Home » » Pemikiran Karl Marx Tentang Materialisme dan Agama

Pemikiran Karl Marx Tentang Materialisme dan Agama

Pendahuluan
 
Karl Marx termasuk Filosof beraliran kiri yang fenomenal. Karena hampir tidak ada filosof Barat setelahnya yang tidak terpengaruh oleh pemikiran Marx. Pemikiran Fredrich Nietzsche, Henri Bergson atau Martin Heidegger secara tidak langsung terpengaruh alur gagasan Karl Marx. Aliran pemikirannya termasuk dalam kategori filsafat idealis, yakni selalu membicarakan bagaimana cara manusia untuk menjadi makhluk yang sempurna. Embrio doktrin humanisme ini kemudian dikembangkan para filosof setelahnya.

Untuk mencapai gagasan filosofisnya, Marx menawarkan filsafat Materialisme. Yakni materi sajalah menurut Marx yang nyata. Di dalam hidup kemasyarakatan satu-satunya yang nyata adalah masyarakat yang bekerja. Menurut Marx manusia bekerja, maka dia ada (hidup). Ia membagi masyarakat menjadi dua kelas; yaitu kelas buruhdan kelas borjuis. Gagasan utama Karl Marx adalah memperjuangkan emansipasi kaum buruh, yakni membela kaum proletar tersebut untuk mencapai kesetaraan dengan kaum borju.

Berdasarkan hal itu, Karl Marx menyatakan bahwa manusia tidak boleh dipandang secara abstrak, akan tetapi harus dipandang secara konkrit yaitu dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya sebagai makhluk yang bekerja. Hakikat manusia menurutnya adalah bahwa ia adalah makhluk pekerja (homo laborans, homo faber).

Mengenai agama, pandangan Karl Marx hampir sama dengan pemikiran Feuerbach. Menurutnya, agama adalah hasil proyeksi keinginan manusia. Perasaan dan gagasan keagamaan adalah hasil suatu bentuk masyarakat tertentu. Jika kita membicarakan manusia tidak boleh kita membicaraknnya sebagai tokoh yang abstrak, yang berada di luar dunia. Manusia berarti dunia manusia, yaitu negara-masyarakat dan masyarakat-negara, hal inilah menurut Marx yang menghasilkan agama.

Latar Belakang Sosial-Intelektual

Karl Marx, lahir di bulan Mei 1818 di Trier, Jerman. Ayahnya seorang pengacara yang beberapa tahun sebelumnya pindah agama Yahudi menjadi Kristen Protestan. Perpindahan agama ayahnya yang begitu mudah diduga merupakan alasan mengapa Karl Marx tidak pernah tertarik dengan Agama. Ayahnya mengharapkan Marx menjadi notaris sebagaimana ayahnya. Karl Marx sendiri lebih menyukai untuk menjadi Penyair daripada seorang ahli hukum. Hukum merupakan ilmu yang digemari pada saat itu. etengah semester ia bertahan, dan melompat ke Universitas Berlin, fokus pada filsafat. Masih semester dua, Marx
sudah masuk kelompok diskusi paling ditakuti di kampus itu, Klub Para Doktor, dan menjadi anggota yang paling radikal. Kelompok ini selalu memakai Filsafat Hegel untuk menyerang kekolotan Prussia. Tak heran, klub ini pun digelari “Kaum Hegelian Muda”. Namun karena mereka juga menentang agama Protestan, klub ini digolongkan menjadi Hegelian Kiri, lawan Hegelian Kanan, yang menafsirkan Hegel sebagai teolog Protestan.

Pada tahun 1841, Marx dipromosikan menjadi doktor dengan disertasi “The Difference between The Natural Philosophy of Democritus and Epicurus”. Kertas kerja dan pengantar disertasi ini secara jelas menunjukkan Marx sangat Hegelian, dan antiagama. Hal terakhir ini juga yang membuat Marx dicap sesat, dan mulai dijauhi rekan-rekannya. Marx tumbuh di tengah pergolakan politik yang dikuasai oleh kekuatan kapitalis para Borjuis yang menentang kekuasaan aristokrasi feodal dan membawa perubahan hubungan sosial. Meskipun ia memperjuangkan kelas orang-orang tertindas sebagai referensi empiris dalam mengembangkan teori filsafatnya[1].

