Home » » A Hassan, Mengobarkan Semangat Keislaman di Era Kolonial

A Hassan, Mengobarkan Semangat Keislaman di Era Kolonial

(I)
Selama beberapa dekade, wacana tentang agama dan hukum mewarnai kehidupan berbangsa di negeri ini.

Salah satu dari isu yang paling sering muncul untuk diperdebatkan adalah penerapan hukum Islam atau syariah. Sebagian kelompok ingin mempertahankan interpretasi Islam secara formal, termasuk di dalam penerapan syariah.

Sedangkan, kelompok lain menghendaki adanya kesesuaian antara Islam dan nilai-nilai universal, seperti hak asasi manusia (HAM), demokrasi, hak perempuan, dan pluralisme agama.

Perdebatan ini sudah mewarnai Indonesia sejak awal abad ke-20, bahkan saat Indonesia masih di bawah cengkeraman kolonialisme Belanda.

Pada zaman penjajahan Belanda, kelompok Islam melakukan gerakan bawah tanah sebagai reaksi atas kondisi sosial dan politik saat itu. Di antara tokoh-tokoh Islam yang memiliki semangat dan ide-ide dalam memperjuangkan tuntutan kelompok Islam tersebut adalah Ahmad Hassan (A Hassan).

Michael Feener dalam bukunya, Muslim Legal Thought in Modern Indonesia, menyebut A Hassan sebagai penggerak atas munculnya organisasi yang bersifat sukarela, terbukanya kesempatan pendidikan, juga mendorong terbitnya media cetak. Ia pula yang mendorong lahirnya sekolah pemikir dan berkembangnya komunitas baru.

Ilmuwan Jepang, Takashi Shiraishi, menyebut masa ini sebagaiage in emotion, yaitu suatu masa ketika bangsa Indonesia rajin membaca dan mendiskusikan ide-ide yang terinspirasi dari gerakan reformasi Islam dari Timur Tengah untuk pembaruan semangat keislaman dan melawan pengaruh kolonial Barat.
Kiprah A Hassan, seorang keturunan Tamil yang lahir di Singapura, dimulai saat ia bergabung di organisasi keislaman Persis (Persatuan Islam). Ia bergabung satu tahun setelah organisasi ini didirikan pada 1923 oleh sekelompok pedagang di Bandung.

Kehadiran A Hassan ini menjadikan Persis sebagai organisasi Islam yang berani menyuarakan aspirasinya pada masa itu. A Hassan sendiri dikenal sebagai tokoh yang cukup keras mengkritik praktik ibadah tradisional yang diklaim sebagai bid’ah dan khurafat.

(II)
ImageLamanhttp://www.hawaii.edu menyebut, A Hassan juga berseberangan dengan ide nasionalisme karena ia berpendapat, Muslim tak bisa dipisahkan dari negara. Ia berargumen, Muslim seharusnya menyatu di bawah satu daulah (negara).

Di bawah kepemimpinan A Hassan, Persis lebih berkonsentrasi pada bidang pendidikan untuk menyebarkan ide-idenya. A Hassan lalu mendirikan institusi pendidikan Islam, yaitu Pesantren Persis di Bangil, Jawa Timur.

Kritis dan tajam

A Hassan dikenal memiliki pandangan yang kritis dan tajam. Karena itulah, ia kerap berlawanan dengan mayoritas pandangan ulama tradisional. Sosok ulama Persis yang satu ini tak hanya dikenal luas di Indonesia, tetapi juga di negeri tetangga, Malaysia dan Singapura.
Sebagai seorang ulama, ia dikenal sangat militan, teguh pendirian, dan memiliki kecakapan luar biasa. Pemahamannya dalam bidang ilmu pengetahuan agama sangat luas dan mendalam.

Dalam buku Dai yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis karya Dadan Wildan disebutkan bahwa nama Ahmad Hassan yang sebenarnya adalah Hassan bin Ahmad.

Akan tetapi, berdasarkan kelaziman penulisan nama keturunan India di Singapura yang menuliskan nama orang tua (ayah) di depan, maka Hassan bin Ahmad lebih dikenal dengan panggilan Ahmad Hassan.

Ia lahir di Singapura pada 1887, berasal dari keluarga campuran Indonesia-India. Ayahnya bernama Ahmad, juga bernama Sinna Vappu Maricar, seorang penulis yang cukup ahli dalam bidang agama Islam dan kesusastraan Tamil.

Sang ayah pernah menjadi redaktur majalah Nur Al-Islam (sebuah majalah sastra Tamil), selain sebagai penulis beberapa kitab berbahasa Tamil dan beberapa terjemahan dari bahasa Arab.

Ibunya, Muznah, adalah wanita berasal dari Palekat Madras, tetapi lahir di Surabaya. Setelah menikah, kedua orang tua Ahmad Hassan ini menetap di Singapura.

(III)
Image
Ahmad Hassan melewati masa kecil di Singapura. Ia sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar, tetapi tidak sampai lulus.

