Salah satu dampak dari modernisasi dan sekularisasi adalah rancunya
konsep ilmu. Sebabnya, peradaban Barat telah menjadikan ilmu sebagai
problematis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban tersebut
telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Tidak dinafikan, peradaban
Barat telah menghasilkan ilmu yang bermanfaat. Namun, tidak dapat
dinafikan juga bahwa peradaban tersebut telah menghasilkan ilmu yang
telah merusak khususnya spiritual kehidupan manusia. Makalah ringkas di
bawah ini ingin menunjukkan bahwa revolusi epistemologis diperlukan
untuk menjawab krisis epistemologis yang sedang melanda peradaban dunia
modern.
I. Epistemologi Barat Modern
Sejarawan Barat menganugerahkan gelar Bapak filsafat modern kepada René Descartes (m. 1650), yang memformulasi sebuah prinsip, aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum).
Dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya
kriteria (rasionalisme) untuk mengukur kebenaran. Berbeda dengan
Descartes, David Hume (m. 1776), menegaskan bahwa panca indera adalah
sumber ilmu (empirisisme). Oleh sebab itu, Hume menyimpulkan ilmu tidak
mungkin dapat diraih (skeptisisme). Menjawab keraguan terhadap ilmu
pengetahuan yang dimunculkan oleh David Hume yang skeptik, Immanuel Kant
(m. 1804) berpendapat pengetahuan adalah mungkin (knowledge is possible).
Sebabnya, selain wujudnya pernyataan analytic a priori dan synthetic a posteriori, ada juga pernyataan synthethic a priori.
Bagaimanapun, Kant menegaskan bahwa metafisika adalah tidak mungkin
karena tidak bersandarkan kepada panca indera. Menurut Kant, metafisika
tidak memuat pernyataan-pernyataan synthetic a priori seperti
yang wujud dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada
fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transendent (a transcendental illusion). Kant menyimpulkan pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysicial assertions are without epistemological value).[1]
Epistemologi yang berkembang di Barat pada zaman modern semakin
bergulir dengan munculnya filsafat dialektika Hegel (m. 1831).
Terpengaruh dengan pemikiran Kant, Hegel berpendapat pengetahuan adalah ongoing process,
dimana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang:
tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru.
Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap
lama itu, dalam cahaya pengetahuan kemudian, kelihatan terbatas. Jadi
tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan
dianggap kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap
dipertahankan.[2]
Munculnya epistemologi sekular yang dominan dalam peradaban Barat
pada zaman modern membawa dampak terhadap munculnya faham ateisme.
Berbagai disiplin keilmuan, seperti dalam teologi, filsafat, sains,
sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain tidak terlepas
dari faham ateisme.
Salah seorang perintis faham ateisme di abad modern adalah Ludwig
Feurbach (1804-1872), murid kepada Hegel. Feurbach, seorang ahli teologi
Kristen, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun pada hakikatnya, agamalah yang menyembah manusia (religion that worships man). Agama Kristen sendiri yang menyatakan Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).[3]
Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat
agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati,
sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu
rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan
faktor primernya adalah ekonomi.[4]
Selain itu, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam
bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan.
Bagi Darwin, asal-mula spesis (origin of species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan” (adaptation to the environment).
Menurutnya lagi, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua spesis
yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesis
menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi
alam (natural conditions).[5]
Faham ateisme berkembang juga dalam disiplin ilmu sosiologi. Auguste
Comte, penemu istilah sosiologi, memandang kepercayaan kepada agama
merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Dalam pandangan Comte,
masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis, yaitu: fase teologis
disebut juga sebagai fase fiktif; fase metafisik disebut juga fase
abstrak; fase saintifik disebut juga fase positif. Maisng-masing fase
memiliki ciri-ciri yang bertentangan antara satu dengan yang lain.
