SYAIKH AHMAD SURKATI

SYAIKH AHMAD SURKATI adalah tokoh utama berdirinya Jam’iyat al-Islah wa Al-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berubah menjadi Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah), atau disingkat dengan nama Al-Irsyad. Banyak ahli sejarah mengakui perannya yang besar dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, namun sayang namanya tak banyak disebutdalam wacana sejarah pergulatan pemikiran Islam di Indonesia.

Sejarawan Deliar Noer menyatakan Ahmad Surkati “memainkan peran penting” sebagai mufti.[1] Sedang sejarawan Belanda G.F. Pijper menyebut dia “seorang pembaharu Islam di Indonesia.” Pijper juga menyebut Al-Irsyad sebagai gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformasi di Mesir, sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha lewat Jam’iyat al-Islah wal Irsyad (Perhimpunan bagi Reformasi dan Pimpinan).[2]

Sejarawan Abubakar Aceh menyebut Syeikh Ahmad Surkati sebagai pelopor gerakan salaf di Jawa.[3] Howard M. Federspiel menyebut Syekh Ahmad Surkati sebagai “penasehat awal pemikiran Islam fundamental di Indonesia”. Dan pendiri Persatuan Islam (Persis), Haji Zamzam dan Muhammad Yunus, oleh Federspiel disebut sebagi sahabat karib Syekh Ahmad Surkati.

Pengakuan terhadap ketokohan Syekh Ahmad Surkati juga datang dari seorang tokoh Persis, A. Hassan. Menurut A. Hassan juga menyebut, pendiri Muhammadiyah H. Ahmad Dahlan dan pendiri Persis Haji Zamzam juga murid-murid Ahmad Surkati.

Menurut A. Hassan:

“Mereka itu tidak menerima pelajaran dengan teratur, namun Al-Ustadz Ahmad Surkati inilah yang membuka pikirannya sehingga berani membuang prinsip-prinsip yang lama, dan menjadi pemimpin-pemimpin organisasi yang bergerak berdasarkan Al-Kitab dan Al-Sunnah.”

Pujian terhadap Ahmad Surkati juga datang dari ayah Hamka, H. Abdul Karim Amrullah. Kisahnya, pada tahun 1944 Hamka bertanya kepada ayahnya tentang seseorang yang dipandang sebagai ulama besar di Jawa. Ayahnya menjawab, “Hanya Syekh Ahmad Surkati.” Hamka bertanya kembali, “Tentang apanya?”

“Dialah yang teguh pendirian. Walaupun kedua belah matanya telah buta, masih tetap mempertahankan agama dan menyatakannya dengan terus terang, terutama terhadap pemerintah Jepang. Ilmunya amat dalam, fahamnya amat luas dan hati sangat tawadu.”

Dalam bukunya yang berjudul Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Hamka juga menulis hubungan khusus antara ayahnya dengan Syekh Ahmad Surkati. “Setelah pindah ke tanah Jawa, sangatlah rapat hubungannya dengan almarhum Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad yang masyhur itu. Pertemuan beliau yang pertama dengan Syekh itu di Pekalongan pada 1925. Ketika itu Syekh masih sehat dan matanya belum rusak…”

Syekh Ahmad Surkati lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula negara Sudan, 1292 H atau 1875 M. Ayahnya bernama Muhammad dan diyakini masih punya hubungan keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, Sahabat Rasulullah SAW dari golongan Anshar.

Syekh Ahmad Surkati lahir dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam. Ayahnya, Muhammad Surkati, adalah lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. Syekh Ahamd dikenal cerdas sedari kecil. Dalam usia muda, ia sudah hafal Al-Qur’an.

Setamat pendidikan dasar di Mesjid Al-Qaulid, Ahmad Surkati dikirim oleh ayahnya belajar di Ma’had Sharqi Nawi, sebuah pesantren besar di Sudan waktu itu. Ia kembali lulus memuaskan, dan ayahnya ingin ia bisa melanjutkan ke Universitas Al-Azhar di Mesir. Namun pemerintahan Al-Mahdi yang berkuasa di Sudan waktu itu, melarang warganya meninggalkan Sudan. Putus keinginan Ahmad muda untuk mengikuti jejak ayahnya, menjadi sarjana Al-Azhar.

Namun suatu waktu, Ahmad Surkati bisa juga lolos dari Sudan dan berangkat ke Madinah dan Mekkah, untuk belajar agama. Tepatnya, setelah ayah beliau wafat pada 1896 M. Di Mekkah, ia sempat memperoleh gelar Al-Allaamah yang prestisius waktu itu, dari Majelis Ulama Mekkah, pada 1326 H. Syekh Ahmad lantas mendirikan sekolah sendiri di Mekkah, dan mengajar tetap di Masjidil Haram.

Meski berada di Mekkah, ia rutin berhubungan dengan ulama-ulama Al-Azhar lewat surat menyurat. Hingga suatu waktu datang utusan dari Jami’at Kheir (Indonesia) untuk mencari guru, ulama Al-Azhar langsung menunjuk ke Syekh Ahmad. Dan beliaupun pergi ke Indonesia bersam dua kawan karibnya, Syekh Muhammad Abdulhamid al-Sudani dan Syekh Muhammad Thayyib al-Maghribi.

Di negeri barunya ini, Syekh Ahmad menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syekh Ahmad Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami’at Kheir di Jakarta dan Bogor.

Berkat kepemimpinan dan bimbingannya, dalam waktu satu tahun sekolah-sekolah tersebut maju pesat. Namun Syekh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Kheir, karena perbedaan faham yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jami’at Kheir, yang umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin).

Sekalipun Jami’at Kheir tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jami’at Kheir dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad Surkati tentang kafaah (persamaan derajat).

Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan mundur dari Jami’at Kheir, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan dihari itu juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya dari golongan non-Alawi mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya: Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad Al-Islamiyyah).

Karya Syeikh Ahmad Syurkati

Selain mengajar di sekolah formal, di Indonesia Syekh Ahmad Surkati juga rajin membuat karya tulis . Di antaranya adalah:

1. Surat al-Jawab (1915), Risalah ini merupakan jawaban Ahmad Surkati terhadap permintaan pemimpin surat kabar Suluh India, H.O.S. Tjokroaminoto, sehubungan dengan makin luasnya pembicaraan tentang kafa’ah.
2. Risalah Tawjih al-Qur’an ila Adab al-Qur’an (1917), Karyanya ini lebih menajamkan isi yang terkandung dalam Surat al-Jawab. Intinya antara lain: kedekatan seseorang pada Muhammad Saw sebagai Rasulullah bukan didasarkan atas keturunan, namun atas dasar ketekunan dan kesungguhan dalam mengikuti jejak dan dakwahnya.
3. Al-Dhakhirah al-Islamiyah (1923), Majalah bulanan yang dikelola Syekh Ahmad Surkati bersama saudaranya, Muhammad Nur al-Anshari. Melalui majalah ini Syekh Ahmad Surkati membongkar praktik-praktik beragama yang keliru, menulis tentang Islam yang cocok untuk segala bangsa dan di segala waktu, dan persatuan ummat.
4. Al-Masa’il al-Thalats (1925), berisi pandangan Syekh Ahmad tentang ijtihad dan taqlid, sunnah dan bid’ah serta tentang ziarah kubur dan tawassul.
5. Al-Wasiyyat al-Amiriyyah (1918)
6. Zedeleer Uit Den Qor’an (1932)
7. Al-Khawatir al-Hisan (1941)

Beberapa buku di atas sudah diterjemahkan ke Bahasa Melayu (Indonesia).

