Pendahuluan
Karl Marx termasuk Filosof beraliran kiri yang fenomenal. Karena
hampir tidak ada filosof Barat setelahnya yang tidak terpengaruh oleh
pemikiran Marx. Pemikiran Fredrich Nietzsche, Henri Bergson atau Martin
Heidegger secara tidak langsung terpengaruh alur gagasan Karl Marx.
Aliran pemikirannya termasuk dalam kategori filsafat idealis, yakni
selalu membicarakan bagaimana cara manusia untuk menjadi makhluk yang
sempurna. Embrio doktrin humanisme ini kemudian dikembangkan para
filosof setelahnya.
Untuk mencapai gagasan filosofisnya, Marx menawarkan filsafat
Materialisme. Yakni materi sajalah menurut Marx yang nyata. Di dalam
hidup kemasyarakatan satu-satunya yang nyata adalah masyarakat yang
bekerja. Menurut Marx manusia bekerja, maka dia ada (hidup). Ia membagi
masyarakat menjadi dua kelas; yaitu kelas buruhdan kelas borjuis.
Gagasan utama Karl Marx adalah memperjuangkan emansipasi kaum buruh,
yakni membela kaum proletar tersebut untuk mencapai kesetaraan dengan
kaum borju.
Berdasarkan hal itu, Karl Marx menyatakan
bahwa manusia tidak boleh dipandang secara abstrak, akan tetapi harus
dipandang secara konkrit yaitu dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya
sebagai makhluk yang bekerja. Hakikat manusia menurutnya adalah bahwa
ia adalah makhluk pekerja (homo laborans, homo faber).
Mengenai agama, pandangan Karl Marx hampir sama dengan pemikiran
Feuerbach. Menurutnya, agama adalah hasil proyeksi keinginan manusia.
Perasaan dan gagasan keagamaan adalah hasil suatu bentuk masyarakat
tertentu. Jika kita membicarakan manusia tidak boleh kita membicaraknnya
sebagai tokoh yang abstrak, yang berada di luar dunia. Manusia berarti
dunia manusia, yaitu negara-masyarakat dan masyarakat-negara, hal inilah
menurut Marx yang menghasilkan agama.
Latar Belakang Sosial-Intelektual
Karl Marx, lahir di bulan Mei 1818 di Trier, Jerman. Ayahnya seorang
pengacara yang beberapa tahun sebelumnya pindah agama Yahudi menjadi
Kristen Protestan. Perpindahan agama ayahnya yang begitu mudah diduga
merupakan alasan mengapa Karl Marx tidak pernah tertarik dengan Agama.
Ayahnya mengharapkan Marx menjadi notaris sebagaimana ayahnya. Karl Marx
sendiri lebih menyukai untuk menjadi Penyair daripada seorang ahli
hukum. Hukum merupakan ilmu yang digemari pada saat itu. etengah
semester ia bertahan, dan melompat ke Universitas Berlin, fokus pada
filsafat. Masih semester dua, Marx
sudah masuk kelompok diskusi paling
ditakuti di kampus itu, Klub Para Doktor, dan menjadi anggota yang
paling radikal. Kelompok ini selalu memakai Filsafat Hegel untuk
menyerang kekolotan Prussia. Tak heran, klub ini pun digelari “Kaum
Hegelian Muda”. Namun karena mereka juga menentang agama Protestan, klub
ini digolongkan menjadi Hegelian Kiri, lawan Hegelian Kanan, yang
menafsirkan Hegel sebagai teolog Protestan.
Pada tahun 1841, Marx dipromosikan menjadi doktor dengan disertasi “The Difference between The Natural Philosophy of Democritus and Epicurus”.
Kertas kerja dan pengantar disertasi ini secara jelas menunjukkan Marx
sangat Hegelian, dan antiagama. Hal terakhir ini juga yang membuat Marx
dicap sesat, dan mulai dijauhi rekan-rekannya. Marx tumbuh di tengah
pergolakan politik yang dikuasai oleh kekuatan kapitalis para Borjuis
yang menentang kekuasaan aristokrasi feodal dan membawa perubahan
hubungan sosial. Meskipun ia memperjuangkan kelas orang-orang tertindas
sebagai referensi empiris dalam mengembangkan teori filsafatnya[1].