Kharasteristik dari setiap fase itu bertentangan antara satu dengan yang
lain. Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan
oleh kekuatan ghaib. Dalam fase metafisik, misalnya, akal manusia
menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, atau
entitas–entitas yang nyata, yang menggantikan kekuatan ghaib. Dalam fase
positif, akal manusia menyadari bahwa kebenaran yang mutlak tidak
mungkin dicapai.[6]
Pendapat Comte yang menolak agama, diikuti oleh para ahli sosiologi
yang lain seperti Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spencer. Agama,
tegas Spencer, bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia
lain.[7]
Pemikiran ateistik ikut bergema dalam disiplin psikologi. Sigmund
Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin
agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas dunia. Bukan
agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk membimbing ke
arah ilmu pengetahuan.[8]
Kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema di dalam filsafat. Di dalam karyanya Thus spoke Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1844-1900) menulis: “God died; now we want the overman to live.”[9] Dalam pandangan Nietzsche, agama adalah “membuat sesaat lebih baik sesaat dan membiuskan” (momentary amelioration and narcoticizing).[10] Bagi Nietzsche, agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Nietzsche menyatakan: “seseorang tidak dapat memercayai
dogma-dogma agama dan metafisika ini jika seseorang memiliki
metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan kepada
seseorang.”[11]
Nietzsche menceraikan hubungan antara agama dan imu pengetahuan,
Nietzsche menyatakan: “Antara agama dan sains yang betul, tidak terdapat
keterkaitan, pesahabatan, bahkan permusuhan: keduanya menetap di
bintang yang berbeda.”[12] Perlu diperhatikan, ketika Nietzsche mengkritik agama, ia merujuk secara lebih khusus kepada agama Kristen.[13]
Selain melahirkan ateisme, epistemologi Barat modern juga telah
mensekularkan teologi Kristen. Akibatnya, teologi Kristen mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift).
Jika pada zaman pertengahan, para teolog Kristen seperti Santo
Augustinus (m. 430), Boethius (m. 524), Johannes Scotus Erigena (m.
877), Santo Anselm (m. 1109), Santo Bonavantura (m. 1274) dan Santo
Thomas Aquinas (m. 1274) memodifikasi filsafat Yunani kuno supaya sesuai
dengan teologi Kristen, maka teolog Kristen pada abad ke-20 seperti
Karl Barth (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945),[14] Friedrich Gogarten (1887-1967),[15] Paul van Buren (m. 1998), Thomas Altizer, Gabriel Vahanian,[16] William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, Harvey Cox[17]
dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan
peradaban Barat modern-sekular. Mereka menegaskan ajaran Kristiani harus
disesuaikan dengan pandangan-hidup sains modern yang sekular.[18]
Mereka membuat penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran
lama yang menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis
dari alam ini. Mereka membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim
bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti
khusus.[19] Mereka meninjau kembali ajaran agama Kristen supaya tetap relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern yang sekular.[20] Sekularisasi teologi dalam Kristen menyebabkannya menjadi pinggiran dalam arus peradaban Barat modern.
Pemikiran Nietzsche masih menggema dan para filosof pasca modernis
seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty menjadikan
pemikiran Nietzsche sebagai rujukan. Jika Nietzsche mengumandangkan God is death, maka Jacques Derrida pada pertengahan abad ke-20 M mendeklarasikan the author is death.
Pemaparan ringkas diatas menunjukkan konsep ilmu yang bersumber
kepada akal dan panca-indera, telah melahirkan berbagai macam faham
pemikiran seperti rasionalisme, empirisme, skeptisisme, relatifisme,
ateisme, agnotisme, humanisme, sekularisme, eksistensialisme,
materialisme, sosialisme, kapitalisme dan liberalisme. Westernisasi ilmu
bukan saja telah menceraikan hubungan harmonis antara manusia dan
Tuhan, namun juga telah melenyapkan Wahyu sebagai sumber ilmu.
II. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer (Islamization of present-day Knowledge)
Mengamati wajah epistemologi Barat, Syed Muhammad Naquib al-Attas
menyatakan Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan
skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke
tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah
menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan.
Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan
kepercayaan agama. Namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat
dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang
memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus
menerus berubah.[21]
Dalam pandangan Naquib al-Attas, ilmu pengetahuan Barat-modern yang
diproyeksikan melalui pandangan-hidupnya, dibangun di atas visi
intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurutnya, ada 5
faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat:[22]
(1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap
dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek
eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular;[23]
(4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai
unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.[24]
Menyadari krisis ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat,
Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu yang berkembang di Barat tidak
semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat
yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan
hidup sesuatu kebudayaan.[25] Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden).[26]
Penolakan terhadap paradigma ilmu Barat, tidak serta merta bermaksud
menafikan juga persamaan yang terdapat antara epistemologi Barat dan
Islam. Memang ada, menurut Naquib al-Attas, persamaan antara Islam
dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu,
kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme,
idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains;
proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, terdapat juga sejumlah
perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews)
mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber
ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk
ciptaan dan Pencipta.[27]Wahyu
merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains
sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari
sudat pandang rasionalisme dan empirisesme.[28] Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge).[29]
Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena.
Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan
perkembangan zaman. Tanpa Wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas
kepada alam nyata ini yang dianggap satu-satunya realitas.[30]
Mendiagnosa virus yang terkandung dalam Westernisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu.[31]
Alasannya, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin adalah ilmu
pengetahuan modern yang tidak netral dan telah diinfus ke dalam
praduga-praduga agama, budaya dan filosofis, yang sebenarnya berasal
dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Jadi, ilmu
pengetahuan modern harus diislamkan.[32]
Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Selain
itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak. Sebabnya, terdapat
sejumlah persamaan antara Islam dan filsafat dan sains Barat. Oleh sebab
itu, seseorang yang mengislamkan ilmu, ia perlu memenuhi pra-syarat,
yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan-hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat.[33] Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth).
Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran
tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial,
politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular
mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas
dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian kepada metafisika terhadap
dunia yang nampak dan tidak nampak. Jadi, pandangan-hidup Islam mencakup
dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara
yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki
signifikansi yang terakhir dan final.
Pandangan–hidup Islam tidak
berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif,
historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan
metode yang menyatukan (tawhid). Pandangan-hidup Islam
bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi
agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ibadahnya, doktrinya
serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.
Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan
progresifitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah
sangat jelas. Pandangan-hidup Islam terdiri dari berbagai konsep yang
saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pencipatan, psikologi
manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan.
Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan
dan kemajuan. Pandangan-hidup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang
unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama
lain.[34]
Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.[35]
Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem
nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya
untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai
yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memiliki
pandangan-hidup mutlaknya sendiri, merangkumi persoalan ketuhanan,
kenabian, kebenaran, alam semesta dll. Islam memiliki penafsiran
ontologis, kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam
menolak ide dekonsekrasi nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak.[36]
Setelah mengetahui secara mendalam mengenai pandangan-hidup Islam dan
Barat, maka proses Islamisasi baru bisa dilakukan. Sebabnya, Islamisasi
ilmu pengetahuan saat ini (the Islamization of present-day knowledge), melibatkan dua proses yang saling terkait:
i) mengisoliir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk
budaya dan peradaban Barat (5 unsur yang telah disebutkan sebelumnya),
dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam
ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika dan
aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori.[37]
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan-hidup Islam, maka sebuah fakta menjadi tidak benar. [38]
Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini
mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta
aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan
etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya,
praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses
ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya,
batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya
dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.[39]
ii) memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant.[40]
Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan
membebaskan manusia dari magik, mitologi, animisme, tradisi budaya
nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol
sekular kepada akal dan bahasanya.[41] Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (Ðann) dan argumentasi kosong (mira’) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi.[42] Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekular.[43]
III. Kritik Atas Islamisasi Ilmu[44]
Beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin
Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi mengkritik
konsep islamisasi ilmu pengetahuan.[45]
Fazlur Rahman, misalnya, berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa
diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan.