Selama hampir setahun ia menjadi pimpinan redaksi sebuah harian radikal 1843, sesudah harian itu dilarang oleh pemerintah Prussia, ia kawin dengan Jenny Von Westphalen, putri seorang bangsawan, dan pindah ke Paris. Di sana ia tidak hanya berkenalan dengan Friedrich Engels (1820-1895) yang akan menjadi teman akrab dan “penerjemah” teori-teorinya melainkan juga dengan tokoh-tokoh sosialis Perancis. Dari seorang liberal radikal ia menjadi seorang sosialis. Beberapa tulisan penting berasal waktu 1845, atas permintaan pemerintah Prussia, ia diusir oleh pemerintah Perancis dan pindah ke Brussel di Belgia. Dalam tahun-tahun ini ia mengembangkan teorinya yang definitif. Ia dan Engels terlibat dalam macam-macam kegiatan kelompok-kelompok sosialis. Bersama dengan Engels ia menulis Manifesto Komunis yang terbit bulan Januari 1848. Sebelum kemudian pecahlah apa yang disebut revolusi 1948, semula di Perancis, kemudian juga di Prussia dan Austria. Marx kembali ke Jerman secara ilegal. Tetapi revolusi itu akhirnya gagal. Karena diusir dari Belgia, Marx akhirnya pindah ke London dimana ia akan menetap untuk sisa hidupnya[2].

Di London ia memulai tahap baru dalam hidup Marx. Aksi-aksi praktis dan revolusioner ditinggalkan dan perhatian dipusatkannya pada pekerjaan teroritis, terutama pada studi ilmu ekonomi. Tahun-tahun itu merupakan tahun-tahun paling gelap dalam kehidupannya. Ia tidak mempunyai sumber pendapatan yang tetap dan hidup dari kiriman uang sewaktu-waktu dari Engels. Keluarganya miskin dan sering kelaparan. Karena sikapnya yang sombong dan otoriter, hampir semua bekas kawan terasing daripadanya. Akhirnya, baru 1867, terbit jilid pertama Das Kapital, karya utama Marx yang memuat kritiknya terhadap kapitalisme. Tahun-tahun terakhir hidupnya amat sepi dan tahun 1883 ia meninggal dunia[3].


Materialisme Dialektik Karl Marx

Materialisme dalam arti sempit adalah adalah teori yang mengatakan bahwa semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur materi dan gerak. Materi berpendapat bahwa semua kejadian dan kondisi adalah akibat lazim dari kejadian-kejadian dan kondisi sebelumnya. Benda-benda organik atau bentuk-bentuk yang lebih tinggi dalam alam hanya merupakan bentuk yang lebih kompleks daripada bentuk anorganik atau bentuk yang lebih rendah. Bentuk yang lebih tinggi tidak mengandung materi atau energi baru dan prinsip sains fisik adalah cukup untuk merenungkan segala yang terjadi atau yang ada. Semua proses alam, baik organik atau inorganik telah dipastikan dan dapat diramalkan jika segala fakta tentang kondisi sebelumnya dapat diketahui[4].

Dengan demikian, materialisme selalu memberikan titik tekan bahwa materi merupakan ukuran segalanya, melalui paradigma materi ini segala kejadian dapat diterangkan. Artinya, segala kejadian sebagai kategori pokok untuk memahami kenyataan sesungguhnya dapat dijelaskan melalui kaedah hukum-hukum fisik. Keseluruhan perubahan dan kejadian dpat dijelaskan melalui prinsip-prinsip sains alam semata-mata, karena kenyataan sesungguhnya bersifat materi dan harus dijelaskan dalam frame material juga. Sedangkan satu-satunya dunia yang diketahui atau dapat diketahui adalah dunia yang sampai pada kita melalui indera[5].

