Istilah
ini sudah digunakan oleh Karl Marx pada pertengahan abad 19. Dalam
pengantar untuk edisi kedua dari bukunya bertajuk ‘The Eighteenth
Brumaire of Louis Bonaparte’ yang terbit pada tahun 1869, Marx menulis:
“…Outside France, this violent breach with the traditional popular
belief, this tremendous mental revolution, has been little noticed and
still less understood…” (Di luar Perancis, kekerasan ini melabrak
kepercayaan umum yang tradisional, revolusi mental yang luar biasa ini,
telah sedikit diketahui dan masih kurang dipahami). Begitu kesimpulan
Marx dalam kalimat pengantar buku tersebut. Simpulan Marx itu tentu saja
menunjukkan salah-satu inti ajaran Marx tentang kebutuhan akan
pertarungan kelas.
Buku kondang Marx itu pertama kali terbit
memang pada tahun 1852. Selain Marx, ada sohib karibnya, Frederick
Engels, yang juga memberikan kata pengantar. Dibanding Marx, kata
pengantar Engels tidak begitu menukik. Ia hanya mengurai saja, apa yang
terjadi di Prancis pada masa itu. Justru kata pengantar Marx di edisi
kedua (1869) yang secara terang-terangan menyebut perlunya ‘revolusi
mental’, pendobrak keyakinan lama.
Bagi Marx, ‘revolusi mental’ merupakan
keharusan untuk menata masyarakat, dari tatanan lama menuju ke tatanan
baru yang komunistis. Marx dan para pendukungnya mendorong terjadinya
‘revolusi mental’, yang membenturkan kelompok satu ke yang lain.
Batasnya, siapa yang ikut mentalnya direvolusi, dan siapa yang tidak.
Tak pelak, karya Marx menjadi sumber
inspirasi bagi gerakan komunis internasional. Dimulai dari gerakan kelas
pekerja pada 1864 kemudian 1889, lalu 1919, nyaris seluruh aktivis
gerakan ini bersandar pada ‘revolusi mental’. Mereka memilah siapa kawan
siapa lawan, lalu berusaha memengaruhi publik lewat agitasi propaganda.
Masuk ke masyarakat, mempengaruhi komunitas buruh, menyelusup ke pasar
dan pusat keramaian untuk memprovokasi warga. Ini bagian dari cara
‘revolusi mental’.
Walau tak harus tersurat, tetapi cara itu
tersirat dalam hampir semua karya Marx pada kurun berikutnya.
Karya-karya yang gampang dicari di berbagai situs internet dewasa ini.
Sulit rasanya menepis anggapan, bahwa Marx tak mendorong ‘revolusi
mental’ itu.
Khusus untuk mengubah cara berpikir, para
konseptor aksi komunis pada periode berikutnya, juga meniru Marx. Dari
1864 sampai 1872, para pengikut Karl Marx, seperti Eugene Pottier
(penyair Prancis) dan Wilhelm Liebknecht (revolusioner Jerman), mulai
menata diri dalam ‘Internasional Pertama’ yang berbasis di London.
Hubungan mereka sangat erat pada kaum pekerja di kota tersebut. Mereka
juga menulis selebaran. Disebarkan secara luas, lalu dilihat reaksi
masyarakat.
Intinya, para pelopor komunisme sudah
terbiasa menyebarkan pandangan-pandangan yang mengadu-domba satu
kelompok dengan kelompok lain demi sebuah ‘revolusi mental’. Seperti
yang dilakukan Georgi Plekhanov di Rusia. Ia memanas-manasi para
penggarap lahan agar bentrok dengan pemilik tanah. Sangat mirip kelak
dengan aksi Nyoto tatkala menggerakkan pemuda rakyat di lapangan.
Jika Marx lebih banyak memotret dinamika
di Eropa utara (Prancis, Jerman dan Spanyol), maka Vladimir Illich Lenin
(VI Lenin) lebih fokus pada negerinya, Rusia. Seperti juga Marx, Lenin
banyak menulis selebaran untuk dibagi ke khalayak. Tujuannya,
menggerakkan masyarakat Rusia melawan Tsar Rusia kala itu.
Dalam karyanya berjudul ‘State and
Revolution’ yang diterbitkan pertama kali pada 1918, Lenin secara
tersirat menyebutkan perlunya aksi dramatis menyingkirkan kaum kapitalis
dan birokrat. Dalam kitab itu, Lenin lebih tegas menekankan pentingnya
‘jiwa revolusioner’ dibersihkan dari kaum borjuis dan oportunis.
Lenin beranggapan gerakan Internasional
Kedua (1889-1914), dikomandani Karl Kautsky, sudah jatuh bangkrut.