G.F. Pijper menulis: “Sebagai seorang Muslim yang baik, dia menjauhkan diri dari para pejabat pemerintah. Tentu saja dia bukanlah tipe seorang sahabat pemerintah Kolonial….” Pijper adalah penasehat Pemerintah Hindia Belanda menjelang dan sampai masuknya Jepang ke Indonesia. Menurut pengakuannya, ia kenal baik dengan Syekh Ahmad, bahkan ia sempat tiga tahun belajar Ilmu Tafsir dan Ilmu Fiqih pada Syekh Ahmad.

Banyak pemuka Islam yang selain merupakan sahabat erat Syekh Ahmad, juga sempat menimba ilmu darinya. Antara lain A. Hassan, salah satu tokoh Persatuan Islam (Persis). Juga KH. Mas Mansyur dan H. Fachruddin (pemuka Muhammadiyah), KH. Abdul Halim, pemuka Persyarikatan ‘Ulama yang kemudian menjadi PUI (Persatuan Umat Islam).

A. Hassan-lah yang memperkenalkan Syekh Ahmad Surkati pada Bung Karno, ketika Bung Karno berada dalam pembuangan di Ende, lewat brosur-brosur dan buku-buku yang ditulis Syekh Ahmad. Presiden pertama RI ini ketika bebas dari Ende, sering bertandang ke rumah Syekh Ahmad.

Syekh Ahmad juga menjadi “guru spritual” Jong Islamieten Bond (JIB), dimana para aktifisnya seperti Muhammad Natsir (mantan perdana Menteri), Kasman Sigodimedjo dkk. Sering belajar pada beliau.

Ahmad Surkati tutup usia pada hari Kamis, 6 September 1943, jam 10.00 pagi, di kediaman beliau Jalan Gang Solan (sekarang Jl. KH. Hasyim Asy’ari no. 25) Jakarta, tepat 29 tahun setelah beliau mendirikan Al-Irsyad. Jenazahnya diantar ke Pekuburan Karet dengan cara sederhana dan tidak ada tanda apa-apa di atas tanah kuburannya. Ini sesuai amanat beliau sendiri sebelum meninggal.

Di antara orang-orang dan para muridnya yang melayat, sebagian besar telah menjadi tokoh masyarakat dan pejuang bangsa. Di antaranya Bung Karno, yang pernah menyatakan: “Almarhum telah ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia.”

Referensi1. ^Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900 – 1942, Oxford
2. ^ University Press, Singapore, 1973, hal. 59 dan 63
3. ^ G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950, terj. Oleh Prof. Dr. Tudjimah dan Drs. Yessy Dagusdin, Universitas Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 120 dan 114.
• Abubakar Aceh, Salaf, Permata, Jakarta, 1970, hal. 27
• Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Cornell University, Ithaca, 1970,hal.12
• Umar Sulaiman Naji, Tarjamat Al-Hayat al-Ustadz Ahmad al-Surkati al-Ansari al-Sudani, Manuskrip, hal.29.

KLIK: RUANG JUANG

Masih Saktikah Pancasila?

AWAL MULA DIGAGASNYA PANCASILA

Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dibentuk pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. Badan Penyelidik yang beranggotakan 62 orang ini, termasuk Dr. Rajiman Widyodiningrat dan R.P. Soeroso masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua, dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 dan menyelesaikan tugasnya di Gedung Pejambon dalam dua kali sidang.

Sidang pertama berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. Dan yang kedua, berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 16 Juli 1945. Pada hari terakhir sidang pertama (1 Juni 1945) inilah Soekarno, salah seorang anggota Badan Penyelidik, menyampaikan gagasannya tentang dasar Negara Pancasila.

Pidato Soekarno begitu panjang lebar, singkatnya Soekarno mengungkapkan beberapa prinsip dalam pidato tersebut:
“Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
Kebangsaan Indonesia
Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
Mufakat,-atau demokrasi
Kesejahteraan sosial
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhamad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya “ber-Tuhan secara kebudayaan”, yakni dengan tiada “egoisme-agama”.

Selanjutnya Soekarno pun memberikan nama atas prinsip dasar-dasar Negara tersebut dalam pidatonya:
“Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Dari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pendawa Lima). Pendawa pun lima orangnya. Sekarang pun banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi -saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa- namanya Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan “Negara Indonesia, kekal dan abadi.”

Setidaknya itulah pidato Soekarno dalam sidang BPUPKI dengan mengemukakan gagasan tentang prinsip-prinsip bagi dasar Negara Indonesia yang dikemudian hari saat-saat tersebut (1 Juni) diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
panca 1
PANCASILA DAN PENGARUH ZIONISME

‘Zionisme’ berasal dari kata Ibrani “zion” yang artinya karang. Maksudnya merujuk kepada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di atas sebuah bukit karang bernama ‘Zion’, terletak di sebelah barat-daya Al-Quds (Jerusalem). Bukit Zion ini menempati kedudukan penting dalam agama Yahudi, karena menurut Taurat, “Al-Masih yang dijanjikan akan menuntun kaum Yahudi memasuki ‘Tanah yang Dijanjikan’. Dan Al-Masih akan memerintah dari atas puncak bukit Zion”. Zion dikemudian hari diidentikkan dengan kota suci Jerusalem itu sendiri.

Kata Zionis ini kemudian dipergunakan sebagai nama suatu ideologi yang diikuti oleh bangsa Yahudi di seluruh dunia, yaitu bahwa bangsa Yahudi akan mendirikan kerajaan Israel Raya dengan Al-Quds sebagai ibu kotanya.

Zionis dalam rangka mendirikan kerajaan Israel Raya membentuk organisasi bawah tanah Internasional yang diantaranya adalah Freemasonry. Freemasonry yang terkenal itu dinamakan Masuniyah dalam bahasa Arab, Masunik dalam bahasa Urdu, Freemasonry dalam bahasa Inggris, Vrijmetselarij dalam bahasa Belanda, France Masonerie dalam bahasa Perancis.

Freemasonry terdiri dari dua kata, yaitu “free” yang berarti bebas atau merdeka, dan “masonry” yang berarti tukang batu (bangunan). Freemasonry berarti tukang batu (bangunan) yang merdeka.

