Home » » Haji Oemar Said (OS) Cokroaminoto (1882-1934)

Haji Oemar Said (OS) Cokroaminoto (1882-1934)

Pelopor Sikap Hijrah (Non-kooperasi)
Nama lengkapnya adalah: Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto, sedangkan nama yang dipakai beliau sendiri: Oemar Said (OS) Tjokroaminoto.[1] Ayahnya bernama Raden Mas Tjokroamiseno, seorang Wedana, di Kewedanaan Kletjo (Madiun). Lahir di desa Bakur pada 16 Agustus 1882. Dia merupakan cucu (cicit) dari Kiayi Kasan Besari (Hasan Basri), Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo yang beristrikan putri Susuhunan ke II, Kesultanan (Negeri) Surakarta.[2]
Pendidikan formalnya O.S.V.I.A (Opleidingsschool voor Inlandsch Ambtenaren) di Magelang, tamat pada tahun 1902. Sekolah untuk menjadi pegawai pemerintahan zaman penjajahan kolonial bagi anak-anak bumiputra (Priyayi) di Pamong Praja. Tahun 1905 sampai 1910 masuk sekolah sipil malam, Burgerlijke Avondscool (BAS), di Surabaya.
Pendidikan agama
Pendidikan Islam di dapatnya dari rumah, yaitu mengaji al-Quran. Secara sepintas lalu, Amelz dalam tulisannya menyebut bahwa beliau mendapat didikan agama dari guru-guru di sekitar Madiun hingga Magelang.[3] Setelah dewasa, dengan kemampuan beliau dalam sastra Jawa[4] dan bahasa asing (Belanda, Inggris) memungkinkannya mempelajari Ilmu Islam secara otodidak.
Pekerjaan dan karir
Diantara tahun 1905-1907 dia pernah bekerja sebagai kuli pelabuhan di Semarang.[5] Barangkali ini terjadi setelah dia berhenti bekerja sebagai Jurutulis (sekretaris), yaitu sebelum dia menetap di Surabaya. Karena dari tahun 1902 hingga 1905 ia menjadi Jurutulis Patih di Ngawi, kemudian beliau berhenti secara terhormat.[6]
Sewaktu di Surabaya dari tahun 1905 hingga 1910 ia bekerja di sebuah firma (advokat) Kooy & Co. Masih di Surabaya, tahun 1911-1912, ia bekerja di Pabrik gula, sebagai leerling machinist (pembantu bagian mesin) dan terakhir menjadi chemiker (bagian kimia).[7]
Ia juga pernah menjadi wartawan pada beberapa surat kabar: Bintang Soerabaya, Utusan Hindia (Surabaya), dan direktur-hop redaktur Fajar Asia (Jakarta).
Dari anggota hingga Ketua Sarekat Islam
Tahun 1912 adalah titik perubahan yang terjadi — semacam pencerahan (enlightenment) — dalam diri dan sejarah hidup Omar Said (OS) Cokroaminoto. Ia berubah dari menghidupkan mesin (machinist) pabrik gula kepada menghidupkan mesin “kekuatan Islam” (ruh Islam) dalam jiwa bangsa, umat Islam. Ruh mereka hampir mati (pingsan) akibat penjajahan kolonial Belanda. Dari pakar kimia (chemiker) pabrik menjadi “pakar kimia” yang mengadon (mengodok) semangat bumiputra yang lemah, menjadi kekuatan massal yang menakutkan musuh. Dari tutor (pembimbing) anak-anak indekos di asrama (internaat-Soeharsikin) di rumahnya, menjadi “guru” teladan bangsa.
