buruk selain Engkau.

Aku penuhi panggilan-Mu dan aku ikuti perintah-Mu. Seluruh kebaikan berada di tangan-Mu dan keburukan tidak dinisbahkan kepada-Mu.

Aku mendapat taufik karena-Mu dan aku bersandar kepada-Mu. 

Maha Suci dan Maha Tinggi Engkau. Aku meminta ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu.” (HR. Muslim no. 771, Abu Daud no. 760, Tirmidzi no. 3421, dan An-Nasai no. 897)
(muhib al majdi/arrahmah.com)

klik.  www.arrahmah.com >> 

Jum'at, 11 Zulqa'dah 1435 H / 5 September 2014 10:40

RAHMAH EL YUNUSIYAH ; Syaikhah Dunia Pendidikan Perempuan

Negeri Minangkabau terkenal telah melahirkan begitu banyak  tokoh utama di negeri ini, baik alim ulama maupun para cendekia. Tidak hanya hanya kaum pria yang menonjol, tapi juga kaum wanitanya. Salah satu tokoh perempuan hebat dari negeri ini adalah Rahmah El-Yunusiyah. Tidak diragukan lagi Rahmah el-Yunusiyah adalah salah satu tokoh wanita hebat yang dimiliki negeri ini. Meskipun tidak diangkat sebagai salah satu pahlawan nasional, tetapi beliau menorehkan sejarah hidupnya denga tinta emas. Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang yang tetap eksis hingga hari ini merupakan  salah satu bukti perjuangannya. Bahkan beliau adalah perempuan pertama yang mendapat gelar Syaikhah dari Universitas Al-Azhar Mesir. Penganugerahan gelar syaikhah yang diberikan pada tahun 1957 ini dimaksudkan untuk menghormati jasa-jasa beliau dalam bidang pendidikan kaum perempuan.
Rahmah El-Yunusiyah dilahirkan pada hari Jumat 20 Desember 1900 di Bukit Surungan, Padang Panjang, Sumatera Barat. Anak bungsu dari lima bersaudara ini merupakan  putri dari pasangan Muhammad Yunus dan Rafiah. Rahmah berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah seorang ulama besar yang menjabat  sebagai kadi di negeri Pandai Sikat, Padang Panjang. Dia juga seorang haji yang pernah mengenyam pendidikan agama selama empat tahun di Mekkah. Kakak sulungnya, Zainuddin Labay  merupakan  seorang  tokoh pembaharu sistem pendidikan Islam  Diniyah School yang didirikan tahun 1915. Zainudin Labay mengusai beberapa bahasa asing yaitu Inggris, Arab, Belanda. Dengan kemahirannya berbahasa asing menyebabkan wawasan Zainuddin sangat luas. Dialah yang menjadi guru, pemberi inspirasi, dan pendorong cita-cita Rahmah el-Yunusiyah.
Meski hanya mengenyam pendidikan dasar selama tiga tahun di Diniyah School, tapi Rahmah El-Yunusiyah memiliki wawasan yang  luas. Dia lebih banyak belajar otodidak dan juga belajar langsung kepada kedua kakak laki-lakinya, Zainuddin Labay dan Mohammad Rasyid. Seperti kebanyakan orang Melayu lainnya yang menyeimbangkan antara pendidikan umum dan agama, Rahmah pun intens belajar agama. Pagi hari sekolah di Diniyah School, sore hari mengaji kepada para ulama. Beliau mengaji kepada  Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, ayahanda dari ulama terkenal Buya Hamka. Selain mengaji kepada Haji Rasul, Rahmah juga mengaji kepada  Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh Mohammad Jamil Jambek dan syekh Daud Rasyidi. Lingkungan relijius  dan cendekia seperti inilah yang telah menumbuhkan kepribadian Rahmah.
Rahmah dikenal sebagai sosok yang cerdas,  lincah, menyukai  hal-hal baru, dan memiliki tekad baja. Jika sudah menginginkan sesuatu, maka tiada seorang pun yang mampu menghalanginya. Karena kecerdasannya, setelah lulus sekolah dia diminta menjadi guru bagi almamaternya. Disela-sela kesibukannya mengajar, dia mengikuti kursus  kebidanan di RSU Kayu Taman (1931-1935). Ia juga belajar ilmu kesehatan dan pertolongan pertama pada kecelakaan.