Namun Gerakan Freemasonry ini adalah organisasi Yahudi Internasional yang tidak ada hubungannya dengan tukang batu yang dahulu memang ada pada abad-abad pertengahan. Ia juga tidak ada hubungannya dengan kegiatan pembangunan kapal atau katedral besar seperti dugaan banyak orang. Yang sebenarnya, kiprah gerakan ini adalah bekerja untuk menghancurkan kesejahteraan manusia, merusak tatanan politik, ekonomi, dan sosial di negeri-negeri yang mereka tempati. Mereka memang hobi merusak bangsa dan pemerintahan “Goyim” (Non-Yahudi).

Tujuan akhir gerakan ini adalah membangun kembali Haikal Sulaiman yang terletak di Masjid Al-Aqsha (Al-Quds) yang sekarang diduduki Israel, mengibarkan bendera Israel, serta mendirikan pemerintahan Zionisme Internasional, seperti yang ingin diterapkan dalam protokolat, sebuah rencana busuk pemuka Yahudi.

Kita bisa merenungkan seorang Yahudi, pembela fanatik Freernasonry dan Zionisme, Seorang hakkom (pendeta Yahudi) bernama Ishaq Weis di dalam majalah Israel Amerika mengatakan:
“Freemasonry menurut sejarahnya, derajat dan pengajarannya adalah merupakan sebuah perkumpulan Yahudi. Kata-kata, sandi dan upacara ritualnya dari A sampai Z adalah berjiwa Yahudi”.

Gerakan Zionisme dan Freemasonry di seluruh dunia sesungguhnya memiliki asas yang sama. Asas dari dua gerakan ini disebut “Khams Qanun”, lima sila, atau Panca Sila. Dan asas ini tentu saja diajarkan kepada seluruh anggotanya yang kelak menjadi pemimpin di negaranya. Berikut ini “Khams Qanun” sebagaimana ditulis Abdullah Patani dalam bukunya Freemasonry di Asia Tenggara:

1. Nasionalisme-Kebangsaan

Artinya berbangsa satu Yahudi, berbahasa Yahudi, dan bertanah air satu Yahudi Raya (impian mewujudkan Israel raya). Bila kita cermati teks ini mirip dengan teks sumpah pemuda.

2. Monotheisme

Berarti “kesatuan tuhan,” yaitu hendaklah bangsa Yahudi bertujuan dengan Tuhannya masing-masing dalam sebuah gerak yang sama. Maka wahai orang-orang Atheis dan yang membebaskan dirinya dari kekangan agama yang ada di kalangan bangsa Yahudi, hendaklah kalian tetap bertuhan dengan tuhan-tuhanmu. Bukanlah alampun merupakan tuhanmu. Juga bukankah kudrat (kekuatan) alampun merupakan tuhanmu juga?Jika kalian berlainan agama, berlainan kepercayaan, atau berlainan keyakinan, maka hendaklah kalian tetap bersatu-padu. Sebab, Gunung Zion telah menanti kalian. Selain itu wahai Yahudi seluruh dunia, hendaklah kalian memiliki perasaan tenggang rasa dan saling hormat menghormati antara satu dengan lainnya.

3. Humanisme

Artinya adalah belakulah kemanusiaan yang adil dan beradab. Janganlah kalian meniru bangsa Babilonia yang dahulu telah mengusir kalian. Tetapi bagi bangsa di luar kalian dan yang hendak membinasakan kalian, dan ingatlah bahwa kalian adalah bangsa yang besar serta bila mendesak, maka berlakulah seperti anjuran YANG ADA PADA Syer Talmud, seperi nyanyian Qaballa:

“Taklukkanlah mereka. Binasakanlah mereka. Sebab, mereka akan mengambil hakmu. Ingatlah bahwa kalian adalah setinggi-tingginya bangsa, bak menara yang menjulang tinggi”.

“Gunakanlah hatimu ketika menghadapi saudaramu. Sebab, mereka adalah keturunan Ya`qub yang merupakan keturunan Israel. Buanglah hatimu ketika menghadapi lawanmu. Sebab, mereka itu bukanlah saudaramu. Mereka adalah kambing-kambing perahmu. Harta mereka adalah hartamu juga (rampaslah). Rumah mereka adalah rumahmu (rebutlah dengan paksa). Juga, tanah mereka adalah tanahmu (kuasailah).”

4. Sosialisme

Artinya adalah keadilan sosial yang merata bagi masyarakat Yahudi, sehingga setiap orang Yahudi hendaknya dapat menjadi kaya-raya dan menjadi pemimpin dimanapun ia berada, yaitu menjadi protocol pembuat program (kebijaksanaan). Dalam nyanyian Qaballa Talmud disebutkan :

“Dengan uang, kalian dapat kembali ke Yudea Israel. Sebab, agama itu tegak dengan uang. Juga agama itu sesungguhnya uang juga adanya. Bahkan, wajah Yahwe itu sendiri yang tampak olehmu sesungguhnya adalah uang”.
“Cintailah Zion, cintailah Hebron (Hebrew), cintailah Yudea, dan cintailah seluruh tanah permukiman Israel. Sebab, kalianlah bangsa yang memegang wasiat Hebron tertua yang berbunyi: “Cinta tanah air itu adalah sebagian daripada iman”. (teks ini ternyata juga diadopsi oleh sebagian umat islam bahkan dikenal sebagai hadits “hubbul wathan minal iman” padahal hadits tersebut maudhu’dan dari sinilah sumbernya)

5. Demokrasi

Artinya adalah dengan cahaya Talmud dan Masyna serta segala ucapan imam-imam agung (bangsa Yahudi), telah diundang-undangkan ketentuan tentang demokrasi ini, yaitu:

“Bermusyawaralah dan rapatlah serta bertetapkanlah terhadap pilihan yang berasal dari suara terbanyak. Sebab, suara terbanyak itu adalah suara Tuhan.” (Pas sekali dengan semboyan demokrasi, vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan). Jadi siapa bilang yang namanya demokrasi itu ada begitu saja tanpa ada konspirasi yang mengangkatnya?)
Di dalam Khams Qanun dari organisasi Qaballa Yahudi, mereka mempunyai asas sebagi berikut:
Monotheisme
Nasionalisme
Humanisme
Demokrasi
Sosialisme

Zionis Israel
Zionis Israel yang merupakan rekayasa dan pembenaran yang diambil dari Talmud, memiliki asas sebagi berikut:
Nasionalisme
Monotheisme Kultural
Demokrasi

Cina
Dasar negara Cina dengan nama San Ming Cu I juga memiliki kemiripan dengan dasar Zionis Israel, yaitu:
Min Tsu (Nasionalisme)
Min Chuan (Demokrasi)
Min Sheng (Sosialisme)