Selama hampir setahun ia menjadi pimpinan redaksi sebuah harian
radikal 1843, sesudah harian itu dilarang oleh pemerintah Prussia, ia
kawin dengan Jenny Von Westphalen, putri seorang bangsawan, dan pindah
ke Paris. Di sana ia tidak hanya berkenalan dengan Friedrich Engels
(1820-1895) yang akan menjadi teman akrab dan “penerjemah”
teori-teorinya melainkan juga dengan tokoh-tokoh sosialis Perancis. Dari
seorang liberal radikal ia menjadi seorang sosialis. Beberapa tulisan
penting berasal waktu 1845, atas permintaan pemerintah Prussia, ia
diusir oleh pemerintah Perancis dan pindah ke Brussel di Belgia. Dalam
tahun-tahun ini ia mengembangkan teorinya yang definitif. Ia dan Engels
terlibat dalam macam-macam kegiatan kelompok-kelompok sosialis. Bersama
dengan Engels ia menulis Manifesto Komunis yang terbit bulan Januari
1848. Sebelum kemudian pecahlah apa yang disebut revolusi 1948, semula
di Perancis, kemudian juga di Prussia dan Austria. Marx kembali ke
Jerman secara ilegal. Tetapi revolusi itu akhirnya gagal. Karena diusir
dari Belgia, Marx akhirnya pindah ke London dimana ia akan menetap untuk
sisa hidupnya[2].
Di London ia memulai tahap baru dalam hidup Marx. Aksi-aksi praktis
dan revolusioner ditinggalkan dan perhatian dipusatkannya pada pekerjaan
teroritis, terutama pada studi ilmu ekonomi. Tahun-tahun itu merupakan
tahun-tahun paling gelap dalam kehidupannya. Ia tidak mempunyai sumber
pendapatan yang tetap dan hidup dari kiriman uang sewaktu-waktu dari
Engels. Keluarganya miskin dan sering kelaparan. Karena sikapnya yang
sombong dan otoriter, hampir semua bekas kawan terasing daripadanya.
Akhirnya, baru 1867, terbit jilid pertama Das Kapital, karya utama Marx
yang memuat kritiknya terhadap kapitalisme. Tahun-tahun terakhir
hidupnya amat sepi dan tahun 1883 ia meninggal dunia[3].
Materialisme Dialektik Karl Marx
Materialisme dalam arti sempit adalah adalah teori yang mengatakan
bahwa semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur materi
dan gerak. Materi berpendapat bahwa semua kejadian dan kondisi adalah
akibat lazim dari kejadian-kejadian dan kondisi sebelumnya. Benda-benda
organik atau bentuk-bentuk yang lebih tinggi dalam alam hanya merupakan
bentuk yang lebih kompleks daripada bentuk anorganik atau bentuk yang
lebih rendah. Bentuk yang lebih tinggi tidak mengandung materi atau
energi baru dan prinsip sains fisik adalah cukup untuk merenungkan
segala yang terjadi atau yang ada. Semua proses alam, baik organik atau
inorganik telah dipastikan dan dapat diramalkan jika segala fakta
tentang kondisi sebelumnya dapat diketahui[4].
Dengan demikian, materialisme selalu memberikan titik tekan bahwa
materi merupakan ukuran segalanya, melalui paradigma materi ini segala
kejadian dapat diterangkan. Artinya, segala kejadian sebagai kategori
pokok untuk memahami kenyataan sesungguhnya dapat dijelaskan melalui
kaedah hukum-hukum fisik. Keseluruhan perubahan dan kejadian dpat
dijelaskan melalui prinsip-prinsip sains alam semata-mata, karena
kenyataan sesungguhnya bersifat materi dan harus dijelaskan dalam frame
material juga. Sedangkan satu-satunya dunia yang diketahui atau dapat
diketahui adalah dunia yang sampai pada kita melalui indera[5].