Pada saat itu masih sangat sedikit perempuan yang bersekolah. Paradigma masyarakat Melayu memandang perempuan hanyalah makhluk kelas dua yang tidak perlu bersekolah tingi. Percuma bersekolah jika akhirnya hanya masuk ke dapur. Perempuan masa itu sangat pasif dan belum mampu memberikan kontribusi riil bagi kemajuan agama dan bangsanya. Rahmah sangat prihatin dengan kondisi ini. Ia berpendapat pendidikan sangat penting bagi kaum perempuan. Dengan pendidikan maka kaum perempuan mampu mengangkat harkat dan martabatnya, mampu melahirkan generasi penerus yang berkualitas.
Berangkat dari keprihatinan inilah Rahmah El-Yunusiyah bertekad untuk mendirikan sekolah khusus bagi kaum perempuan. Dibantu oleh kakak sulungnya  Zainuddin Labay, akhirnya Rahmah El-Yunisiyah berhasil mewujudkan mimpinya. Pada tanggal 1 November 1923 berdirilah Madrasah Diniyah Li al-Banat.
Bahu membahu dengan Zainuddin Labay, Rahmah mengelola sekolah ini.  Awalnya  murid sekolah ini hanya 71 orang yang terdiri dari kaum  ibu-ibu muda. Bertempat di serambi  masjid Pasar Usang, mereka belajar ilmu-ilmu agama  dan Bahasa Arab.  Seiring berjalannya waktu, murid Rahmah pun bertambah. Akan tetapi baru sepuluh bulan sekolah ini berjalan, Zainuddin Labay dipanggil oleh Alloh SWT, meninggal dalam usia muda. Rahmah sangat terpukul dengan musibah ini. Dia kehilangan seseorang yang selalu membimbing, mengarahkan dan memberi semangat untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Tapi Rahmah pun segera bangkit, tidak larut dalam kedukaan. Dia tetap melanjutkan keberadaan Madrasah Diniyah Li al-Banat  bahkan membuat keputusan untuk memberikan pengajaran klasikal lengkap dengan sarananya seperti gedung, meja, bangku, papan tulis, kapur dan sebagainya.
Rahmah berjuang keras untuk mendirikan gedung bagi sekolahnya. Berkat kegigihannya, gedung sekolah itu pun dapat berdiri diatas tanah wakaf dari ibundanya sendiri, Ummu Rafiah. Diatas bangunan sederhana dari bambu berukuran 12 X 7 m inilah kegiatan belajar-mengajar berlangsung setiap hari.
Rahmah El-Yunusiyah selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi lembaga pendidikannya. Dia ingin mendirikan gedung yang layak bagi para muridnya, bukan dari bambu. Akhirnya Rahmah memutuskan untuk mengadakan tour penggalangan dana .
Pada tahun 1927, dia menggalang dana di Aceh dan Sumatera Utara selama tiga bulan.  Selain penggalangan dana, tour ini juga bertujuan sebagai ajang study banding bagi para calon guru di Madrasah Diniyah Li al-Banat. Rahmah menghadap para sultan, mempresentasikan visi dan misi sekolahnya. Dia juga mengunjungi  sekolah-sekolah ternama pada masa itu. Dari penggalangan dana ini, Rahmah berhasil membangun gedung dan asrama yang mampu menampung 275 murid dari 350 total murid keseluruhan. Selain perbaikan sarana fisik, Rahmah juga mengadakan perbaikan kurikulum.  Jika sebelumnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, maka selanjutnya Rahmah memasukan pelajaran  umum seperti Bahasa Indonesia,  Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, menulis latin,  berhitung, tata buku, hitung rugi laba,  kesehatan, ilmu alam, ilmu tubuh manusia,  ilmu bumi, ilmu tumbuhan, ilmu binatang dan menggambar. Sedangkan program ekstra kurikulernya meliputi renang, musik, menganyam, bertenun.