Freemasonry Prancis
Ini adalah asas gerakan Freemasonry Prancis yang juga menjadi pemicu munculnya Revolusi Prancis yang terkenal itu, yaitu:
Nasionalisme
Sosialisme
Humanisme
Theologi Kultural

Freemasonry Italia
Nasionalisme
Trinitas
Humanisme
Sosialisme
Demokrasi

Freemasonry Palestina
Nasionalisme
Monotheisme
Humanisme
Sosialisme
Demokrasi

India
Pandit Jawarhal Nehru, seorang negarawan India, di dalam sebuah pertemuan Konggres India menyampaikan gagasan tentang asas negara India merdeka yang diberinya nama Panc(a) Silla, yaitu:
Nasionalisme India
Humanisme
Demokrasi
Religus &
Sosialisme

Filipina
Orang mengenal asas negara Filipina berasal dari Aquinaldo, seorang tokoh nasionalisme di negeri tersebut. Ada lima asas negara Filipina yang sesungguhnya berasal dari Gerakan Katipunan yang disusun oleh Andreas Bonafacio pada tahun 1893, yaitu:
Nasionalisme
Demokrasi
Ketuhanan
Sosialisme
Humanisme Filipina

Thailand
Ada empat asas negara Gajah Putih ini, yang asalnya berasal dari Ptidi Banomyong, yaitu:
Nasionalisme
Demokrasi
Sosialisme
Religius

Indonesia
Banyak versi asas-asas negara bagi Indonesia, pada awal pembuatannya. Kita mengenal asas-asas negara yang dikemukakan antara lain oleh:
a) Mr. Muhammad Yamin
Peri Kebangsaan
Peri Kemanusiaan
Peri Ketuhanan
Peri Kerakyatan
Kesejahteraan Rakyat

b) Mr. Soepomo
Persatuan
Kekeluargaan
Keseimbangan Lahir Batin
Musyawarah
Keadilan Rakyat

c) Ir. Soekarno
Nasionalisme ( Kebangsaan)
Internationalisme ( Kemanusiaan)
Demokrasi ( Mufakat)
Sosialisme
Ketuhanan

Demikianlah bentuk-bentuk asas negara yang dipakai di kawasan Asia Tenggara. Kita menduga kuat bahwa sejak lama kawasan ini telah dipengaruhi oleh ide-ide Gerakan Freemasonry berbagai cara.

panca 0
JAWABAN ATAS SYUBHAT SILA PERTAMA “KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Di antara kaum muslimin ada yang menjadikan argumentasi sila pertama tersebut di atas sebagai dalil bahwa negeri ini adalah negeri muslim berasaskan tauhid, benarkah demikian?

1. Seseorang disebut sebagai muwahhid jika ia menjadikan Allah saja satu-satunya sebagai ilah. Dalilnya begitu banyak diantaranya:

Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, (Q.S. Al-Ikhlas : 1)
Adapun sila pertama di atas adalah bentuk monotheisme yang sungguh berbeda dengan tauhid karena tauhid secara definitive menjadikan Allah sebagai satu-satunya ilah. Sedangkan monotheisme tidak, ia menyadarkan ketuhanannya kepada siapa saja asalkan jumlah tuhannya satu/esa. Contoh bukankah Fir’aun juga menjadikan dirinya Tuhan satu-satunya yang mengharuskan penduduknya menyembah kepadanya? Maka ini bisa disebut sebagai monotheisme.

2. Pidato Soekarno berikut ini mempertegas argumentasi di atas:
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhamad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya “ber-Tuhan secara kebudayaan”, yakni dengan tiada “egoisme-agama”.

Perhatikan statement nyeleneh Soekarno pada kalimat yang bertanda kutip, untuk lebih memperjelas apa maksud sila ketuhanan tersebut yakni “ber-Tuhan secara kebudayaan”

3. KH. Firdaus AN salah seorang saksi sejarah menulis dalam bukunya, Dosa-dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru sbb:

Ketuhanan adalah kata imbuhan dengan awalan “ke” dan akhiran “an.” Kata yang seperti itu ada dua arti.
Pertama, berarti menderita. Seperti kedinginan ,menderita dingin; kepanasan, menderita panas. Kehausan, menderita haus, dan sebagainya.

Kedua, berarti banyak. Ketumbuhan, banyak yang tumbuh, seperti penyakit campak atau cacar yang tumbuh di badan seseorang. Kepulauan, banyak pulau; Ketuhanan, berarti banyak Tuhan. Jadi kata Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Contradictio in Terminis (Pertentangan dalam tubuh kata-kata itu sendiri) Mana mungkin banyak Tuhan disebut yang maha esa. Dalam bahasa Arab, itu disebut “Tanaqudh” (pertentangan awal dan akhir). Logika ini jelas tidak sehat, bertentangan dengan kaidah ilmu bahasa. Jelaslah, kata Ketuhanan itu syirik. Dan kalau yang dituju itu memang Tauhid, maka rumusannya yang tepat adalah Pengabdian kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa. Padahal Presiden Soeharto sendiri menegaskan: “Jangan masukkan nilai dari paham lain (Islam, Pen.) ke dalam Pancasila” (Kompas, 21 Mei 1991).

MASUKNYA DOKTRIN ZIONIS YAHUDI KE INDONESIA

Zionis Yahudi masuk ke Indonesia tentu saja seiring dengan masuknya penjajah belanda ke negeri ini. Kerajaan Belanda sejak dahulu telah dikenal sebagai tempat pertemuan Freemasonry se-Eropa.

Pada November 1875, pusat gerakan Zionis di Inggris, Fremasonry, mengutus Madame Blavatsky—demikian Helena Balavatsky biasa disebut—ke New York. Sesampainya di sana, Blavatsky langsung mendirikan perhimpunan kaum Theosofi. Sejak awal, organisasi kepanjangan tangan Zionis-Yahudi ini, telah menjadi mesin pendulang dolar bagi gerakan Freemasonry.

Di luar Amerika, sebut misalnya di Hindia Belanda, Blavatsky dikenal sebagai propagandis utama ajaran Theosofi. Pada tahun 1853, saat perjalanannya dari Tibet ke Inggris, Madame Blavatsky pernah mampir ke Jawa (Batavia). Selama satu tahun di Batavia, ia mengajarkan Theosofi kepada para elit kolonial dan masyarakat Hindia Belanda. Sejak itu, Theosofi menjadi salah satu ajaran yang berkembang di Indonesia dan tentu saja sambil mengajarkan doktrin-doktrin ajaran zionis/freemasonry.