Masalahnya hanya dalam menyalahgunakan.[46]
Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti
“senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan
bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar
ketika memperolehnya.[47]
Fazlur Rahman tepat dengan menyatakan ilmu pengetahuan akan
tergantung kepada cara menggunakannya. Bagaimanapun, Fazlur Rahman
tampaknya mengabaikan jika konsep dasar mengenai ilmu pengetahuan itu
sendiri telah dibangun di atas pandangan-hidup tertentu. Konsep mengenai
Tuhan, manusia, hubungan antara Tuhan dan manusia, alam, agama, sumber
ilmu akan menentukan cara seseorang memandang ilmu pengetahuan.
Selain itu, pemikiran sekular tampaknya juga hinggap dalam pemikiran
Fazlur Rahman. Hal ini tampak jelas, ketika ia berpendapat ilmu tidak
perlu mencapai tingkat finalitas atau keyakinan. Ia menyatakan: “Jelas
bukan suatu keharusan penafsiran tertentu sekali diterima harus selalu
diterima; akan selalu ada ruang dan keharusan untuk
penafsiran-penafsiran baru, dan ini sebenarnya proses yang terus
berlanjut.”
Berbeda dengan Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas
menegaskan ilmu pengetahuan dalam hal-hal yang yakin, adalah final,
tidak terbuka untuk direvisi oleh generasi kemudian, selain elaborasi
dan aplikasi. Penafsiran baru hanya benar terkait dengan aspek-aspek
ilmiah al-Qur’an dan fenomena alam.[48]
Pada umumnya, para pengkritik Islamisasi ilmu berpendapat sains
adalah mengkaji fakta-fakta, objektif dan independent dari manusia,
budaya atau agama, dan harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam,
misalnya, menyatakan: “Hanya ada satu sains universal,
problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak
ada sesuatu seperti sains Islam sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains
Yahudi atau sains Kristen.”[49]
Pernyataan Abdus Salam menunjukkan tidak ada yang namanya sains
Islam. Pernyataan sekular ini menunjukkan bahwa Abdus Salam menceraikan
pandangan-hidup Islam menjadi dasar metafisis kepada sains. Padahal,
pandangan-hidup Islam akan selalu terkait dengan pemikiran dan aktifitas
seorang sains. Pernyataan Abdus Salam diatas menunjukkan pernyataan
tersebut hasil dari seorang saintis Muslim sekular. Menurut Prof.
Alparslan Açikgenç, pemikiran dan aktifitas ilmiah dibuat di dalam
pandangan-hidup saintis yang menyediakan baginya skema konsep ilmiah
tertentu sebagaimana juga panduan etis.[50] Seorang saintis akan bekerja sesuai dengan perspektifnya yang terkait dengan framework dan pandangan-hidup yang dimilikinya.[51]
Kritikan terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan juga diajukan oleh
Abdul Karim Sorush. Ia menyimpulkan Islamisasi ilmu pengetahuan adalah
tidak logis atau tidak mungkin (the impossibility or illogicality of Islamization of knowledge).
Alasannya, Realitas bukan Islami atau bukan pula tidak Islami.
Kebenaran untuk hal tersebut bukan Islami atau bukan pula tidak Islami.
Oleh sebab itu, Sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau
bukan pula tidak Islami. Para filosof Muslim terdahulu tidak pernah
menggunakan istilah filsafat Islam. Istilah tersebut adalah label yang
diberikan oleh Barat (a western coinage). Mengelaborasi ringkas
argumentasinya, Abdul Karim Sorush menyatakan; (1) metode metafisis,
empiris atau logis adalah independent dari Islam atau agama apa pun.