Berkat kegigihannya, lembaga pendidikannya mengalami perkembangan yang sangat pesat.  Di tahun 1926 ia membuka kelas Menjesal School. Kelas ini ditujukan bagi para wanita yang belum bisa baca tulis. Kemudian tahun 1934 Rahmah berhasil mendirikansekolah Taman Kanak Kanak (Freubel School) dan Junior School (setingkat HIS). Ia juga mendirikan Diniyah School Putri tujuh  tahun yang terdiri dari tingkat Ibditaiyah selama empat  tahun dan tingkat Tsanawiyah selama tiga tahun.
rahmah-el-yunussiyah2Dalam kenyataannya, Rahmah el Yunusiyyah menghadapi problem tenaga pendidik untuk lembaga pendidikan yang dibukanya. Guna memenuhi tuntutan tersebut, ia membuka Kulliyat al Mu’alimat al Islamiyah pada tahun 1937. Kulliyatul Mu’alimat al Islamiyyah ini bertujuan untuk mencetak tenaga guru muslimah profesional. Jangka waktu pendidikannya ditempuh selama tiga tahun.Setahun sebelumnya, yaitu tahun 1936 Rahmah berhasil mendirikan sekolah tenun.
Diniyah School Putri Padang Panjang mendapat tempat di hati masyarakat. Lulusannya sangat diminati. Tidak hanya di Sumatra dan Jawa bahkan hingga masyarakat Malaysia dan Singapura. Rahmah kemudian membuka cabangDiniyah School di beberapa tempat. Ketika ia mengikuti Kongres Perempuan Indonesia mewakili Sumatera Barat di tahun 1935, Rahmah sekaligus membuka cabang di Kwitang dan Tanah Abang. Kemudian di tahun 1950, ia membuka cabang di Jatinegara dan Rawasari.
Rahmah juga berusaha menyempurnakan institusinya dengan cara memiliki lembaga pendidikan setingkat perguruan tinggi. Cita-cita ini terlaksana pada tahun 1967 dengan berdirinya Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah. Pada tahun 1969. Kedua fakultas ini berubah namanya menjadi Fakultas Dirasah Islamiyyah. Ijazah Sarjananya diakui setara dengan Ijazah Fakultas Ushuluddin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).
Dalam mengelola lembaga pendidikannya, Rahmah memilih sikap independen tidak berafiliasi kepada pihak manapun, baik pemerintah maupun partai.Sikap ini terlihat jelas ketika Rahmah menolak subsidi dana pendidikan dari pemerintah kolonial Belanda. Rahmah juga menolak penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau. Dia berpendapat, independensi menyebabkan sekolah bebas untuk berjalan sesuai dengan visi dan misi sendiri, sehingga mampu menghasilkan para pelajar yang cerdas, shalihah dan militan.
Disamping berjuang di bidang pendidikan, Rahmah juga turut berperan aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Dia pernah aktif di beberapa organisasi, diantaranya yaitu Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS), Taman Bacaan, Anggota Daerah Ibu.
Pada masa pendudukan Jepang Rahmah aktif di organisasi Gyu Gun Ko En Kai,Haha no Kai. Sewaktu pecah perang pasifik, Rahmah menjadikan Diniyah School sebagai Rumah Sakit darurat.  Kemudian ketika berita proklamasi kemerdekaan belum sampai kepada khalayak ramai, Rahmah adalah orang yang pertama kali mengibarkan bendera merah putih di Sumatera Barat. Sungguh luar biasa keberaniannya. Di era kemerdekaan, Rahmah mengayomi Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbulwatan. Ia juga turut mempelopori terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat.
Keberhasilannya dalam mengelola Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang  mendapat apresiasi tidak hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Rektor Universitas Al Azhar Mesir, Dr.Syaikh  Abdurrahman Taj mengadakan kunjungan ke Perguruan pada tahun 1955. Kemudian beliau mengadopsi sistem pendidikan Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang tersebut ke Universitas Al Azhar yang pada waktu itu belum memiliki pendidikan khusus bagi perempuan.
Rahmah El-Yunusiyyah berhasil mewarnai kurikulum Al-Azhar. Atas jasanya tersebut, Rahmah mendapat gelar Syaikhah dari Universitas Al Azhar pada tahun 1957. Beliaulah wanita pertama yang mendapat gelar syaikhah. Prestasi yang sangat membanggakan bagi Rahmah khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya.