Tahun 1909, dalam Kongres Theosofi di Bandung, jumlah anggota Theosofi adalah 445 orang (271 Belanda, 157 Bumiputera, dan 17 Cina). Dalam Kongres itu juga disepakati terbitnya majalah Theosofi berbahasa Melayu “Pewarta Theosofi” yang salah satu tujuannya menyebarkan dan mewartakan perihal usaha meneguhkan persaudaraan. Pada tanggal 15 April 1912, berdirilah Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (NITV), yang diakui secara sah sebagai cabang Theosofi ke-20, dengan Presidennya D. van Hinloopen Labberton. Tahun 1915, dalam Kongres Theosofi di Yogyakarta, jumlah anggotanya sudah mencapai 830 orang (477 Eropa), 286 bumiputera, 67 Cina.

Sebuah buku yang ditulis oleh Iskandar P. Nugraha berjudul Mengikis Batas Timur dan Barat: “Gerakan Theosofi dan Nasionalisme Indonesia” (2001), memberikan gambaran besarnya pengaruh gerakan Theosofi pada tokoh-tokoh nasional di Indonesia. Misalnya, orang tua Soekarno (R. Soekemi) ternyata anggota Theosofi.

Hatta juga mendapat beasiswa dari Ir. Fournier dan van Leeuwen, anggota Theosofi. Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota atau dekat sekali hubungannya dengan Theosofi adalah Moh. Yamin, Abu Hanifah, Radjiman Widijodiningrat (aktivis Theosofi), Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, Armijn Pane, Sanoesi Pane, dan sebagainya.

Selanjutnya Anggaran Dasar NITV kemudian disetujui Pemerintah Hindia Belanda tanggal 2 November 1912. Dengan demikian, NITV menjadi organisasi yang sah dan berdasar hukum. Pusatnya di Batavia. Cita-cita yang dicanangkan NITV adalah keinginan untuk memajukan kepintaran, kebaikan, dan keselamatan “saudara-saudara” pribumi, agar dengan bangsa Barat dapat saling berdekatan.

Kebangkitan theosofi di Indonesia saat ini pun semakin nyata dengan didirikannya Persatuan warga theosofi Indonesia (PERWATHIN) yang beralamat di jl. Anggrek Neli Murni Blok a-104.

Dan sebagai alat propagandanya mereka menerberbitkan majalah Theosofi Indonesia. Alamat redaksinya; Metro Permata I, blok I 3/7 Jl. Raden Saleh Karang Mulya Ciledug

Theosofi, seperti dijelaskan oleh Blavatsky : “Kearifan ilahi (Theosophia) atau kearifan para dewa, sebagai theogonia, asal-usul para dewa. Kata theos berarti seorang dewa dalam bahasa Yunani, salah satu dari makhluk-makhluk ilahi, yang pasti bukan ‘’Tuhan” dalam arti yang kita pakai sekarang. Karena itu, Theosofi bukanlah ‘Kebijaksanaan Tuhan’, seperti yang diterjemahkan sebagian orang, tetapi ‘Kebijaksanaan ilahi’ seperti yang dimiliki oleh para dewa.”

Dengan pandangan dan misi seperti itu, Theosofi tampak bermaksud menjadi pelebur agama-agama atau menjadi kelompok ‘super-agama’ yang berada di atas atau di luar agama-agama yang ada. Hal ini sangat sejalan dengan gagasan Pluralisme Agama. Maka tidak heran pada pita yang di dipegang oleh kaki burung garuda mengutip ajaran Mpu Tantular dalam kitab sutasoma yang bertulis : “Bhinneka tunggal ika” yang jelas-jelas merupakan symbol sikretisme atau perpaduan seluruh agama maupun budaya menjadi satu sebagai dasar Negara ini. Dan konsep ini substansinya sangat mirip sekali dengan ilyasiq dasar hukum Mongol tar-tar sebagaimana yang nanti akan dijelaskan.

PAGANISME GARUDA PANCASILA SEBAGAI ILYASIQ MODERN DAN BAGAIMANA SIKAP KITA?

Lambang burung Garuda Pancasila diprakarsai oleh M. Yamin, Ki Hajar Dewantoro dan ditetapkan oleh Soekarno. Jelas ketiganya merupakan anggota theosofi.

Burung Garuda sejatinya tidak pernah ada di dunia ini, bahkan lambang burung garuda ini di duga kuat merupakan lambang paganis yang terinspirasi dari lambang dewa Horus sebagai kepercayaan rakyat mesir yang dipercaya hidup pada 3000 SM. Zionis Yahudi memang kerap menandai suatu Negara yang berada di bawah pengaruhnya dengan lambang burung, dan itu bisa kita lihat seperti Negara Amerika Serikat.

Selanjutnya bukan hanya sebagai pagan (berhala) thaghut secara fisik Garuda Pancasila juga menjadi thaghut dalam hal hukum.

Dasar hukum Pancasila sebagai Dasar Negara adalah Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, sedang dasar hukum Pancasila sebagai “sumber segala sumber hukum yang tertinggi” adalah Tap MPR No. III/MPR/2000. Ini merupakan bentuk “kufrun bawwah” kekufuran yang nyata. Dan ada banyak dalil yang menerangkan kekufuran tersebut. Adapun yang dimuat dalam tulisan ini hanya beberapa diantaranya adalah dalil-dalil yang memiliki kaitan sebagaimana yang pernah terjadi di masa-masa kekuasaan Jengis Khan yang membuat konsep hukum positif di mana di dalamnya berisi aturan-aturan kompilasi dari berbagai ajaran, seperti; Nasrani, Yahudi, adat-istiadat, Islam dll persis seperti ajaran Pancasila yang berbunyi; “Bhinneka tunggal ika”.

Kemudian akibat diterapkannya sumber hukum Thaghut tersebut berapa banyak darah umat Islam tercecer?! Berapa banyak para ulama yang menjadi tumbalnya?! Dan berapa banyak kepentingan umat Islam untuk menegakkan syari’ahnya dikorbankan demi untuk membela apa yang disebut dengan “Pancasila Sakti”. Oleh sebab itu dalam pembahasan terakhir ini akan “sedikit” dijelaskan mengenai status bagaimana menjadikan Ilyasiq Moderen (Pancasila) sebagai dasar hukum negeri ini, dan juga fatwa-fatwa para ulama tentang bagaimana seharusnya umat Islam bersikap.
Firman Allah Ta’ala :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin?” [QS. Al Maidah :50].