Menurut filsafat materialisme Marx, di dalam hidup kemasyarakatan satu-satunya yang nyata adalah adanya masyarakat. Kesadaran masyarakat, yaitu ide-ide, teori, pandangan-padangannya hanya mewujudkan suatu gambar-cermin dari apa yang nyata. Oleh karena itu jikalau kita ingin mengerti mengenai daya pendorong yang ada di dalam hidup kemasyarakatan, kita jangan berpangkal daripada ide-ide atau teori-teori, karena semuanya itu hanya gambaran-gambaran hanya lapisan atas ideologis dari hal yang nyata. Manusia harus mencari landasan material hidup kemasyarakatan yaitu dengan cara berporoduksi barang-barang material[6].

Marx menjelaskan, masyarakat yang asli tidak mengenal pertengatangan kelas. Adanya kelas-kelas di masyarakat disebabkan karena pengkhususan pekerjaan dan karena timbulnya gagasan tentang milik pribadi. Hal ini menyebabkan adanya kelas pemilik (kaum kapitasl) dan kelas yang tanpa milik (kaum proletar), yang saling bertentangan. Jurang di antar yang kaya dan yang miskin di antara kaum kapitalis dan kaum proletar makin melebar. Maka tidak dapat dielakkan lagi timbullah krisis yang hebat. Sebab penawaran barang-barang di pasar makin bertambah, karena produksi makin berlimpah-limpah, akan tetapi daya beli tidak ada. Masyarakat yang demikian akan runtuh. Maka inilah waktunya kaum proletar bersatu merebut kekuasaan dengan suatu revolusi, suatu masyarakat yang tanpa kelas. Pada waktu itu alat-alat produksi akan ditutup dengan suatu negara bahagia, yang adalah sintese dari zaman awal, ketika tiada kelas serta milik dan zaman kapitalis.

Sedangkan proses dialektika adalah suatu contoh yang ada di dalam dunia. Dialektika adalah suatu fakta empiris, manusia mengetahuinya dari penyelidikan tentang alam, dikuatkan oleh pengetahuan lebih lanjut tentang hubungan sebab-musabab yang dibawakan oleh hali sejarah dan sains. Maka berpikir dialektis adalah memahami kenyataan sebagai totalitas, dalam artian bahwa keseluruhan yang ada di dalamnya memiliki unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi dan saling bermediasi. Pemahanan ini mengisyarakatkan suatu bukti bahwa kehidupan yang nyata ini saling berkontradiksi, bernegasi dan bermediasi[7].

Secara sederhana, dialektika memandang apa pun yang ada sebagai kesatuan dari apa yang berlawanan, sebagai perkembangan melalui langkah-langkah yang saling berlawanan, sebagai hasi dari, dan unsur dalam, sebuah proses yang maju melalui negasi atau penyangkalan. Kekhasan negasi itu adalah apa yang dinegasikan tidak dihancurkan atau ditiadakan, melainkan yang disangkal hanyalah segi yang salah (yang membuat seluruh pernyataan itu salah), tetapi kebenarannya tetap diangkat dan dipertahankan. Pandangan ini menurut dialektika Hegel.

Akan tetapi Marx tidak menerima prinsip Hegel tersebut. Bagi Marx, segala sesuatu yang bersifat rohani merupakan hasil materi. Sehingga dialektika yang dia kembangkan adalah dialektika materi. Bahwa dialektika terjadinya di dunia nyata bukan di dunia materi sebagaimana pandangan Hegel. Karena inilah filsafat Karl Marx disebut dengan materialisme dialektik. Dialektika adalah suatu fakt empiris, manusia mengetahuinya dari penyelidikan tentang alam, dikuatkan oleh pengetahuan lebih lanjut tentang hubungan sebab-musabab yang dibawakan oleh ahli sejaran dan sains[8].