Menurut filsafat materialisme Marx, di dalam hidup kemasyarakatan
satu-satunya yang nyata adalah adanya masyarakat. Kesadaran masyarakat,
yaitu ide-ide, teori, pandangan-padangannya hanya mewujudkan suatu
gambar-cermin dari apa yang nyata. Oleh karena itu jikalau kita ingin
mengerti mengenai daya pendorong yang ada di dalam hidup kemasyarakatan,
kita jangan berpangkal daripada ide-ide atau teori-teori, karena
semuanya itu hanya gambaran-gambaran hanya lapisan atas ideologis dari
hal yang nyata. Manusia harus mencari landasan material hidup
kemasyarakatan yaitu dengan cara berporoduksi barang-barang material[6].
Marx menjelaskan, masyarakat yang asli tidak mengenal pertengatangan
kelas. Adanya kelas-kelas di masyarakat disebabkan karena pengkhususan
pekerjaan dan karena timbulnya gagasan tentang milik pribadi. Hal ini
menyebabkan adanya kelas pemilik (kaum kapitasl) dan kelas yang tanpa
milik (kaum proletar), yang saling bertentangan. Jurang di antar yang
kaya dan yang miskin di antara kaum kapitalis dan kaum proletar makin
melebar. Maka tidak dapat dielakkan lagi timbullah krisis yang hebat.
Sebab penawaran barang-barang di pasar makin bertambah, karena produksi
makin berlimpah-limpah, akan tetapi daya beli tidak ada. Masyarakat yang
demikian akan runtuh. Maka inilah waktunya kaum proletar bersatu
merebut kekuasaan dengan suatu revolusi, suatu masyarakat yang tanpa
kelas. Pada waktu itu alat-alat produksi akan ditutup dengan suatu
negara bahagia, yang adalah sintese dari zaman awal, ketika tiada kelas
serta milik dan zaman kapitalis.
Sedangkan proses dialektika adalah suatu contoh yang ada di dalam
dunia. Dialektika adalah suatu fakta empiris, manusia mengetahuinya dari
penyelidikan tentang alam, dikuatkan oleh pengetahuan lebih lanjut
tentang hubungan sebab-musabab yang dibawakan oleh hali sejarah dan
sains. Maka berpikir dialektis adalah memahami kenyataan sebagai
totalitas, dalam artian bahwa keseluruhan yang ada di dalamnya memiliki
unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling
berkontradiksi dan saling bermediasi. Pemahanan ini mengisyarakatkan
suatu bukti bahwa kehidupan yang nyata ini saling berkontradiksi,
bernegasi dan bermediasi[7].
Secara sederhana, dialektika memandang apa pun yang ada sebagai
kesatuan dari apa yang berlawanan, sebagai perkembangan melalui
langkah-langkah yang saling berlawanan, sebagai hasi dari, dan unsur
dalam, sebuah proses yang maju melalui negasi atau penyangkalan.
Kekhasan negasi itu adalah apa yang dinegasikan tidak dihancurkan atau
ditiadakan, melainkan yang disangkal hanyalah segi yang salah (yang
membuat seluruh pernyataan itu salah), tetapi kebenarannya tetap
diangkat dan dipertahankan. Pandangan ini menurut dialektika Hegel.
Akan tetapi Marx tidak menerima prinsip Hegel tersebut. Bagi Marx,
segala sesuatu yang bersifat rohani merupakan hasil materi. Sehingga
dialektika yang dia kembangkan adalah dialektika materi. Bahwa
dialektika terjadinya di dunia nyata bukan di dunia materi sebagaimana
pandangan Hegel. Karena inilah filsafat Karl Marx disebut dengan
materialisme dialektik. Dialektika adalah suatu fakt empiris, manusia
mengetahuinya dari penyelidikan tentang alam, dikuatkan oleh pengetahuan
lebih lanjut tentang hubungan sebab-musabab yang dibawakan oleh ahli
sejaran dan sains[8].