Amelz menulis, sebelum beliau menjadi anggota Sarekat Islam (SI) ada dua atau tiga kampung di kota Surabaya yang penduduknya banyak yang menjadi anggota SI. Pada bulan Mei 1912 ada tiga orang propagandis (da’i) Sarekat Islam (SI) datang ke Surabaya,[8] tinggal beberapa hari di rumah beliau. Waktu itu mereka telah melakukan beberapa kali perundingan (diskusi) yang luas, hingga (OS) Cokroaminoto menjadi anggota SI,[9] dibai’at[10] sebagaimana lazimnya berlaku untuk anggota baru SI. Sebelum menjadi anggota dia telah melihat dan memperhatikan bahwa dalam organisasi Sarekat Islam itu, memang ada syarat yang benar, bagi suatu Pergerakan rakyat Indonesia yang saat itu masih ketinggalan, yaitu “Kekuatan Islam”.[11]
Sejak tahun 1912 sampai akhir hayatnya beliau adalah Ketua[12] (President) SI, meskipun nama organisasi ini berubah-ubah: Sarekat Islam (SI. 1912), Partai Sarekat Islam (PSI. 1923), Partai Sarekat Islam Hindia Timur (PSIHT. 1927) kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII. 1930).[13]
Pandangan (kesan) dari mereka yang sezaman dengan beliau:
1.   Haji A. Salim
Dan bagi Sarekat Islam yang asli itu, dengan setegas-tegasnya pula Cokroaminoto menjadi pemangku dan penganjurnya, yang cukup lengkap kepadanya segala sifat dan syarat seorang pembangun yang sesungguhnya menjadi pencipta: “mengadakan daripada tiada”.
Berani sampai kebatas tekebur, pendorong seolah-olah yakin pasti menang, tapi pada hakekatnya tidak ngeri akan tewas, tapi pantang menyerah kalah.
Inilah gambaran Cokroaminoto dimasa naiknya, di masa ia menggerakkan rakyat sampai ke desa-desa, di ulu sungai, di puncak-puncak bukit dan gunung. Di masa Pergerakan Sarekat Islam menggetarkan Indonesia dari ujung ke ujung. (dari Haji A. Salim, Maret 1951, Amelz, h. 6)
2.   Abboel Moeis
Sebagai pencipta Pergerakan Sarekat Islam, dialah yang terdahulu memimpin rakyat, buat menyatakan bantahannya terhadap penjajahan, setelah rakyat itu dengan jalan langsung diinsafkannya akan buruknya nasib mereka sebagai bangsa yang terjajah.
Sarekat Islam, yang dipimpin oleh Omar Said Cokroaminoto, dengan cepat meluas di seluruh Indonesia, sampai kepegunungan. Pemerintah Hindia Belanda, yang melihat timbul S.I. itu sebagai banjir yang sangat mengancam, tak dapat berlaku lain, daripada berusaha membenar-benarkan jalannya air bah sahaja, agar ia jangan sampai sangat merusak (Abboel Moeis, Agustus 1951, Amelz, h. 19)
3.   W. Wondoamiseno
Ketua Cokroaminoto yang ditakdirkan Tuhan menjadi pemimpin bangsa–menurut pendapat saya sendiri–adalah mendapat karunia beberapa sifat yang istimewa, beberapa kelebihan daripada yang lain, seperti umpamanya:
  1. pada beliau ada keberanian yang istimewa sehingga ditakuti oleh pihak lawan maupun kawan sendiri.
  2. padanya ada kecakapan dan kepandaian bicara, lebih daripada lainnya.
  3. padanya ada kekuatan bekerja luar biasa (siang-malam), tahan lapar dan tahan melek (tidak tidur).
  4. padanya diberi ilmu pengetahuan tentang soal Islam dan ke-Islaman yang istimewa dengan mendapat pelajaran dari Nabi Muhammad SAW.
  5. olehnya dilahirkan “Sarekat Islam” sehingga menjelma menjadi “Partai Sarekat Islam Indonesia”.
Lima pasal tersebut di atas cukuplah kiranya untuk menjadi bukti kenyataan atas sifat-sifat dan jasa-jasa beliau yang tak dapat dimungkiri kebenarannya oleh siapapun juga–terutama bangsa kita Indonesia yang berpikiran sehat dan adil.
Tetapi cukup jasa dan amal perbuatan beliau sebagai pendorong umat menuju kepada kemerdekaan yang kita alami sekarang ini. Hanyalah saja kemerdekaan Republik Indonesia sekarang ini belum sesuai dengan kemerdekaan yang diidam-idamkan oleh Ketua Cokroaminoto, karena hukum-hukum Islam belum berlaku di negeri kita. (W. Wondoamiseno, Amelz, h. 21-22).