Allah Azza Wa Jalla menyebutkan hukum jahiliyah yaitu perundang-undangan dan sistem jahiliyah sebagai lawan dari hukum Allah, yaitu syari’at dan sistem Allah. Jika syari’at Allah adalah apa yang dibawa oleh Al Qur’an dan As Sunah, maka apalagi hukum jahiliyah itu kalau bukan perundang-undangan yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunah?.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, “Perhatikanlah ayat yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja. Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hukum Jahiliyah. Dengan demikian jelas, para penetap undang-undang merupakan kelompok orang-orang jahiliyah; baik mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka lebih jelek dan lebih berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang jahiliyah tidak melakukan kontradiksi dalam ucapan mereka, sementara para penetap undang-undang ini menyatakan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah namun mereka mau mencari celah. Allah telah berfirman mengenai orang-orang seperti mereka:
“Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya dan Kami siapkan bagi orang-orang kafir adzab yang menghinakan.” (Risalatu tahkimil qawanin hal. 11-12)

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini:
ينكر تعالى على من خرج عن حكم الله المُحْكَم المشتمل على كل خير، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء والأهواء والاصطلاحات، التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله، كما كان أهل الجاهلية يحكمون به من الضلالات والجهالات، مما يضعونها بآرائهم وأهوائهم، وكما يحكم به التتار من السياسات الملكية المأخوذة عن ملكهم جنكزخان، الذي وضع لهم اليَساق وهو عبارة عن كتاب مجموع من أحكام قد اقتبسها عن شرائع شتى، من اليهودية والنصرانية والملة الإسلامية، وفيها كثير من الأحكام أخذها من مجرد نظره وهواه، فصارت في بنيه شرعًا متبعًا، يقدمونها على الحكم بكتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم. ومن فعل ذلك منهم فهو كافر يجب قتاله، حتى يرجع إلى حكم الله ورسوله [صلى الله عليه وسلم] فلا يحكم سواه في قليل ولا كثير

“Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut jahiliyah bangsa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari sistem perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi undang-undang yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunah . Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan Rasul-nya, sehingga tidak berhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak mau pun sedikit.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/131)

Tidak ada perbedaan antara Tartar dengan para penguasa kita hari ini, justru para penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar, sebagaimana disebutkan melalui komentar ‘Alamah Syaikh Ahmad Syakir atas perkataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.

“Apakah kalian tidak melihat pensifatan yang kuat dari Al Hafidz Ibnu Katsir pada abad kedelapan hijriyah terhadap undang-undang postif yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan? Bukankah kalian melihatnya mensifati kondisi umat Islam pada abad empat belas hijriyah? Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi ; hukum Ilyasiq hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyelusup dalam umat Islam dan segera hilang pengaruhnya. Namun kondisi kaum muslimin saat ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka karena kebanyakan umat Islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menyelisihi syariah Islam ini, sebuah hukum yang paling menyerupai Ilyasiq yang ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya….Sesungguhnya urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong, yaitu kufur yang nyata tak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada yang membingungkan. Tidak ada udzur bagi siapa pun yang mengaku dirinya muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya atau mengakuinya. Maka berhati-hatilah, setiap individu menjadi pengawas atas dirinya sendiri.” (Umdatu Tafsir IV/173-174)

Ketika berhukum dengan Ilyasiq bangsa Tatar sudah masuk Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Ilyasiq ini dan mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasul-Nya, para ulama mengkafirkan mereka dan mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H, “Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau mayoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan menaburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mahmud…”

Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah, “Terjadi perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka menampakkan keislaman dan tidak termasuk pemberontak. Mereka bukanlah orang-orang yang menyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka Syaikh Taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata, “Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar dari Ali dan Mu’awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum muslimin lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzaliman, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam lainnya.” Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab harus memerangi bangsa Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada masyarakat, “Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf, maka bunuhlah aku.” (Al Bidayah wan Nihayah XIV/25, lihat juga Majmu’ Fatawa XXVIII/501-502, XXVIII/509 dst)

Maksud dari disebutkannya peringatan ini adalah menerangkan tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menampakkan Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat sehingga tidak boleh memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi seluruh ulama untuk menyatakan kekafiran mereka dan wajibnya memerangi mereka, disebabkan karena mereka berhukum dengan Ilyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan undang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri umat Islam. Karena itu, Syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini dengan istilah Ilyasiq kontemporer, sebagaimana beliau sebutkan dalam Umdatu tafsir.

Telah menjadi ijma’ ulama bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah.

Ibnu Katsir berkata setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Ilyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar :

“Barang siapa meninggalkan syari’at yang telah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at lainnya yang telah mansukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Allah? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma’ kaum muslimin.” (Al Bidayah wan Nihayah XIII/128).

Demikianlah risalah singkat ini, penulis memohon kepada Allah ta’ala Yang Maha Berkuasa, untuk menjadikan pembahasan ini semata-mata untuk mencari ridha-Nya. Semoga Allah mengampuni segala ketergelinciran dalam kajian ini, penulis tidak bermaksud selain mencari kebenaran.
Apabila dalam kajian ini ada kebenaran, maka itu dari Allah ta’ala semata. Dan apabila ada kesalahan, maka itu semua dari saya pribadi dan dari setan, Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam berlepas diri darinya.***
SUMBER:


Link: RUANG JUANG

Biografi Abul A’la Al-Maududi

SEJARAH KELAHIRAN DAN PERTUMBUHANNYA

Al-Maududi ditahirkan pada 3 Rajab 1321 Hijrah (1903 Masehi). Ayahnya bernama Sayyid Ahmad Hasan Maudud yang di lahirkan di Delhi (1266 – 1338 H). Al-Maududi dibesarkan dalam keluarga yang zuhud. Dialek dan tutur katanya terjaga meskipun sering berpindah tempat. Ayahnya senang membacakan Sirah Nabi dan Tarikh Islam sejak ia kecil. Ayahnya menginginkan beliau untuk menjadi seorang ulama, sehingga memberikan pelajaran fokus bahasa Arab dan Persia, Ilmu Fiqh dan Hadith. Al-Maududi tidak tertarik memperlajari bahasa Inggris.

Aktivitas Akademiknya nampak unggul. Di sekolah, Al-Maududi begitu menonjol, ia duduk di kelas 8 padahal usianya baru 11 tahun. Pada usia ini beliau telah menulis artikel dan menyampaikan ceramah, sehingga guru-guru & temannya berasa kagum. Pada usia 15 tahun, ia bekerja sebagai editor pada surat kabar harian yang terbit di kota kecil, Pajnoor.
Sebelum wafat, ayah beliau sakit parah hingga hanya bisa duduk dan sulit untuk bergerak. Al-Maududi bekerja untuk menghidupi dirinya dan membantu orangtuanya. Al-Maududi melukiskan masa ini dengan mengatakan: “Aku melewati hari-hari yang amat lambat, sementara obor harapan semakin redup perlahan-lahan, dan hakikat yang amat pahit akan segera nampak kelihatan. Cobaan hidup selama satu setengah tahun, mengajarkan kepadaku pelajaran yang bermanfaat. Bahwa tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali harus berjuang untuk tetap hidup. Allah telah mengurniakan kepandaian menulis kepadaku yang didapati melalui bacaan dan tela’ah. Dan sini aku memutuskan untuk menjadikan pena sebagai alat mencari rezeki.”