Penyebutan filsafat Marx dengan materialisme dialektis – dengan
demikian – terletak pada asumsi dasar yang mengatakan bahwa benda
merupakan sesuatu kenyataan pokok yang selalu terjadi dalam proses
perubahan dan pertentangan di dalamnya. Perubahan dan pertentangan
tersebut terjadi dalam dunia nyata yang dapat diamati indra. Dengan
demikian, dapat dijelaskan bahwa materialisme dialektis selalu betitik
tolak dari materi sebagai satu-satunya kenyataan. Karl Marx mengartikan
materialisme dialektik sebagai keseluruhan proses perubahan yang
terjadi terus-menerus. Dari proses perubahan tersebut memunculkan suatu
keadaan akibat adanya pertentangan-pertentangan. Materi yang dimaksud
menjadi sumber keberadaan benda-benda alamiah tersebut, sehingga
senantiasa bergerak dan berubah tanpa henti-hentinya.
Marxisme
Marxisme berawal dari tulisan-tulisan Karl Marx. Dalam arti luas,
Marxisme berarti paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx.
Pandangan-pandangan ini mencakup ajaran Marx mengenai materialisme
dialektis dan materialisme historis serta penerapannya dalam kehidupan
sosial.
Marxisme lahir dari konteks masyarakat industri Eropa abad ke-19,
dengan semua ketidakadilan, eksploitasi manusia khususnya kelas
bahwa/kelas buruh. Menurut analisa Marx, kondisi-kondisi dan
kemungkinan-kemungkinan teknis sudah berkembang dan merubah proses
produksi industrial, tetapi struktur organisasi proses produksi dan
struktur masyarakat masih bertahan pada tingkat lama yang ditentukan
oleh kepentingan-kepentingan kelas atas.
Jadi, banyak orang yang dibutuhkan untuk bekerja, tetapi hanya
sedikit yang mengemudikan proses produksi dan mendapat keuntungan.
Karena maksud kerja manusia yang sebenarnya adalah menguasai alam
sendiri dan merealisasikan cita-cita dirinya sendiri, sehingga terjadi
keterasingan manusia dari harkatnya dan dari buah/hasil kerjanya. Karena
keterasingan manusia dari hasi kerjanya terjadi dalam jumlah besar
(kerja massa) dan global, pemecahannya harus juga bersifat kolektif dan
global[9].
Berbeda dengan model-model sosialisme lama, Marxisme menyatakan
dirinya sebagai “sosialisme ilmiah”. Untuk mendukung klaim tersebut,
Marx mendasarkan pada penelitian syarat-syarat objektif perkembangan
masyarakat. Marx menolak pendasaran sosialisme pda
pertimbangan-pertimbangan moral. Materialisme sejarah merupakan dasar
bagi sosialisme ilmiah tersebut. Marx yakin bahwa ia telah menemukan
hukum objektif perkembangan sejarah. Objek pencarian materialisme
historis adalah hukum-hukum gerakan dan perkembangan masyarakat insani
yang paling universal. Marx menciptakan suatu pemahaman sejarah menjadi
seperti sains yang pasti dan eksak. Karena hal itulah Marx menyatakan
bahwa sosialismenya bersifat ilmiah karena berdasarkan pada pengetahuan
hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat[10].
Marxisme pada hakekatnya bukanlah merupakan suatu penafsiran terhadap
perubahan proses-proses dalam masyarakat, akan tetapi merupakan sebuah
terori yang menyatakan bahwa hukum objektif perkembangan masyarakat
dapat ditetapkan sama seperti halnya penemuan-penemuan dalam bidang ilmu
pengetahuan sehingga bisa bersifat pasti dan universal. Dengan
mengajukan sosialisme ilmiah sebagai penerapan hukum dasar alam pada
masyarakat, teori Marx seakan-akan dibenarkan oleh ilmu-ilmu alam,
karena memiliki objektivitas seperti ilmu-ilmu alam.
Agama Dalam Pandangan Karl Marx
Marx berkesimpulan bahwa sebelum orang dapat mencapai kebahagiaan
yang senyatanya, agama haruslah ditiadakan karena agama menjadi
kebahagiaan semu dari orang-orang tertindas. Namun, karena agama adalah
produk dari kondisi sosial, maka agama tidak dapat ditiadakan kecuali
dengan meniadakan bentuk kondisi sosial tersebut. Marx yakin bahwa
agama itu tidak punya masa depan. Agama bukanlah kencenderungan naluriah
manusia yang melekat tetapi merupakan produk dari lingkungan sosial
tertentu.