4.   Hamka
Di awal Januari 1925 saya berangkat ke Pekalongan. Beberapa waktu kemudian saya pun dapat menghadiri Rapat Umum Sarekat Islam yang diadakan di Pekalongan, dan beliau sendiri sengaja datang dari Yogya buat berpidato dalam rapat umum itu. Rapat di bawah pimpinan tuan Kadhool.
Disitulah saya mendengar beliau sebagai Orator, Agitator, yang besar, dalam tempat yang luas, jadi bukan di kelas. Suaranya lantang besar, memancar dari sinar jiwa dan sanubari sendiri. Suara itu menguasai akan perjalanan rapat. Segala perhatian manusia terpaut ke diri beliau seorang, suaranya berbahana. Matanya berapi laksana mata serigala, dia berjalan pergi dan balik di atas pentas panggung ketinggian itu. Tiap-tiap kalimatnya mempertahankan pendiriannya dan menunjukkan cita-citanya. (Hamka, 27 September 1951. Amelz. h. 37)
Demikianlah pandangan beberapa tokoh terkemuka yang hidup sezaman dengan Haji OS Cokroaminoto; beliau dikenal sebagai: organisator ulung, ideolog, konseptor, dan orator penggerak massa (mass movement). Di atas semua itu beliau adalah seorang “Penemu” (founder) yang menemukan jawaban tepat untuk permasalahan yang dihadapi rakyat bumiputra yang lama terjajah oleh imperialis kolonial Kerajaan Protestan Belanda. Terjajah tanah dan negeri, ekonomi dan politik, bahkan telah meliputi jiwa dan pemikirannya, lahir-batin, material dan spiritualnya. Jawabannya ISLAM; yaitu Islam yang “hidup”.[14] Islam yang datang dari Yang-Maha-Hidup.[15] Islam yang telah menghidupkan orang-orang Badui Sahara menjadi manusia berbudaya, menyumbang kepada peradaban dunia. Islam yang dapat menyelamatkan manusia dari dunia hingga ke akhirat.
Selanjutnya dalam tulisannya yang berjudul “Moeslim Nationaal Onderwijs” (Pendidikan Nasional Muslim), beliau mengatakan:
Kita menghendaki Islam sebagai yang diajarkan dan diamalkan pada zaman permulaannya: Islam tidak dengan tambahan barang baru, tetapi Islam dalam kesuciannya yang semula.
Islam yang dimaksudkan adalah yang meliputi pengertian agama, politik pemerintahan, undang-undang dan para penganutnya (Muslim). Islam yang mengikuti jejak contoh yang telah dipraktekkan Nabi Muhammad SAW. Ketegasan beliau dalam memegang prinsip Islam dapat kita saksikan dalam politik yang dikenal luas sebagai non-kooperasi (1918). Di kalangan Partai SI Indonesia disebut sebagai Sikap-Hijrah (Politik Hijrah). Menurut sejarah, Sikap-Hijrah SI timbul sebagai protes atas sikap Belanda yang melanggar Janji-November 1918 (November-bilofte).[16] Hijrah berarti membuat jarak (keep a distance) dari penjajah kafir kolonial Belanda yang khianat (traitorous) akan janji. Khianat yang sama pernah dilakukannya atas Imam Bonjol (1821-1837), Pangeran Diponogoro (1825-1830) dan Perang Aceh (1873-1927). Sikap khianat ini telah menjadi trademark (tabiat) imperialis.
Tahun 1923, beliau dan SI-nya melakukan Sikap-Hijrah (1923) yang sama ke atas lid-lid[17] partai (organisasi) yang berlainan ideologi. Kali ini Sikap-Hijrah (non-kooperatif) bukan ke atas kafir penjajah, tetapi atas orang-orang Islam sendiri, yang berlainan ideologi, yang jelas bertentangan dengan ideologi Islam. Dicatat dalam sejarah sebagai tindakan partai-disiplin dalam Sarekat Islam (1927) terhadap anggota SI yang berideologi komunis. Suryanegara menyebut peristiwa itu sebagai “Pelopor” penentang pertama ideologi Komunis[18]di Indonesia.