Metode tidak bisa diislamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa
diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa
diislamkan; (3) Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan
adalah mencari kebenaran, sekalipun diajukan oleh Non-Muslim; (4) Metode
yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa diislamkan.[52]
Pandangan-alam yang terkandung dalam argumentasi Abdul Karim Sorush
adalah realitas sebagai sebuah perubahan. Ilmu pengetahuan dibatasi
hanya kajian terhadap fenomena yang berubah. Padahal, realitas adalah
tetap dan berubah. Dalam pandangan Naquib al-Attas, reality is at
once both permanence and change, not in the sense that change is
permanent, but in thes sense that there is something permanent whereby
change occurs.[53]
Islamisasi ilmu pengetahuan juga dianggap sebagai pribumisasi (indigenization),
sebagaimana dinyatakan oleh Bassam Tibi. Ia memahami Islamisasi ilmu
sebagai tanggapan dunia ketiga kepada klaim universalitas ilmu
pengetahuan Barat. Islamisasi adalah menegaskan kembali lokal menentang
ilmu pengetahuan global yang menginvasi.[54]
Pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai pribumisasi yang
terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islamisasi bukanlah memisahkan
antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan
Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan
sosiologis. Disebabkan ummat Islam ummat Islam berada di dalam dunia
berkembang dan Barat adalah dunia maju, maka gagasan Islamisasi ilmu
merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal,
munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan
pandangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain berbeda.
Islamisasi bukan saja mengkritik budaya dan peradaban global Barat. Ia
juga mentransformasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan
pandangan-alam Islam. Islamisasi adalah menguniversalkan bentuk-bentuk
budaya, adat, tradisi dan lokalitas supaya sesuai dengan agama Islam
yang universal.[55]
Sebagai kesimpulan, untuk menjawab tantangan hegemoni westernisasi
ilmu yang sedang melanda peradaban dunia saat ini, diperlukan Islamisasi
ilmu.
Wallahu a’lam bis sawab.
[1] Justus Harnack, Kant’s Theory of Knowledge, pen. M. Holmes Hartshorne (London: Macmillan, 1968), 142-45.
[2] Dikutip dari Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2001), 56, diringkas Pemikiran Karl Marx.
[3] Ludwig Furbach, The Essence of Christianity, penerjemah George Eliot (New York: Prometheus Books, 1989), xiii-xix.
[4] Dikutip dari Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, 71-76.
[5] Charles Darwin, The Origin of Species (New York: New American Library, 1958), 437.
[6] Auguste Comte, Introduction to Positive Philosophy, 1-2.
[7] Jonathan H. Turner, Herbert Spencer: A Renewed Appreciation, 1: 136-138.
[8] Sigmund Freud, The Future of an Illusion, editor dan pen. James Strachey (New York: W. W. Norton & Company, 1961), 40.
[9] Dikutip dari Robert C. Holub, Friedrich Nietzsche, (New York: Twayne Publishers, 1995), 138.
[10] Ibid;, 129
[11] Neitzcshe menyatakan: “one
cannot believe these dogmas of religion and metaphysics if one has in
one’s heart and head the rigorous methods of acquiring truth.” Dikutip dari Robert C. Holub, Friedrich Nietzsche, New York: Twayne Publishers, 1995), 129.
[12] Nietzsche menyatakan: “There
exists between religion and true science neither affinity, nor
friendship, nor even enmity; they dwell on different stars.” Dikutip dari Robert C. Holub, Friedrich Nietzsche, 129.
[13] Mengkritik agama Kristen, Nietzsche menyatakan: “it
desires to destroy, shatter, stupefy, intoxicate, the one thing it does
not desire is measure: and that is why it is in the profoundest sense
barbaric, Asiatic, ignoble, un-Hellenic.” Dikutip dari Robert C. Holub, Friedrich Nietzsche, 131.