Penyebutan filsafat Marx dengan materialisme dialektis – dengan demikian – terletak pada asumsi dasar yang mengatakan bahwa benda merupakan sesuatu kenyataan pokok yang selalu terjadi dalam proses perubahan dan pertentangan di dalamnya. Perubahan dan pertentangan tersebut terjadi dalam dunia nyata yang dapat diamati indra. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa materialisme dialektis selalu betitik tolak dari materi sebagai satu-satunya kenyataan. Karl Marx mengartikan  materialisme dialektik sebagai keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus-menerus. Dari proses perubahan tersebut memunculkan suatu keadaan akibat adanya pertentangan-pertentangan. Materi yang dimaksud menjadi sumber keberadaan benda-benda alamiah tersebut, sehingga senantiasa bergerak dan berubah tanpa henti-hentinya.

Marxisme

Marxisme berawal dari tulisan-tulisan Karl Marx. Dalam arti luas, Marxisme berarti paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx. Pandangan-pandangan ini mencakup ajaran Marx mengenai materialisme dialektis dan materialisme historis serta penerapannya dalam kehidupan sosial. Marxisme lahir dari konteks masyarakat industri Eropa abad ke-19, dengan semua ketidakadilan, eksploitasi manusia khususnya kelas bahwa/kelas buruh. Menurut analisa Marx, kondisi-kondisi dan kemungkinan-kemungkinan teknis sudah berkembang dan merubah proses produksi industrial, tetapi struktur organisasi proses produksi dan struktur masyarakat masih bertahan pada tingkat lama yang ditentukan oleh kepentingan-kepentingan kelas atas.

Jadi, banyak orang yang dibutuhkan untuk bekerja, tetapi hanya sedikit yang mengemudikan proses produksi dan mendapat keuntungan. Karena maksud kerja manusia yang sebenarnya adalah menguasai alam sendiri dan merealisasikan cita-cita dirinya sendiri, sehingga terjadi keterasingan manusia dari harkatnya dan dari buah/hasil kerjanya. Karena keterasingan manusia dari hasi kerjanya terjadi dalam jumlah besar (kerja massa) dan global, pemecahannya harus juga bersifat kolektif dan global[9].

Berbeda dengan model-model sosialisme lama, Marxisme menyatakan dirinya sebagai “sosialisme ilmiah”. Untuk mendukung klaim tersebut, Marx mendasarkan pada penelitian syarat-syarat objektif perkembangan masyarakat. Marx menolak pendasaran sosialisme pda pertimbangan-pertimbangan moral. Materialisme sejarah merupakan dasar bagi sosialisme ilmiah tersebut. Marx yakin bahwa ia telah menemukan hukum objektif perkembangan sejarah. Objek pencarian materialisme historis adalah hukum-hukum gerakan dan perkembangan masyarakat insani yang paling universal. Marx menciptakan suatu pemahaman sejarah menjadi seperti sains yang pasti dan eksak. Karena hal itulah Marx menyatakan bahwa sosialismenya bersifat ilmiah karena berdasarkan pada pengetahuan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat[10].

Marxisme pada hakekatnya bukanlah merupakan suatu penafsiran terhadap perubahan proses-proses dalam masyarakat, akan tetapi merupakan sebuah terori yang menyatakan bahwa hukum objektif perkembangan masyarakat dapat ditetapkan sama seperti halnya penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga bisa bersifat pasti dan universal. Dengan mengajukan sosialisme ilmiah sebagai penerapan hukum dasar alam pada masyarakat, teori Marx seakan-akan dibenarkan oleh ilmu-ilmu alam, karena memiliki objektivitas seperti ilmu-ilmu alam.