Berkat adanya partai-disiplin itu, maka tak ada lagi permusuhan yang menghebat di antara kedua pihaknya. Ketua PSII selalu memperdalam pengetahuannya tentang soal Sosialisme menurut ajaran Nabi Muhammad SAW dengan dibandingkan kepada Sosialisme menurut ajaran Carl Marx dan Lenin. “Lakum dinukum waliyadin”.[19]
Sikap-Hijrah beliau dan organisasinya, bukan hanya ke atas kafir pengkhianat (Belanda) juga dapat berlaku atas Muslim (Indonesia) yang tidak berideologi Islam. Tindakan partai-disiplin SI bagaimana pun telah menimbulkan reaksi kecewa dari kaum “Pergerakan”. Badri Yatim menulis, akan tetapi, reaksi yang muncul bukan usaha mempersatukan dua kekuatan yang bertikai (Islam dan komunis). Orang-orang yang “kecewa” itu kemudiannya mendirikan kekuatan politik baru yang bebas dari komunisme dan Islam; diantaranya Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, Partai Indonesia (Partindo) tahun 1931 dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru) juga pada tahun 1931. Dengan demikian pihak-pihak yang bertikai secara ideologi bertambah satu kubu lagi. Mereka sering disebut dengan “sekuler” atau nasionalis “netral agama”.[20] Bagi HOS Cokroaminota dan SI/PSII-nya sendiri, pertikaian itu mempertegas garis haluan (strategi) Pergerakan Islam di Indonesia.
Pada tahun 1926 beliau ke Makkah, menghadiri undangan Raja Ibnu Saud untuk Muktamar al-Alam al-Islami[21] (Konferensi Islam Sedunia) dan sempat menunaikan ibadah Haji. Sekembalinya dari sana beliau menyusun konsep ad-Daulah al-Islamiyah (DI) yang akan dijadikan acuan (blue-print) Indonesia-merdeka. Sejak tahun itu dan seterusnya, dapat dipastikan istilah DI yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Dar-oel-Islam (DI), yaitu cita-cita membina Negara Islam yang mempunyai undang-undang Islam telah disosialisasikan–sebagai materi–bersamaan dengan pengertian nasionalisme dan sosialisme menurut ajaran Islam di dalam kursus-kursus pengkaderan anggota Sarikat Islam (PSII).
Dari Agustus 1921 hingga April 1922, beliau dipenjarakan karena dituduh telah bersumpah palsu dalam perkara SI, atau Sarekat Islam Afdeling B, yang didirikan Haji Ismail dan bocor diketahui penjajah dengan meletusnya perlawanan rakyat di Cimareme, Garut. Peristiwa ini dipicu keganasan penjajah yang membunuh kejam Haji Hasan sekeluarga dan kerabatnya, karena masalah penyetoran padi kepada penjajah (Sudaryo Cokrosiworo).[22] Oleh karena beliau terbukti tidak bersalah, maka oleh Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) beliau dibebaskan dari tuduhan.[23]
Mewarisi keyakinan
HOS Cokroaminoto wafat pada hari Senen Kliwon, 10 Ramadhan Wawu 1865 atau 17 Desember 1934, dalam usia 53 tahun dan di kebumikan di Kuncen, Yogyakarta. Dari kepemimpinan Islamnya serta buku-buku dan artikel-aktikel karangannya beliau telah mewariskan keyakinan kepada umat Islam bangsa Indonesia umumnya dan keluarga PSII khususnya, yaitu keyakinan sebagaimana yang diungkapkan W. Wondoamiseno:
Ketua Cokroaminoto mempunyai keyakinan yang teguh, bahwa Negara dan Bangsa tak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman tenteram, selama keadilan sosial sepanjang ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum dalam Negara kita, sekalipun sudah merdeka. Keyakinan ini pula kita warisi menjadi keyakinan kita segenap keluarga PSII. ( dari W. Wondoamiseno, hal 22-23)
Kalau kita perluas ungkapan (keyakinan) itu, maka akan menjadi: Bangsa Indonesia tidak akan aman tenteram, tidak akan mencapai kehidupan adil makmur selama hukum Islam dan pemerintahan politik Islam tidak berlaku di Indonesia. Dan tentunya bahwa hukum dan pemerintahan politik Islam hanya dapat berlaku di Negara Islam.