Kemudian, ia masuk sekolah Melayu dan menyelesaikannya hingga kelas empat. Ia juga sempat belajar di sekolah dasar Pemerintah Inggris sampai tingkat yang sama sambil belajar bahasa Tamil dari ayahnya.

Saat mengenyam pendidikan di sekolah Melayu inilah ia belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil, dan Inggris. Pada usia tujuh tahun, sebagaimana anak-anak pada umumnya, ia belajar Alquran dan memperdalam agama Islam.

Pada usia 12 tahun, A Hassan belajar mandiri dengan bekerja di sebuah toko milik iparnya. Sambil bekerja, ia menyempatkan diri belajar privat dan berusaha menguasai bahasa Arab sebagai kunci untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam.

Dia juga mengaji pada Haji Ahmad di Bukittiung dan pada Muhammad Thaib, seorang guru yang terkenal, di Minto Road. Ahmad Hassan banyak mempelajari ilmu nahwu dan sharaf dari Muhammad Thaib.

Sebagai orang yang keras kemauannya dalam menuntut ilmu, ia tidak keberatan jika harus datang dini hari sebelum Subuh.

Namun, karena merasa tidak ada kemajuan setelah kira-kira empat bulan belajar nahwu dan sharaf, ia memutuskan untuk beralih mempelajari bahasa Arab pada Said Abdullah Al-Musawi selama tiga tahun.
Selain itu, ia juga belajar kepada pamannya, Abdul Lathif (seorang ulama yang terkenal di Malaka dan Singapura), Syekh Hasan (seorang ulama yang berasal dari Malabar), dan Syekh Ibrahim (seorang ulama dari India). Ia mempelajari dan memperdalam Islam dari beberapa guru tersebut sampai kira-kira 1910, menjelang usia 23 tahun.

Tak hanya aktif dalam gerakan keislaman, A Hassan juga aktif menu liskan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Karya-karyanya meliputi beragam bidang.

Karyanya di bidang tafsir meliputi Tafsir Al-Furqan, Tafsir Al-Hidayah, Tafsir Surah Yasin, dan Kitab Tajwid. Sementara, di bidang hadis, fikih dan ushul fikih, A Hassan menelurkan sejumlah karya.

Di antaranya Jawaban tentang Berbagai Masalah Agama, Risalah Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah Al- Fatihah, Risalah Ijma’,dan Risalah Qiyas. Di bidang akhlak, A Hassan menulis Hai Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku, dan Kesopanan Tinggi Secara Islam.

(IV)

ImageA Hassan juga menulis buku yang berbicara soal kristologi, diantaranya Ketuhanan Yesus, Dosa-Dosa Yesus, Bibel Lawan Bibel, Benarkah Isa Disalib?, dan Isa dan Agamanya.

Dalam bidang akidah, tercatat sebagian karyanya, yaituPemikiran Islam dan Umum: Islam dan Kebangsaan, Pemerintahan Cara Islam, Adakah Tuhan?, Membudakkan Pengertian Islam, What is Islam?, ABC Politik, dan Merebut Kekuasaan.

Dalam bidang sejarah diantaranya Al-Mukhtar dan Sejarah Isra’ Mikraj. Tak hanya tulisan yang serius, A Hassan juga pernah menulis cerita humor yang berjudul Tertawa yang diterbitkan dalam empat jilid.

A Hassan dikenal sangat keras menentang ajaran Ahmadiyah. Sebagai ahli debat, Hassan melakukan perdebatan dengan tokoh Ahmadiyah Indonesia, Abu bakar Ayyub.

Pergaulannya yang sangat luas membuatnya berteman dekat dengan Presiden RI pertama, Soekarno. Saat diasingkan di Ende, Soekarno beberapa kali bersurat kepada Hassan pada periode 1934-1936.

Sebagai sahabat dan juga guru dalam mempelajari Islam, karya Hassan dikagumi oleh Soekarno. Di mata Soekarno, Hassan memiliki cara pandang berbeda melihat ajaran Islam.

Tak jarang, Soekarno berbagi pemikiran tentang taklid, takhayul, dan kejumudan umat Islam dengan Hassan. Sang Presiden juga menunjukkan ketertarikan yang sangat besar pada sa lah satu karya A Has san yang ber judul Utusan Wahabi.

Meski bersahabat dengan Soekarno, Hassan tak segan mengkritik pemikiran Soekarno yang menerima paham sekularisme dan mengidolakan toko sekuler asal Turki, Mustafa Kemal Attaturk. Bagi Hassan, agama tidak bisa dipisahkan dari urusan negara. Paham nasionalis sekuler masa itu dikritik Hassan melalui karyanya bertajuk Islam dan Kebangsaan.

Tokoh pembaruan Islam yang sangat kritis ini wafat di Surabaya pada 10 November 1958 dalam usia 70 tahun. Meski sudah lama berpulang, karya-karyanya masih dikenal dan dibaca banyak orang hingga kini.***


0 komentar:

Posting Komentar