Agama Dalam Pandangan Karl Marx

Marx berkesimpulan bahwa sebelum orang dapat mencapai kebahagiaan yang senyatanya, agama haruslah ditiadakan karena agama menjadi kebahagiaan semu dari orang-orang tertindas. Namun,  karena agama adalah produk dari kondisi sosial, maka agama tidak dapat ditiadakan kecuali dengan meniadakan bentuk kondisi sosial tersebut.  Marx yakin bahwa agama itu tidak punya masa depan. Agama bukanlah kencenderungan naluriah manusia yang melekat tetapi merupakan produk dari lingkungan sosial tertentu. Secara jelas, Marx merujuk pada tesis Feuerbach yang ketujuh yakni bahwa sentimen religius itu sendiri adalah suatu produk sosial[11].

Dengan kata lain,   Marx melihat bahwa sebetulnya agama bukan menjadi dasar penyebab keterasingan manusia. Agama hanyalah gejala sekunder dari keterasingan manusia. Agama menjadi semacam pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Manusia lalu hanya dapat merealisasikan diri secara semu yakni dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh.

 Karena dalam masyarakat nyata manusia menderita, manusia lalu mengharapkan mencapai keselamatan dari surga. Oleh karenanya, penyebab keterasingan yang utama haruslah ditemukan dalam keadaan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kritik jangan berhenti pada agama. Bagi Marx, kritik agama akan menjadi percuma saja karena tidak mengubah apa yang melahirkan agama. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah mengapa manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama? Menurut Marx, kondisi-kondisi materiallah yang membuat manusia mengasingkan diri dalam agama. Yang dimaksud dengan kondisi material adalah proses-proses produksi atau kerja sosial dalam masyarakat.

Pertanyaan lebih lanjut. Apa yang perlu dikritik dalam masyarakat? Unsur macam apa yang dalam masyarakat yang mencegah manusia merealisasikan hakikatnya? Marx melihat bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya haruslah ditemukan dalam struktur masyarakat.  Struktur masyarakat yang tidak memperbolehkan manusia bersikap sosial adalah struktur masyarakat  yang mana terjadi perpisahan antara civil society (masyarakat sipil ) dan Negara. Dalam masyarakat sipil, orang bergerak karena dimotori oleh kepentingan egoisme sendiri. Dengan kata lain, masyarakat sipil adalah semacam sistem kebutuhan, ruang egoisme dimana manusia berupaya menjadikan orang lain hanya semata-mata sebagai sarana pemenuh kebutuhannya. Persaingan yang sifatnya egois ini akan melahirkan pemenang dan pecundang. Kemudian negara dimunculkan sebagai kekuatan yang mengatasi egoisme individu-individu. Adanya negara dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat.

Apabila negara tidak ada, maka masyarakat dapat menjadi anarkis. Negara mengusahakan supaya manusia  dalam masyarakat bertindak adil terhadap sesamanya. Sebagai individu,  manusia itu egois, dan ia menjadi sosial karena harus taat kepada Negara. Jika manusia itu sosial dengan sendirinya, maka tidak perlu ada Negara yang mengaturnya. Dalam struktur masyarakat yang coba ia pahami, Marx melihat bahwa ternyata agama menjadi suatu produk dari sebuah masyarakat kelas[12]. Agama kemudian ia  pandang sebagai produk keterasingan maupun sebagai ekpresi dari kepentingan kelas dimana agama dapat dijadikan sarana manipulasi dan penindasan terhadap kelas bawah dalam masyarakat.

Selain itu, Marx menemukan bahwa keterasingan dasar manusia adalah keterasingannya dari sifatnya yang sosial. Tanda keterasingan tersebut adalah adanya eksistensi Negara sebagai lembaga yang dari luar dan atas memaksa individu-individu untuk bertindak sosial, padahal individu itu sendiri bertindak egois. 