Rahmah El-Yunusiyyah telah berhasil membuktikan kepada dunia bahwa muslimah Indonesia bukanlah perempuan yang terbelakang.  Bahwa muslimah taat bisa berkontribusi bagi agama dan bangsanya. Beliau berhasil mewujudkan cita-citanya karena keyakinannya yang teguh kepada Alloh serta tekadnya yang membaja. Rahmah tutup usia pada tanggal 26 Februari 1969. Meskipun beliau telah tiada tapi semangatnya tetap mengalir hingga hari ini. Kisah hidupnya tetap memberi inspirasi bagi seluruh muslimah Indonesia. Selamat jalan Syaikhah….perjuanganmu akan selalu kami kenang
* Penulis : Widi Astuti

Idealisme Politik Islam


Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
(Peserta Program Kaderisasi Ulama BAZNAS-DDII; Ketua Umum PP Pemuda Persis)
“Tidak ada seorang hamba pun yang diamanahi untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat pada rakyatnya, kecuali Allah Swt. mengharamkan surga baginya,” demikian sabda Rasulullah Swt. (HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al-‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu).
Politik adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia, sekalipun bukan satu-satunya yang paling utama. Masih banyak bidang lain dalam kehidupan manusia yang juga tidak kalah penting dibandingkan dengan politik. Akan tetapi karena dalam praktiknya selalu penuh dengan intrik dan melibatkan orang banyak secara kolosal, politik menjadi terlihat lebih menarik dan hingar bingar sehingga seolah-olah politik merupakan segala-galanya dalam kehidupan manusia.
Hal seperti itu wajar terjadi mengingat politik dalam kenyataan yang kita saksikan berkait erat dengan kekuasaan. Para ahli bahkan menyebutnya sebagai suatu fenomena a constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial secara paksa) (Goodin and Hens Dieter Klingemann. A New Handbook of Political Sicence. hal. 7). Sementara kekuasaan itu sendiri ada di mana-mana, bahkan dalam diri setiap orang. Ketika kekuasaan itu dipertemukan dengan kekuasaan lain, maka terjadilah saling desak kekuasaan hingga terjadi negosiasi dan kesepakatan siapa yang boleh menggunakan kekuasaannya—secara paksa—dan siapa yang harus menerima dikuasai orang lain. Oleh sebab itu, tidak heran apabila politik selalu akan ramai diperbincangkan. Itu pula yang menyebabkan para pakar banyak yang menyebut bahwa inti dari kegiatan politik adalah soal kekuasaan.
Kalau ditanyakan tujuan apa yang ingin dicapai dengan berpolitik di dalam Islam, jawaban normatif yang disepakati hampir semua ulama segera dapat kita tulis. Tujuan tersebut adalah:pertama, ingin menegakkan Islam (himâyah al-dîn) dan kedua, mewujudkan kesejahteraan umat (ri’âsah syu’ûn al-ummah). (Rasyid Ridha. Al-Khilâfah aw Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ. hal. 35; Shalah Al-Shawi. Al-Wajîz fi Fiqh Al-Khilâfah. hal. 5.) Tujuan politik dalam Islam sama sekali tidak memberi ruang bagi pragmatisme pribadi dan kelompok. Politik digunakan bukan untuk menumpuk keuntungan pribadi; juga bukan untuk menegakkan kepentingan kelompok (‘ashabiyyah). Hanya dua yang boleh mendapatkan manfaat dari kegiatan politik, yaitu “agama” dan “rakyat”.
Oleh sebab tujuan politik yang begitu mulia, Imam Ghazali menyebutnya para pemegang kekuasaan ini sebagai orang yang mendapat nikmat yang besar. Tidak ada nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. melebihi kenikmatan memegang kekuasaan. Dengan kekuasaan politik yang dipegang, seseorang dapat menjadi orang yang diutamakan oleh Allah Swt. untuk masuk surga. Di mata Allah, para penguasa memiliki derajat yang mulia dan lebih dicintai. Dikatakan oleh Rasulullah Swt., “Adilnya seorang raja dalam sehari lebih dicintai oleh Allah Swt. daripada ibadah tujuh puluh tahun.” (Abu Hamid Al-Ghazali. Al-Tibr Al-Masbûk fî Nashîhah Al-Mulûk. hal. 18)
Tentu saja nikmat yang besar bagi para pemegang kekuasaan itu sepanjang ia dapat berlaku adil. Pemimpin yang zhalim, justru ia akan berubah menjadi musuh Allah Swt., bukan lagi kekasih-Nya. Musuh-musuh Allah Swt. adalah mereka yang tidak mau mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya. Penguasa yang tidak mensyukuri nikmatnya adalah penguasa yang zhalim dan korup. Bagi mereka Allah menyediakan siksa yang amat berat. “Tidak ada seorang hamba pun yang diamanahi untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat pada rakyatnya, kecuali Allah Swt. mengharamkan surga baginya,” demikian sabda Rasulullah Swt. (HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al-‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu).