[14]
Dietrich Bonhoeffer, seorang Pastor Jerman yang dieksekusi pada tanggal
8 April 1945 oleh Gestapo Nazi karena terlibat dalam plot membunuh
Hitler, menyatakan sekarang orang-orang Kristen bergerak menuju
betul-betul masa tanpa agama (completely religionless time). Selama 1900, tegas Bonhoeffer, agama Kristen bersandar kepada a priori agama (religious a priori).
Ia menyeru supaya ajaran Kristen disampaikan dengan cara sekular.
Bonhoeffer menyatakan: “Bagaimana kita berbicara mengenai Tuhan-tanpa
agama, yakni tanpa praduga-praduga metafisika, kebatinan dan sebagainya
yang terkondisikan secara temporal?” (How do we speak of God—without
religion, i.e., without the temporally conditioned presuppositions of
metaphysics, inwardness, and so on?) Bagaimana kita berbicara mengenai Tuhan dengan cara yang sekular? (How do we speak in a secular way about God ?) Dengan cara apa kita adalah orang-orang Kristen sekular yang tanpa agama…? (In what way are we religionless secular Christians…). Lihat Dietrich Bonhoeffer, A Testament to freedom: the essential writings of Dietrich Bonhoeffer, editor Geffrey B. Kelly dan F. Burton Nelson (San Fransisco: HarperCollins, 1990), 526.
[15] Friedrich Gogarten menyatakan: “Sekularisasi
terlepas dari apa yang mungkin telah berkembang daripadanya di dalam
zaman modern, adalah konsekwensi sah dari iman Kristiani”.
(Secularization regardless of what may have developed from it in modern times, is a legitimate consequence of the Christian faith). Dikutip dari Harvey Cox, “Why Christianity Must be secularized” dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc, 1967), 11, selanjutnya diringkas GIT.
[16]
Gabriel Vahanian adalah seorang teolog Neo-Calvinis. Ia menyatakan:
“sekular adalah keharusan seorang Kristiani.” Menurut Vahanian, kematian
Tuhan adalah peristiwa agama dan sekaligus budaya. Dalam masyarakat
yang modern dan saintifik, peristiwa-peristiwa dalam Bible dianggap
sebagai mitos, sudah lapuk, dan tidak terpakai lagi.
[17] Menurut Cox, terdapat tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas kepada sekularisasi, yaitu: ‘disenchantment of nature’ yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation), ‘desacralization of politics’ dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir dan ‘deconsecration of values’ dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant). Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967), 17, selanjutnya disingkat The Secular City.
[18] Ibid., 11-12.
[19] Harvey Cox, ‘Why Christianity Must Be Secularized” dalam GIT, 9-10.
[20]
Mengenai teologi Kristen sekular, lihat buku saya, Pengaruh-Kristen
Orientalis Terhadap Islam Liberal; Dialog Interaktif dengan Aktivis
Jaringan Islam Liberal, (Jakarta; Gema Insani Press, 2003), 3-14.,
Mengenai istilah sekular, lihat Harvey Cox, The Secular City, 16-17.
[21] Lihat definisi Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai ‘peradaban Barat’ dalam karyanya Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua, 1993), 133-35, selanjutnya diringkas Islam and Secularism.
[22] Ibid., 137.
[23] Lihat kritikannya terhadap sekularisasi dalam karyanya Islam and Secularism, 38-43.
[24] Lihat kritikannya di dalam karyanya Prolegomena
to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements
of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 88; 99-108, selanjutnya disingkat Prolegomena.
[25] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 49. Sekalipun Risalah
diterbitkan pada tahun 2001, namun sebenarnya naskah tersebut sudah ada
sejak tahun 1973. Gagasan yang ada di dalam naskah tersebut
dikembangkan menjadi beberapa karya monograf.
[26] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, 134.