Lebih lanjut, menurut Marx, agama adalah universal ground of consolation dan sebagai candu rakyat. Dalam pengertian ini, termuat suatu implikasi bahwa apapun penghiburan yang dibawa oleh agama bagi mereka yang menderita dan tertindas adalah merupakan suatu penghiburan yang semu dan hanya memberi kelegaan sementara. Agama tidak menghasilkan solusi yang nyata dan dalam kenyataannya, justru cenderung merintangi berbagai solusi nyata dengan membuat penderitaan dan penindasan menjadi dapat ditanggung. Solusi nyata yang dimaksud di sini adalah terkait dengan pengusahaan peningkatan kesejahteraan secara material. Agama ternyata tidak mampu mengarah pada hal tersebut. Agama justru membiarkan kondisi yang sudah ada, meskipun orang sedang mengalami penderitaan.  Agama mengajak orang hanya berpasrah dengan keadaan daripada mengusahakan barang-barang yang dapat  memperbaiki kondisi hidup. Dalam hal ini, agama cenderung mengabaikan usaha konkrit manusiawi untuk memperjuangkan taraf hidupnya lewat barang-barang duniawi. Agama malah menyarankan untuk tidak menjadi lekat dengan barang-barang duniawi dan mengajak orang untuk hanya berpikir mengenai hal-hal surgawi sehingga membuat orang melupakan penderitaan material yang sedang dialami. Agama mengajarkan orang untuk menerima apa adanya termasuk betapa kecilnya pendapatan yang ia peroleh. Dengan ini semua, secara tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap pada kondisi materialnya dan menerima secara pasrah apa yang ia terima walaupun ia tengah mengalami penderitaan secara material. Agama mengajak orang untuk berani menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri dipandang sebagai keutamaan.

Marx juga mengatakan agama menjadi semacam ekspresi atas protes terhadap penindasan dan penderitaan real. Marx menulis: “penderitaan agama adalah pada saat yang sama merupakan ekspresi atas penderitaan yang real dan suatu protes terhadap penderitaan yang real. Agama adalah keluh kesah mahluk yang tertindas, hati dari suatu dunia yang tak memiliki hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu keadaan yang tidak memiliki jiwa.”

Selain itu, dengan pandangan bahwa agama mampu memberi penghiburan dan membuat orang berpasrah, maka agama justru dapat dimanfaatkan oleh kelas atas. Kelas atas justru dapat semakin mengeksploitasi kelas bawah dengan melihat bahwa agama membuat kelas bawah untuk tetap puas dengan penghasilannya. Terlebih lagi, agama menawarkan suatu kompensasi atas penderitaan hidup sekarang ini pada suatu kehidupan yang akan datang sehingga malah justru membiarkan ketidakadilan berlangsung terus menerus. Dengan demikian, kritik agama berarti menyingkirkan ilusi-ilusi dimana manusia mencari rasa nyaman di situ di tengah siatuasi tertindas yang ia alami. Kritik agama justru akan membuat mereka membuka mata terhadap kenyataan diri mereka, menghadapinya sehingga akan berusaha berhenti  dari segala bentuk ketertindasannya. Mereka (kelas bawah)  tidak lagi mau terbuai dengan ide-ide tentang hidup yang bahagia kelak sesudah mati tetapi akan kemudian berusaha mewujudkannya di dunia ini dengan mengubah masyarakat dan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, kritik agama menjadi pembuka kesadaran dari kelas bawah bahwa diri mereka perlu bangkit maju untuk memperbaiki kondisi hidup mereka secara real. Agama perlu ditinggalkan supaya orang dapat merdeka.

Membaca Sisi Lain Karl Marx

Di kalangan aktifis kiri, sosok Karl Marx nyaris tanpa kritik bahkan bak seorang nabi. Ia dipuja bahkan oleh orang-orang yang sama sekali tak mengetahui dirinya. Para pengikutnya biasanya menilai dia adalah pejuang sejati yang heroik, dan membela kaum tertindas dan kaum proletar. Akan tetapi pandangan sebaliknya terpapar dalam buku The Intelectual, karya Paul Johnson.

Dalam buku tersebut, Karl Marx ditampilkan sebagai sosok pemarah yang tidak mampu mengatur kehidupannya. Ketika kuliah, Marx menghabiskan uang kiriman ayahnya – walaupun sang Ayah berkeluh kesah kehabisan uang. Marx malah selalu minta jatah lebih. Jasa sang Ayah yang mati-matian membiayai kuliah ternyata tak terbalas kebaikan.  Ketika Ayahnya meninggal dunia, ia tak sudi menghadiri pemakaman Ayahnya tersebut.