Ini menunjukkan bahwa wilayah politik adalah wilayah yang kedudukannya bisa sangat mulia. Politik di dalam Islam menempati posisi yang penting, asal politik dipergunakan sesuai track-nya, yaitu untuk menjaga tegaknya agama dan menyejahterakan rakyat. Betapa tidak mulia. Para politisi ini akan bekerja bukan untuk kepentingannya, melainkan untuk kepentingan orang lain; dan terutama untuk kepentingan agama Allah Swt. Betapa mulianya orang yang memegang pekerjaan ini. Oleh sebab itu, politisi yang tidak bekerja sesuai dengan akadnya sebagai politisi, dia dinamakan “pengkhianat”. Dia mengkhianati amanah Allah Swt. dan amanah rakyat sekaligus. Dosanya pun tidak kepalang tanggung, sama seperti pahalanya.
Pentingnya posisi politik bahkan diletakkan hanya satu garis di bawah kerasulan. Ketaatan kepada pemagang posisi politik tertinggi (ulil-amri) harus diberikan setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Nisâ’ [4]: 59). Sekalipun ketaatan ini bersyarat, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan ketaatan pada Allah dan rasul-Nya, namun pernyataan secara khusus tentang posisi ulil-amri ini menyatakan bahwa politik adalah sesuatu yang amat penting dan memiliki kedudukan yang tinggi. Oleh sebab itu pula, memisahkan Islam—sebagai agama—dengan politik adalah perbuatan sia-sia. Selain amat mustahil, juga tidak sesuai dengan karakter ajaran Islam yang syâmil-mutakâmil.
Selain memuji sebagai pekerjaan yang sangat penting, Islam juga mengingatkan bahwa memegang posisi politik adalah memegang posisi yang penuh fitnah. Dalam sebuah hadis yang tercantum dalam Sunan Al-Nasâ’i bab Ittibâ’ Al-Shaid dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw. pernah mengatakan, “Siapa yang tinggal di hutan dia akan kering (dari informasi; kurang pergaulan); siapa yang mengikuti binatang buruan, dia akan lalai; dan siapa yang mengikuti (dekat-dekat) penguasa, dia akan terkena fitnah.” Al-Suyûthi menyebut bahwa yang dimaksud“terkena fitnah” dalam hadis tersebut adalah “hilangnya agama” atau “dikhawatirkan sudah tidak lagi memperhatikan agamanya, karena ingin mendapatkan keridhoan penguasa.” (Al-Suyuthi. Syarh Sunan Al-Nasâ’i. Jil. 6 hal. 50.)
Berdekat-dekatan dengan penguasa saja dapat menimbulkan fitnah yang besar, yaitu hilangnya agama, apalagi menjadi penguasa. Menjadi penguasa secara psikologis memang membuat orang cenderung merasa dirinya paling segalanya sehingga tidak sedikit yang lupa daratan. Ini terlihat saat yang bersangkutan kehilangan posisi dan kedudukannya. Tidak sedikit yang mengidap penyakit kejiwaan yang sering disebut post power-syndrom. Oleh sebab itu, tanpa bekal keimanan, keilmuan, dan mental baja, banyak orang yang terjerumus dalam kubangan dunia politik. Mereka terjerumus dalam lumpur dosa akibat mengkhianati amanah yang dipikulnya. Kesempatan untuk berkhianat pada amanah sangat terbuka lebar bagi mereka yang memegang kekuasaan. Tidak salah pula dalam konteks ini apabila politik dikatakan sebagai suatu medan yang high risk high value.