Tahun 1818 M, Sayyid Abul Khair al-Maududi – kakak kandung beliau – menjadi pemimpin redaksi surat kabar “Bajamur”, beliau pun ikut bekerja disana. Inilah awal kiprah Al-Maududi dalam dunia pers dan jurnalistik. Tidak lama kemudian surat kabar tersebut dibekukan oleh pemerintah. Dua bersaudara ini lalu bergabung dengan gerakan ke-khilafahan. Kemudian mereka sempat berkerja di majalah “Taaj”. Tugas jurnalistik majalah tersebut memaksa Al-Maududi belajar bahasa Inggris. Setelah itu beliau mulai membaca buku-buku sejarah, filsafat, politik, sosial, perbandingan agama, dll. Pemerintah kembali penutup penerbitan surat kabar tempat Al-Maududi bekerja. Beliau lalu kembali ke Delhi dan menjadi pemimpin redaksi majalah “Jaridah Muslim” yang diterbitkan Organisasi Ulama India. Majalah itu ditutup oleh pemerintah pada tahun 1341 H. Awal tahun 1342, Al-Maududi diminta membantu penerbitan surat kabar “Hamdarat” (Saling Kasih) oleh Muhammad Ali Jauhar. Mereka berdua aktif mengjawab tuduhan-tuduhan terhadap Islam yang dilontarkan oleh Mahatma Gandhi. Sementara itu, Syaikh Ahmad Said ingin menerbitkan surat kabar dengan nama Al-Jam`iyah, dibawah Organisasi Ulama India. Keduanya terbit awal tahun 1343 H. Ketika itulah Al-Maududi menulis dua buku, Al-Jihad fil Islam dan Ad-Dawlah al-Ashifiyah wa al-Hukumah al-Birithaniyah.

Setelah menulis dua judul buku tersebut Al-Maududi keluar dari organisasi pers dan mulai menulis pemikirannya sendiri.

 Al-Maududi mulai bekerja untuk pemikirannya secara otonom. Beliau menulis dengan metode yang beliau yakini, ‘bahwa setiap pemikiran memiliki lafal-lafal tertentu dan datang dengan lafalnya sendiri’. Pada masa ini Al-Maududi banyak menulis makalah ilmiyah dan buku-buku pemikiran Islam.

Meski telah keluar dari kepengurusan pers milik Ali Jauhar dan Organisasi Ulama India, Al-Maududi tidak meninggalkan da`wah dan jihad melalui media massa. Tahun 1932 beliau menerbitkan majalah “Turjuman al-Qur`an” dengan slogan“Wahai Kaum Muslimin, Pikul Da`wah Al-Qur`an, Bangkitlah dan Terbanglah ke Angkasa Raya”.
maududi
KEPRIBADIAN

Kepribadian beliau menunjukan pada ketegran dalam menghadapi ujian, kesabaran dalam penderitaan dan kegigihan dalam berjuang. Berbagai ujian seperti penjara, fitnah, dan teror. Sebetulnya kita bisa menerka keribadian Al-Maududi dengan melihat latar belakang dan pertumbuhan beliau. Akan tetapi dengan memperjelas pemikiran dan perasaan beliau tentu akan banyak ibroh yang dapat kita peroleh.

Kepeloporan dan konsistesi dalam bersikap Al-Maududi bisa kita lihat dari pernyataannya tentang gerakan yang beliau bangun. Saat pemilihan Amir Jama`ah beliau berkata:
“Sesungguhnyaa gerakan ini adalah tujuan hidupku. Hidup dan matiku tergantung dengan gerakan ini. Jika ada diantara kalian yang ragu-ragu untuk menjalani jalan ini, aku akan tetap berjalan dan silahkan dia berbelok dari jalan ini. Jika tidak ada seorangpun yang akan maju ke depan, aku akan tetap maju. Jika tidak ada seorangpun yang menemaniku, aku akan tetap berjalan walaupun sendirian. Jika seluruh dunia bersatu dan aku tinggal sendirian, aku tidak akan gentar menghadapinya”

Demikian juga seperti yang terjadi ketika beliau berada di atas podium saat pertemuan Jama`ah. Sekelompok orang melepaskan tembakan membabi buta. Saat itu tembakan mengarah ke podium tempat Al-Maududi berceramah. Seorang anggota Jama`ah berkata kepada Al-Maududi: “Cepat menunduk, tembakan senjata api itu mengarah kepadamu.” Lalu beliau menjawab dengan perkataan yang tidak mungkin diucapkan oleh seorang yang pengecut dan takut mati. Perkataan yang berani, bijak dan berwibawa. “Jika aku menunduk, siapa yang akan berdiri di podium ini?”

Namun demikian, beliau bukanlah seorang yang berambisi terhadap kekuasaan. Bahkan ketika selesai mengumpulkan para aktivis guna membentuk Jama`ah beliau segera memposisikan diri sebagai anggota biasa. Beliau menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang penggagas niscaya menjadi pemimpin. Bi idznillah, forum pertemuan memilih dan mengangkat Abul A`la Al-Maududi sebagai Amir Jama`ah. Bukan karena beliau yang menggagas pertemuan dan pembentukannya, tapi karena karisma dan kapabilitas beliau sebagai Ulama dan Muharrik yang sudah diketahui bersama.

Al-Maududi adalah seorang ahli politik yang juga sastrawan, seorang negarawan dan cendikiawan, seorang muharrik yang juga seorang mufassir.

MENUJU PEMBENTUKAN JAMA`AH ISLAMIYAH

Pergumulan dan pengkristalan ideologi dan pandangan Al-Maududi bermula ketika beliau menerbitkan media propaganda Turjuman Al-Qur`an. Dengan sarana majalah ini orang-orang mendengar dan menymak pesan-pesan ideologis Al-Maududi. Dengan perantara majalah in juga undangan pembentukan Jama`ah Islam disebarkan.

Al-Maududi memiliki visi untuk mempersatukan kelompok Islam di India-Pakistan. Usaha beliau berbenturan dengan pandangan kaum nasionalis dan kepentingan kelompok hindu. Beliau memulai usahanya tersebut dengan menyebarkan wacana pembentukan kesatuan ummat untuk penerapan syari`ah. Menurut beliau kelompok-kelompok Islam harus disatukan (dalam gerak dan dakwah). Jangan sampai muncul kelompok baru yang sehingga dapat menambah jumlah kelompok Islam. Sebab secara logis hal ini berarti akan mempersulit dan semakin jauh cita-cita persatuan. Akan tetapi kenyataan sejarah menunjukan kepada kita sesuatu yang lain ; terbentuklah kelompok baru bernama Jama`atul Islam (Jama`at el-Islamy).

Terbentuknya jama`ah ini didorong oleh pertarungan pemikiran dan bahaya yang mengancam kaum muslimin. Kelompok nasionalis dan Kelompok Islam pragmatis menguasai perasaan masyarakat. Oleh karena itu Jama`ah segera dibentuk dan berkonfrontasi dengan partai nasionalis bahkan dengan pemerintah yang berkuasa. Jama`ah juga berusaha memperbaiki partai Islam, meluruskan pandangannya dan mendukung popularitasnya. Sehingga pemikiran yang benar tersebar ke tengah masyarakat.