Secara jelas, Marx merujuk pada tesis Feuerbach yang ketujuh yakni
bahwa sentimen religius itu sendiri adalah suatu produk sosial[11].
Dengan kata lain, Marx melihat bahwa sebetulnya agama bukan menjadi
dasar penyebab keterasingan manusia. Agama hanyalah gejala sekunder
dari keterasingan manusia.
Agama menjadi semacam pelarian karena realitas memaksa manusia untuk
melarikan diri. Manusia lalu hanya dapat merealisasikan diri secara semu
yakni dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak
mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh.
Karena
dalam masyarakat nyata manusia menderita, manusia lalu mengharapkan
mencapai keselamatan dari surga. Oleh karenanya, penyebab keterasingan
yang utama haruslah ditemukan dalam keadaan masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, kritik jangan berhenti pada agama. Bagi Marx, kritik
agama akan menjadi percuma saja karena tidak mengubah apa yang
melahirkan agama. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah mengapa
manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama? Menurut Marx,
kondisi-kondisi materiallah yang membuat manusia mengasingkan diri dalam
agama. Yang dimaksud dengan kondisi material adalah proses-proses
produksi atau kerja sosial dalam masyarakat.
Pertanyaan lebih lanjut. Apa yang perlu dikritik dalam masyarakat?
Unsur macam apa yang dalam masyarakat yang mencegah manusia
merealisasikan hakikatnya? Marx melihat bahwa keterasingan manusia dari
kesosialannya haruslah ditemukan dalam struktur masyarakat. Struktur
masyarakat yang tidak memperbolehkan manusia bersikap sosial adalah
struktur masyarakat yang mana terjadi perpisahan antara civil society (masyarakat sipil ) dan Negara. Dalam masyarakat sipil, orang bergerak karena dimotori oleh kepentingan egoisme sendiri.
Dengan kata lain, masyarakat sipil adalah semacam sistem kebutuhan,
ruang egoisme dimana manusia berupaya menjadikan orang lain hanya
semata-mata sebagai sarana pemenuh kebutuhannya. Persaingan yang
sifatnya egois ini akan melahirkan pemenang dan pecundang. Kemudian
negara dimunculkan sebagai kekuatan yang mengatasi egoisme
individu-individu. Adanya negara dimaksudkan untuk mempersatukan
masyarakat.
Apabila negara tidak ada, maka masyarakat dapat menjadi anarkis.
Negara mengusahakan supaya manusia dalam masyarakat bertindak adil
terhadap sesamanya. Sebagai individu, manusia itu egois, dan ia menjadi
sosial karena harus taat kepada Negara. Jika manusia itu sosial dengan
sendirinya, maka tidak perlu ada Negara yang mengaturnya. Dalam struktur
masyarakat yang coba ia pahami, Marx melihat bahwa ternyata agama
menjadi suatu produk dari sebuah masyarakat kelas[12].
Agama kemudian ia pandang sebagai produk keterasingan maupun sebagai
ekpresi dari kepentingan kelas dimana agama dapat dijadikan sarana
manipulasi dan penindasan terhadap kelas bawah dalam masyarakat.
Selain itu, Marx menemukan bahwa keterasingan dasar manusia adalah
keterasingannya dari sifatnya yang sosial. Tanda keterasingan tersebut
adalah adanya eksistensi Negara sebagai lembaga yang dari luar dan atas
memaksa individu-individu untuk bertindak sosial, padahal individu itu
sendiri bertindak egois.
Lebih lanjut, menurut Marx, agama adalah universal ground of consolation dan sebagai candu rakyat.