Dari sini dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa Islam tidak menempatkan politik sebagai sesuatu yang tidak perlu didekatkan dengan agama. Justru dalam pandangan Islam, politik harus didasarkan pada agama. Agama harus menjadi landasan pertama dan utama dalam politik. Sekali politik dijauhkan dari agama, maka pada saat itulah politik akan menjadi lading perebutan kekuasaan yang sangat barbarian. Satu sama lain akan saling membunuh untuk mendapatkan kekuasaan. Seandainya pun ada mekanisme-mekanisme lahiriah seperti yang diciptakan dalam demokrasi modern, tanpa landasan agama mekanisme-mekanisme apapun tetap akan dikapitalisasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan tetap akan menjadi lahan untuk saling menghancurkan satu sama lain, bukan untuk menegakkan niat dan cita-cita politik sesungguhnya.
Hal lain yang menarik dari pandangan Islam tentang politik ini adalah bahwa penekanan utama masalah politik ada pada penguasa dan kekuasaannya itu. Sementara mengenai urusan teknis dalam politik seperti sistem pemilihan, pembuatan struktur kekuasaan dan birokrasi pemerintahan serta persoalan-persoalan teknis lainnya tidak diatur secara rigid. Para yuris Muslim diberi keleluasaan untuk berijtihad didasarkan pada prinsip-prinsip umum ajaran dan hukum Islam. Ini menunjukkan bahwa wilayah politik praktis memiliki keluasan ruang kreatif bagi umat Islam sehingga dimungkinkan dapat terus berinovasi mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.
Sekalipun Islam memberikan keleluasaan dalam berijtihad menentukan hal-hal teknis dalam berpolitik praktis, namun tentu hal-hal prinsip dalam Islam tidak boleh berlaku dalam politik Islam. Misalnya bahwa politik Islam harus dilandaskan pada prinsip tauhid yang meletakkan supremasi pengaturan kehidupan kepada Allah Swt., termasuk kehidupan politik. Hak prepogatif tidak diberikan pada “kebebasan manusia” sebagaimana filsafat politik yang berlaku saat ini, melainkan kepada ketundukan manusia pada Allah Swt. Oleh sebab itu, penghormatan terhadap hak-hak individu sebagaimana dikenal dalam ketentuan hak asasi manusia yang menjadi prinsip umum sistem politik demokrasi harus diletakkan setelah pengakuan terlebih dahulu atas hak-hak Allah Swt. atas hambanya. Prinsip ini berimplikasi pada kesadaran untuk mendahulukan wahyu dalam mengatur persoalan politik daripada keinginan dan akal manusia. Bila suatu hal diperintahkan atau dilarang secara qoth’i oleh wahyu, maka itulah yang didahulukan sekalipun bertentangan dengan keinginan dan kesenangan manusia.
Politik yang bertauhid juga sudah pasti tidak akan bersetuju dengan sekularisme dalam berpolitik. Sekularisme menghendaki politik steril sama sekali dari intervensi agama. Politik harus murni sebagai hasil negosiasi antar-manusia dan menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang disepakati para pendukungnya. Kalaupun agama menjadi bagian dari urusan manusia, maka “agama”-lah yang diurus oleh politik dan bukan sebaliknya. Agama yang dimaksud bukan agama sebagai ajaran, melainkan agama sebagai kepentingan manusia sehingga harus diatur oleh politik. Dalam hal ini agama menjadi objek, bukan subjek dalam politik. Sekularisme dalam politik adalah bentuk lain dari syirik modern yang dipraktikkan dalam berpolitik. Politik Islam pasti akan menghindari sejauh-jauhnya perilaku semacam ini.
Sebagaimana tujuan utama yang telah dijelaskan di atas, politik Islam pun harus menjadi kekuatan yang dapat menegakkan dan melindungi syariat-syariat Allah Swt. dalam berbagai aspek. Tidak boleh ada usaha-usaha manusia yang dibiarkan menolak, merusak, dan menghancurkan syari’at Allah Swt. ini. Kekuatan politik Islam adalah kekuatan politik yang harus menjalankan fungsi amar ma’rûf dan nahyi munkar. Tentu saja fungsi itu dasarnya adalah ketentuan ma’rûf dan munkar yang berlaku dalam ajaran Islam. Walhasil, politik Islam adalah anasir pelindung utama tegaknya ajaran-ajaran Islam; sambil pada saat yang sama politik Islam adalah alat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Wallâhu A’lamu bi Al-Shawwâb.***