Sang Ayah meninggal, giliran Ibu mendapat perlakuan tidak terpuji. Ia menimpakan semua tagihan biaya hidupnya pada sang Ibu yang sudah menjanda. Marx sebenarnya adalah seorang penganggur. Ini amat bertentangan dangan teori materialismenya. Ia bahkan tak pernah serius mencari kerja. Sampai akhirnya ia bekerja di perusahaan penerbitan atas jasa Moses Hess – yang mengagumi pemikiran Marx. Namun hidupnya terlunta-lunta. Kehidupannya bahkan ditanggung oleh sahabatnya Friedrich Engels ketika ia dalam buangan di Inggris.

Karya monumentalnya pun – Des Kapital – sebenarnya sebagian besar jilidnya diselesaikan oleh Engels, terutama tentang teori-teori sosial dan ekonominya. Dalam buku The Intelectual juga digambarkan Marx adalah sosok yang tempramental, pemabuk dan perokok berat. Istrinya merasa tidak nyaman ketika Marx berlebihan minum dan merokok, rumah dan kamarnya amat kotor. Istrinya juga pernah mendapat perlakuan yang kejam – yang mengakibatkan Marx dipanggil polisi. Gaya hidupnya juga tidak teratur, jarang mandi, tidak bisa mengatur dirinya sendiri[13].

Penutup

Filsafat Karl Marx meruapakan salah satu filsafat yang paling berpengaruh di dalam perkembangan sejarah. Kemampuan gagasan Marx untuk berdialektika dengan zaman, menjadikannya pemikir yang tidak pernah sepi dari kritikan dan pujian atasnya. Namun, apapun tanggapan dunia terhadapnya, kehadirannya telah menggerakkan kesadaran kelompok buruh, budak dan aktivis sosialis untuk mengorganisir diri dan berjuang mewujudkan perubahan.

Pendapat Karl Marx tentang tujuan akhir berupa masyarakat tanpa kelas sebenarnya merupakan suatu yang paradoks dengan konsep dialektis itu sendiri. Dialektisisme merupakan sebuah proses yang terus-menerus sehingga tidak akan tercipta kemandegan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mungkin masyarakat tanpa kelas akan terwujud? Bukankah dalam proses bermasyarakat tetap harus ada pembagian kerja? Teori masyarakat tanpa kelas Marx memang semacam utopisme yang penuh paradoks dalam teori-teorinya. Pandangan Marx tentang sejarah yang saintifik telah mereduksi kemanusian. Mansia hanya menjadi korban dari barang-barang produksi dan tidak lagi memiliki independensi.
Mengenai pandangannya tentang agama yang dinilai sebagi candu, juga sebenarnya tidak mendapat respon baik. Karena toh ternyata agama masih dinikmati oleh manusia bahakn semakin lama manusia cenderung religius, kebutuhan manusia tidak hanya materi saja akan tetapi juga komunikasi dan spiritual. Paradoks lainya adalah ternyata sekarang sosialisme sedang menikmati kapitalisme, artinya proyek masyarakat tanpa kelas tidak digandrungi manusia modern.[ISID, Siman Juli 2009]

Oleh: Kholili Hasib

[1] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah(Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978).
[2] Listiono Santoso dkk, Seri Pemikiran Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), p.36-37
[3]Lihat Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978).

[4] Listiono Santoso dkk, Seri Pemikiran Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 42
[5] Ibid, p.43
[6] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat2 (Jogjakarta: Kanisius, 1980), p. 121
[7] Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx:Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 1999), p. 61-63

[8] Harold Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), p. 303.
[9] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978).
[10] Ibid.

[11] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat2 (Jogjakarta: Kanisius, 1980), p. 121.
[13] Sebagian besar dikutip dari Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA Vol. III. No 2 p.106-108

Klik: Fajrul Islam

0 komentar:

Posting Komentar