Dalam pengertian ini, termuat suatu implikasi bahwa apapun penghiburan
yang dibawa oleh agama bagi mereka yang menderita dan tertindas adalah
merupakan suatu penghiburan yang semu dan hanya memberi kelegaan
sementara. Agama tidak menghasilkan solusi yang nyata dan dalam
kenyataannya, justru cenderung merintangi berbagai solusi nyata dengan
membuat penderitaan dan penindasan menjadi dapat ditanggung. Solusi
nyata yang dimaksud di sini adalah terkait dengan pengusahaan
peningkatan kesejahteraan secara material. Agama ternyata tidak mampu
mengarah pada hal tersebut. Agama justru membiarkan kondisi yang sudah
ada, meskipun orang sedang mengalami penderitaan. Agama mengajak orang
hanya berpasrah dengan keadaan daripada mengusahakan barang-barang yang
dapat memperbaiki kondisi hidup.
Dalam hal ini, agama cenderung mengabaikan usaha konkrit manusiawi
untuk memperjuangkan taraf hidupnya lewat barang-barang duniawi. Agama
malah menyarankan untuk tidak menjadi lekat dengan barang-barang duniawi
dan mengajak orang untuk hanya berpikir mengenai hal-hal surgawi
sehingga membuat orang melupakan penderitaan material yang sedang
dialami. Agama mengajarkan orang untuk menerima apa adanya termasuk
betapa kecilnya pendapatan yang ia peroleh. Dengan ini semua, secara
tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap pada kondisi
materialnya dan menerima secara pasrah apa yang ia terima walaupun ia
tengah mengalami penderitaan secara material. Agama mengajak orang untuk
berani menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri dipandang
sebagai keutamaan.
Marx juga mengatakan agama menjadi semacam ekspresi atas protes
terhadap penindasan dan penderitaan real. Marx menulis: “penderitaan
agama adalah pada saat yang sama merupakan ekspresi atas penderitaan
yang real dan suatu protes terhadap penderitaan yang real. Agama adalah
keluh kesah mahluk yang tertindas, hati dari suatu dunia yang tak
memiliki hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu keadaan yang
tidak memiliki jiwa.”
Selain itu, dengan pandangan bahwa agama mampu memberi penghiburan
dan membuat orang berpasrah, maka agama justru dapat dimanfaatkan oleh
kelas atas. Kelas atas justru dapat semakin mengeksploitasi kelas bawah
dengan melihat bahwa agama membuat kelas bawah untuk tetap puas dengan
penghasilannya. Terlebih lagi, agama menawarkan suatu kompensasi atas
penderitaan hidup sekarang ini pada suatu kehidupan yang akan datang
sehingga malah justru membiarkan ketidakadilan berlangsung terus
menerus. Dengan demikian, kritik agama berarti menyingkirkan ilusi-ilusi
dimana manusia mencari rasa nyaman di situ di tengah siatuasi tertindas
yang ia alami. Kritik agama justru akan membuat mereka membuka mata
terhadap kenyataan diri mereka, menghadapinya sehingga akan berusaha
berhenti dari segala bentuk ketertindasannya. Mereka (kelas bawah)
tidak lagi mau terbuai dengan ide-ide tentang hidup yang bahagia kelak
sesudah mati tetapi akan kemudian berusaha mewujudkannya di dunia ini
dengan mengubah masyarakat dan diri mereka sendiri. Dengan kata lain,
kritik agama menjadi pembuka kesadaran dari kelas bawah bahwa diri
mereka perlu bangkit maju untuk memperbaiki kondisi hidup mereka secara
real. Agama perlu ditinggalkan supaya orang dapat merdeka.
Membaca Sisi Lain Karl Marx
Di kalangan aktifis kiri, sosok Karl Marx nyaris tanpa kritik bahkan
bak seorang nabi. Ia dipuja bahkan oleh orang-orang yang sama sekali tak
mengetahui dirinya. Para pengikutnya biasanya menilai dia adalah
pejuang sejati yang heroik, dan membela kaum tertindas dan kaum
proletar. Akan tetapi pandangan sebaliknya terpapar dalam buku The Intelectual, karya Paul Johnson.
Dalam buku tersebut, Karl Marx ditampilkan sebagai sosok pemarah yang
tidak mampu mengatur kehidupannya. Ketika kuliah, Marx menghabiskan
uang kiriman ayahnya – walaupun sang Ayah berkeluh kesah kehabisan uang.