[27]
Sumber dan Metode Ilmu pengetahuan menurut Naquib al-Attas adalah (I)
Panca-indera yang meliputi 5 indera eksternal seperti sentuh, bau, rasa,
lihat, dan dengar, serta 5 indera internal seperti represntasi,
estimasi, retensi (retention), mengimbas kembali (recollection) dan khayalan. (II) Khabar yang benar didasarkan kepada otoritas (naql):
yaitu otoritas absolut yaitu otoritas ketuhanan (al-Qur’an) dan
otoritas kenabian (rasul) dan otoritas relatif, yaitu konsensus para
ulama (tawatur) dan khabar dari orang-orang yang terpecaya secara umum
dan (III) Akal yang sehat dan intuisi. Lihat skema struktur epistemologi
Naquib al-Attas dalam Adi Setia, “Philosophy of Science of Syed
Muhammad Naquib al-Attas,” Islam & Science 1 (2003), No. 2., 189.
[28] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and the Philosophy of Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1989), 9.
[29] Ibid., 4.
[30] Ibid., 5.
[31]
Pada akhir tahun 60-an dan awal tahun 70-an, Syed Muhammad Naquib
al-Attas sangat aktif membimbing gerakan para mahasiswa di beberapa
universitas di Malaysia untuk memfokuskan perjuangan mereka kepada
isu-isu fundamental yang sangat penting di dalam pembangunan bangsa
seperti masalah bahasa, budaya, sekularisasi, Westernisasi dan
Islamisasi., lihat karya Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational
Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas – An Exposition
of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 237, selanjutnya diringkas The Educational Philosophy.
[32] Ibid., 291.
[33] Ibid., 313-14.
[34] Lihat uraian komprehensif Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai pandangan-hidup Islam dalam Prolegomena, 1-39.
[35] Wan Mohd Nor Wan Daud , The Educational Philosophy, 298.
[36] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, 30-32.
[37] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 313.
[38] Ibid., 313.
[39] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena, 114.
[40] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 313.
[41] Al-Attas menyatakan: “Islamization
is the liberation of man first from magical, mythological, animistic,
national-cultural tradition opposed to Islam, and then from secular
control over his reason and his language.” Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, 44.
[42] Wan Mohd Nor Wan Daud , The Educational Philosophy, 312.
[43] Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, 43.
[44]
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mohd. Zaidi bin Ismail, seorang
intelektual muda Muslim Malaysia, karena telah meminjamkan penulis
beberapa artikel Fazlur Rahman, Abdul Karim Sorush dan Bassam Tibi.
[45]
Lihat kritikan Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim
Sorush dan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu Pengetahuan di dalam Wan
Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 395-420.
[46] Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A Response,” The American Journal of Islamic Social Science 5, No. 1 (1988), 4.
[47] Dikutip dari Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 398.
[48] Lihat lebih lanjut Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 399-00.
[49] Abdus Salam menyatakan; “There
is only one universal science, its problems and modalities are
international and there is no such thing as Islamic science just as
there is no Hindu science, no Jewish science, nor Christian science.” Dikutip dari Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 410.
[50] Alparslan Açikgenç, Islamic Sciance: Towards a Definition (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996).
[51] Alparslan Açikgenç, Holistic Approach to Scientific Traditions, Islam & Science 1 (2003), No. 1., 99-114.
[52]
Abdul Karim Sorush, “The Possibility of Islamicization of Knowledge.”
Makalah ini telah dibentangkan di Konferensi Internasional “Islam and
Modernism: The Fazlur Rahman Experiment,” yang diorganisiir oleh The
Center for the Organization of Cultural Activities, Istanbul
Metropolitan Municality, Istanbul, 22-23 Februari, 1997.
[53] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and the Philosophy of Science, 32.
[54]
Bassam Tibi, “Culture and Knowledge: The Politics of Islamization of
Knowledge as a Postmodern Project? The Fundamentalis Claim to
De-Westernization,” Theory, Culture & Society, Jilid. 12 (1995), 2-5.
0 komentar:
Posting Komentar