Jama`atul Islam bermula di Lahore pada 26 Agustus 1941, ketika sekitar 75 orang berkumpul dari berbaga penjuru India.

Pada 26/28 Agustus 1948, berdirilah sebuah negara; Pakistan. Kaum Muslimin pun bernafas lega dan merasa bahawa impian mereka telah menjadi kenyataan secara serentak. Lalu mereka berbondong-bondong melaukan hijrah ke negara Republik Islam Pakistan dan memisahkan diri dari India. Masalah hijrah ini sempat membuat Kantor Darul Islam yang dibentuk oleh Al-Maududi untu mempersenjatai diri guna menghadapi gangguan dari kalangan militer India.
Abul_ala_Maududi
KONSEP PERUBAHAN DAN PERJUANGAN

Al-Maududi memiliki pandangan yang integral antara perbaikan sistem dan perbaikan individu. Bahkan beliau tidak membedakan masalah pemikiran dengan masalah akhlak. Konsep perubahan yang diyakini dan dilakukan oleh Al-Maududi berfokus pada 4 hal:

    Penyucian pikiran dan pembersihannya.
    Perbaikan individu
    Perbaikan masyarakat
    Perbaikan sistem hukum.

Dalam pandangan Al-Maududi, sistem yang baik hanya bisa dibentuk dan diemban oleh orang-orang baik. Akan tetapi perbaikan individu harus dilanjutkan dengan memperbaiki sistem dan tatanan sosial dan pemikiran masyarakat. Adapun konsepsi Jihad yang danut oleh Al-Maududi berwujud dalam 4 jenis konfrontasi:

    Menentang sistem nasionalisme tunggal kesukuan
    Menentang hegemoni dan dominasi peradaban Barat.
    Menentang pemimpin yang mengusung pemikiran kafir dan bertentangan dengan Islam.
    Menentang kejumudan dalam fiqh dan `ullumuddin.

Oleh karena itu, Al-Maududi membuat banyak karya tulis diberbagai bidang. Beliau tidak hanya menulis dan mendakwahkan persoalan politik dan undang-undang, tapi juga masalah pendidikan dan tafsir Al-Qur`an. Beliau juga tidak hanya berjiwa revolusioner, tap seorang pecinta sastra dan keindahan. Beliau pernah mengulang syair yang ditulis oleh Muhammad Iqbal ketika berfrontir dengan kelompok nasionalis yang mengaku muslim.

Ikatlah jiwamu dengan Muhammad, AI-Musthafa
Itulah keteladanan isi agama. Jika jiwamu tidak
sampai ke sana;
maka Anda dan Abu Lahab sama!

Lampiran Sebagian Karya Tematik Al-Maududi
1. Al-Qur`an dan Hadith
- Tafsir Tafhim al-Qur`an (6 juz)
- Al-Ishtilahat al-Arba`ah Aal-Asasyah fil Islam.
- Al-Makanah al-Qanuniyah li as-Sunnah
- Ushul al-Asasiyah li fahm al-Qur`an
2. Pendidikan Islam
- Qadhaya Diniyah
- Muhadharat
- Mas`alah al-Abr wa al-Qadr
3. Sejarah dan Peradaban
- Sejarah an-Nabi juz 1&2
- Uqubah al-Murtad fil Islam
- `Alamah ath-Thariq
- At-Tafhimat
- Al-Hadharah al-Islamiyah
- Ushuluha wa Mabadiuha
- Baths `an al-badat al-Islamiyah
- Nizdam al-Hayah al-Islami
- Al-Islam wal Jahiliyah
- Al-Hayah Ba`dal Maut
- Thariqul Amaan
- Al-Jihad fil Islam
- Al-Din al-Haq
- Wijhah an-Nazhr al-Akhlaqiyah fil Islam
4. Politik
- Harakah Tahrr al-Hind wa al-Muslimin juz 1 & 2
- Nazhariyah al-Islam as-Siyasiyah
- Kayfa Tuqam al-Hukumah al-Islamiyah
- An-Nasyath al-Intikhabi
- Al-Intikhabat al-Mukhtalithah
- Lima Laa? Mas`alah al-Qawmiyah
- Al-Muthaalabah bi an-Nizham al-Islami
- Qadhayana ad-Dakhiliyah wa –al-Kharijiyah
- Yahlil li Ahwal Bakistan Asy-Syarqiyah
- Al-Khilafah wa Al-Malakiyah
5. Hukum dan Undang-Undang
- Al-Qanun al-Islami
- Asas ad-Dustur al-Islami
- al-Qanun al-Islami wa ad-Dustur
- Muqtarahat Dusturiyah
- Al-Huquq al-Asasiyah
- Tadwin ad-Dustur al-Islami
- Huquq Ahl adz-Dzimmah
- Istifta’ Hamm
- Ad-Dawlah al-Islamiyah.
6. Ilmu Sosial
- Al-Jihad fi Sabilillah
- Ad-Dakwah al-Islamiyah wa Mutathallibaatiha
- al-Muslimun
- Maadhihim wa Haadhirihim wa Mustaqbalihim
- Irsyadat
- Barnamij al-`Amal al-Qaadim li al-Jama`ah al-Islamiyah
- Al-Asas al-Akhlaqiyah li al-Harakah al-Islamiyah
- Tajdid wa Ihya ad-Din
- Tarkh Dakwah al-Jama`ah
- Al-Islamiyah wa Barnamij `Amaliha
- Syahadah al-Haq
- Al-‘Adl al-Ijtima`i
- Ta`limat
- Rasa’il wa Masa’il (4 juz)
7. Pendidikan
- Nidzam at-Ta`lim al-Jadid
- Nidzam at-Ta`lim al-Islami
- Khutbah Tawzi Asy-Syahadat
8. Ilmu Ekonomi
- Al-Musykilah al-Iqtishadiyah li al-nsan wa al-Hill al-Islami
- Qadiyah Milkiyah al-Ardh
- Ar-Riba’
- An Nazhariyat al-Iqtishadiyah fil al-Qur`an
- Al-Iqtishad al-Islami
- Al-Ushul al-Asasiyah li al-Iqtishad al-Islami
- Al-Islam wa Nazhariyat al-Iqtishad al-Haditsah
9. Kemasyarakatan
- Al-Hijab
- Tandzim al-Ushrah
- Al-Islam wa Tahdid an-Nasl
- Huquq az-Zawjain
- Mathalib al-Islam Tjah al-Mar`ah al-Muslimah.
Di sarikan dari Buku karya Dr.Samir Abdul Hamid Ibrahim yang berjudul Abul A`la Al-Maududi, Fikruhu wa Da`watuhu.

link: RUANG JUANG