Sebabnya, tulis Lenin, belum ada revolusi yang bisa menggerakkan kaum
proletar (miskin) guna menggusur para kapitalis. Karenanya, Lenin
menyodorkan cara menggerakkan massa melalui penjelasan-penjelasan
provokatif, membenturkan satu bagian rakyat kepada bagian yang lain. Tak
perlu diragukan, itulah cara ‘revolusi mental’ guna memulai benturan
antar warga masyarakat.
Namun, harap jangan mencari istilah
‘revolusi mental’ itu ke dalam buku ‘Manifesto Komunis’ yang terbit pada
1848. Percuma. Sebab, istilah itu tak ada dalam buku ‘Manifesto
Komunis’. Dalam manifesto, Marx lebih suka menggambarkan pertarungan
kelas, contohnya kelas borjuis lawan kelas proletar. Walau terbit lebih
awal, manifesto komunis sebenarnya hanya untuk kebutuhan praktis.
Kebangkitan Komunis Indonesia
Sejarah mencatat, kebangkitan kelompok
komunis di Hindia Belanda (kini Indonesia) berkat campur tangan
Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet atau kondang dipanggil
Henk Sneevliet. Pria yang sebelumnya sudah menjadi anggota komunis
Belanda itu juga merupakan organisator Komintern (Komunis
Internasional). Begitu menginjakkan kaki di Kota Surabaya sekitar tahun
1913, Sneevliet bergabung dengan redaksi koran ‘Soerabajaasch
Handelsblad’.
Pada 9 Mei 1914, Sneevliet membentuk
‘Indische Sociaal Democratische Vereniging’ (ISDV, perkumpulan
sosial-demokrat Hindia Belanda) di kota yang sama. Melalui perkumpulan
ini, Sneevliet melancarkan kampanye hitam pada organisasi lain yang
tidak sehaluan. Sebaliknya, ia juga mulai aktif merekrut orang Indonesia
untuk menjadi juru penyebar kampanye hitam, seperti Semaun.
Sneevliet juga kemudian bersentuhan
secara luas dengan para aktivis Sarekat Islam (SI) yang lain, semisal
Alimin Prawirodirjo dan Darsono. Gagasan Sneevliet yang kuat dipengaruhi
ajaran Marxisme mulai ditularkan ke para aktivis SI. Mereka
terpengaruh, terutama pada ajaran Marxisme yang menyebutkan ‘Agama
adalah Candu bagi Rakyat’. Akibatnya, mereka pun mulai membatasi diri
dari pergaulan dengan sejawat dalam SI. Kedekatan dengan Sneevliet sudah
mengubah diri mereka. Pengaruh gagasan ‘revolusi mental’ ala Marxisme
mulai merasuki jiwa dan pikiran sejumlah aktivis SI. Berbagai bahan
bacaan yang diperkenalkan Sneevliet dan dialog-dialog bersamanya telah
mampu menggoyahkan keyakinan para aktivis SI ‘Merah’.
Dalam bukunya berjudul ‘The Rise of
Indonesian Communism’ (1965), peneliti Ruth McVey juga melukiskan
hubungan kerja Sneevliet dengan Adolf Baars. Pria yang juga disebut
dalam sejarah sebagai salah-satu tokoh pendiri komunisme di Indonesia.
Baars banyak menyurahkan waktunya membantu Sneevliet. Selama
berbulan-bulan Sneevliet terus memengaruhi para anak-didiknya.
Campur-tangan Sneevliet ke dalam aktivitas SI mengakibatkan organisasi
yang berdiri tahun 1912 itu pecah. Semaun dan rekan-rekan sehaluan yang
sudah tercuci otaknya, lebih memilih bergabung dengan Sneevliet. Mereka
begitu terpesona dengan komentar-komentar Sneevliet.
Program cuci otak Sneevliet ternyata
mujarab. Setelah membersihkan para aktivis itu dari pikiran-pikiran
religius, lalu Sneevliet mengisinya dengan ajaran-ajaran Marxis yang
anti-agama. Dalam testimoni tulisannya yang terbit pada tahun 1926
bertajuk ‘The class struggle element in the liberation struggle of the
Indonesian people’, Sneevliet mengakui telah menyuntikkan gagasan
revolusioner ke dalam SI.
Kata ‘revolusioner’ bagi komunis seperti
Sneevliet, tentu saja, bermakna menyerabut seseorang dari lingkungan
asal. Taktik serupa juga diungkapkan Lenin pada tahun 1918. Semaun,
Alimin dan Darsono merupakan contoh bagaimana kepribadiannya sudah
dicerabut dari SI.
Mental mereka telah direvolusi sedemikian
rupa, sehingga mudah menjadi boneka komunis. Kelak di kemudian hari,
usai Konferensi Batavia pada Januari 1926, para kader komunis yang sudah
tercuci otaknya tersebut melakukan kesepakatan untuk aksi sepihak.