Marx malah selalu minta jatah lebih. Jasa sang Ayah yang mati-matian
membiayai kuliah ternyata tak terbalas kebaikan. Ketika Ayahnya
meninggal dunia, ia tak sudi menghadiri pemakaman Ayahnya tersebut.
Sang Ayah meninggal, giliran Ibu mendapat perlakuan tidak terpuji. Ia
menimpakan semua tagihan biaya hidupnya pada sang Ibu yang sudah
menjanda. Marx sebenarnya adalah seorang penganggur. Ini amat
bertentangan dangan teori materialismenya. Ia bahkan tak pernah serius
mencari kerja. Sampai akhirnya ia bekerja di perusahaan penerbitan atas
jasa Moses Hess – yang mengagumi pemikiran Marx. Namun hidupnya
terlunta-lunta. Kehidupannya bahkan ditanggung oleh sahabatnya Friedrich
Engels ketika ia dalam buangan di Inggris.
Karya monumentalnya pun – Des Kapital – sebenarnya sebagian besar jilidnya diselesaikan oleh Engels, terutama tentang teori-teori sosial dan ekonominya. Dalam buku The Intelectual
juga digambarkan Marx adalah sosok yang tempramental, pemabuk dan
perokok berat. Istrinya merasa tidak nyaman ketika Marx berlebihan minum
dan merokok, rumah dan kamarnya amat kotor. Istrinya juga pernah
mendapat perlakuan yang kejam – yang mengakibatkan Marx dipanggil
polisi. Gaya hidupnya juga tidak teratur, jarang mandi, tidak bisa
mengatur dirinya sendiri[13].
Penutup
Filsafat Karl Marx meruapakan salah satu filsafat yang paling
berpengaruh di dalam perkembangan sejarah. Kemampuan gagasan Marx untuk
berdialektika dengan zaman, menjadikannya pemikir yang tidak pernah sepi
dari kritikan dan pujian atasnya. Namun, apapun tanggapan dunia
terhadapnya, kehadirannya telah menggerakkan kesadaran kelompok buruh,
budak dan aktivis sosialis untuk mengorganisir diri dan berjuang
mewujudkan perubahan.
Pendapat Karl Marx tentang tujuan akhir berupa masyarakat tanpa kelas
sebenarnya merupakan suatu yang paradoks dengan konsep dialektis itu
sendiri. Dialektisisme merupakan sebuah proses yang terus-menerus
sehingga tidak akan tercipta kemandegan. Pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimana mungkin masyarakat tanpa kelas akan terwujud? Bukankah dalam
proses bermasyarakat tetap harus ada pembagian kerja? Teori masyarakat
tanpa kelas Marx memang semacam utopisme yang penuh paradoks dalam
teori-teorinya. Pandangan Marx tentang sejarah yang saintifik telah
mereduksi kemanusian. Mansia hanya menjadi korban dari barang-barang
produksi dan tidak lagi memiliki independensi.
Mengenai pandangannya tentang agama yang dinilai sebagi candu, juga
sebenarnya tidak mendapat respon baik. Karena toh ternyata agama masih
dinikmati oleh manusia bahakn semakin lama manusia cenderung religius,
kebutuhan manusia tidak hanya materi saja akan tetapi juga komunikasi
dan spiritual. Paradoks lainya adalah ternyata sekarang sosialisme
sedang menikmati kapitalisme, artinya proyek masyarakat tanpa kelas
tidak digandrungi manusia modern.[ISID, Siman Juli 2009]
Oleh: Kholili Hasib
[1] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah(Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978).
[2] Listiono Santoso dkk, Seri Pemikiran Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), p.36-37
[3]Lihat Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978).
[4] Listiono Santoso dkk, Seri Pemikiran Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 42
[5] Ibid, p.43
[6] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat2 (Jogjakarta: Kanisius, 1980), p. 121
[7] Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx:Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 1999), p. 61-63
[8] Harold Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), p. 303.
[9] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978).
[11] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat2 (Jogjakarta: Kanisius, 1980), p. 121.
[13] Sebagian besar dikutip dari Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA Vol. III. No 2 p.106-108
Klik: Fajrul Islam
Klik: Fajrul Islam
0 komentar:
Posting Komentar