Mereka tak mau memerhitungkan syarat-syarat keberhasilan suatu aksi.
Sebab, bagi Alimin dan kawan-kawannya, yang terpening adalah beraksi
frontal. Tak peduli akan jatuh korban banyak.
Komintern sudah sepenuhnya mengendalikan
pikiran para petualang politik ini. Mereka tak lagi bebas menentukan
sikap. ‘Revolusi mental’ yang digarap kalangan internal PKI dengan
dukungan Sarekat Rakyat (SR) kian mendorong aksi pemberontakan Alimin
dan pendukungnya di Banten dan Silungkang, Sumatera Barat pada
1926-1927. Pemberontakan ini gagal. Akibatnya, mereka jadi buronan
pemerintah Hindia Belanda.
PKI dan Revolusi Mental
Jika ulasan-ulasan DN Aidit atau MH
Lukman dibaca, maka segera tersirat keinginan kuat para pentolan PKI itu
untuk melakukan ‘revolusi mental’. Memang, secara tersurat sulit
menemukan istilah ‘revolusi mental’ dalam karya-karya tulis para tokoh
PKI tersebut. Namun, indikasi kuat segera tampak manakala membaca karya
mereka.
Seperti penggambaran Departemen Agitasi
dan Propaganda (Depagitprop) pada tahap revolusi masyarakat Indonesia.
Dalam buku yang diterbitkan tahun 1958 berjudul ‘ABC Politik Indonesia’,
secara jelas tertulis desakan PKI agar dilakukan revolusi tanpa perlu
menimbang akibat-akibat negatifnya. Brosur PKI yang disebar ke
masyarakat itu berusaha menjelaskan alasan mengapa perlu suatu revolusi.
Diantaranya, PKI beranggapan penciptaan masyarakat sosialis hanya bisa
terwujud melalui revolusi komunis.
PKI menyembunyikan fakta betapa besar
korban yang timbul akibat revolusi Rusia. Organisasi komunis ini secara
sengaja tidak menyodorkan risiko-risiko akibat revolusi. Bagi para tokoh
PKI, program cuci-otak masyarakat perlu dimulai dengan menyebarkan
pamflet berisi ajakan revolusi. Memang, di dalam pamflet-pamflet PKI
selalu disebut alasan di balik revolusi itu, hanya saja pamflet itu
tidak pernah menuliskan dampak revolusi. Sehingga sadar atau tidak,
siapapun yang tidak kritis membaca pamflet PKI, maka ia akan mudah
tercuci-otaknya.
Pelan namun pasti, program-program
cuci-otak ala PKI tersebut menyasar bukan saja ke kalangan kota,
melainkan hingga ke desa-desa. Pamflet dan program disebarkan dengan
bahasa sederhana, tapi bisa memengaruhi cara berpikir orang awam. Sejak
akhir tahun 1958, para pengurus teras PKI membekali juru kampanyenya
dengan trik-trik kotor mencuci otak warga. Seperti dengan membuat
kampanye hitam pada lawan-lawan politik PKI.
Diantaranya menjuluki Masjumi dan PSI
sebagai kepala batu. Dalam Kongres Nasional ke-VI PKI di Jakarta, Wakil
Sekjen CC PKI Njoto pada pidato 9 September 1959 menuding parpol yang
kritis sebagai ‘kepala batu’. Njoto pula yang aktif turun ke lapangan
memengaruhi para kader-kader PKI agar rajin memprovokasi khalayak umum.
Aksi Njoto itu merupakan wujud dari
langkah-langkah PKI untuk mencuci otak masyarakat. Semua fakta
diputar-balik oleh Njoto, demi kepentingan program ‘revolusi mental’ di
masyarakat. Langkah serupa juga dilakukan Aidit. Ia bukan saja gemar
menjelaskan tahap-tahap pembentukan masyarakat Indonesia ke berbagai
kalangan di dalam negeri, bahkan sampai ke luar negeri pun dilakukan
Aidit.
Ketika berkunjung ke Sekolah Tinggi
Partai Komunis Cina di Peking, RRT, pada 2 September 1963, DN Aidit
begitu antusias menjelaskan tahap perkembangan masyarakat Indonesia.
Tahap-tahap itu tentu sangat penting bagi PKI. Sebab, dari tahap-tahap
inilah kemudian PKI bisa merancang aksi cuci-otak.
Boleh dikata, tahap-tahap perkembangan
masyarakat Indonesia yang dibuat PKI itu sesungguhnya merupakan pemetaan
terhadap situasi dan kondisi masyarakat. Dari pemetaan tersebut, maka
tentu saja mudah untuk membidik berbagai kalangan yang hendak direvolusi
mentalnya. Jika bidikan ini berhasil, maka PKI kemudian akan mudah
menggerakkan mereka. TIM
klik: kabarnet.in
0 komentar:
Posting Komentar