Karya tulis monumental beliau adalah Tafsir Program Asas PSII dan Reglement (aturan) Umum bagi Umat Islam. Tafsir asas yang dimaksud bukan hanya menjadi pedoman partainya sendiri, tetapi untuk pegangan bagi Perjuangan Umat Islam Indonesia pada umumnya.[24] Tugas yang diterima beliau adalah hasil keputusan Kongres PSII 1931 di Surabaya. Rahmat kurnia Allah dilimpahkan atas beliau dalam menyempurnakan tugasanya. Beliau telah mendapat bimbingan langsung (mimpi/ru’ya shadiqah) dari Nabi Muhammad SAW melalui mimpi.[25] Kita katakan karya-monumental disebabkan dalam tulisan tersebut beliau merumuskan semua ide ad-Daulah al-Islamiyah (DI)-nya secara jelas dan sistematis; dimana Negara Madinah Nabi Muhammad SAW dijadikan acuan utamanya.
Keterangan: Perbuatan dan perjalanan Rasulullah SAW yang dimaksudkan ini ialah: mendirikan Kerajaan Islam Merdeka di Madinah, yang kita sebagai Muslim wajib meniru contoh yang serupa ini untuk keperluan kita dan keperluan Islam. [26]
Kata “Staat” yang oleh Haji OS Cokroaminota diterjemahkan dengan “Kerajaan” diganti dengan kata “Negara” oleh keputusan Majlis Tertinggi (MT) PSII ke-27 tentang sikap politik Partai. Ini dapat dilihat dalam “buku-saku” Partai PSII.[27]
Akhirnya kita kutip kata-kata beliau dalam “hikmah”, peribahasa Belanda yang dikutipnya. Penjelasan panjangnya terdapat dalam buku saku “Tafsir” di halaman 78:
“In het verleden ligt het heden, in het nu wat worden zal” (yang sekarang (hadir) ada terkandung di dalam yang lalu (madhi); yang sekarang ada mengandung yang akan datang (mustaqbal).[28]
Apa yang dimaksudkan beliau barangkali dapat kita kaitkan dengan pengertian dari pemahaman wahyu Ilahi: “Innama amruhu iza arada syai’an ayyaqula lahu kun fayakun”.[29]Yaitu yang “fayakun” (yang sekarang) terkandung “arada” (yang lalu); yang sekarang (fayakun) ada mengandung yang akan datang (kun). Artinya, yang telah lalu (kemarin) dan yang akan datang dapat dipahami dengan cara melihat dan memperhatikan apa yang terjadi hari ini. Semuanya menjadi mungkin dengan adanya keterkaitan masa lalu, hari ini dan esok.

[1] Seteruskan akan ditulis dengan ejaan yang diperbaharui.
[2] Lihat H.O.S. Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya, Amelz, Bulan Bintang, Jilid 1, 1952, hal 50.
[3] Amelz, ibid, hal. 53.
[4] Sastra Jawa Islam tidak semua mengandung pelajaran mistik, sebagaimana yang dituduhkan orientalis Belanda. Misalnya Babad Pangeran Diponogoro; mengandung semangat jihad melawan kafir. Serat Sunan Bonang atau Jangka Joyoboyo tidak seluruhnya mistik, ia mengandung sejarah datangnya Islam di Tanah Jawa dan penyebarannya. Lebih lanjut baca buku Api Sejarah.
[5] Amelz, ibid.
[6] Amelz, jilid 1, ibid.
[7] Ibid.
[8] Salah seorangnya adalah Haji Samanhudi, Ketua SDI. yang memang sedang mencari orang-orang berpendidikan dan berpangalaman dan pastinya mempunyai ruh Islam (ruh Jihad) membela Islam dan umatnya. lihat Deliar Noer, Pergerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 118.
[9] Amelz, ibid, Jilid 1, hal, 93-94
[10] Bai’at, merupakan janji setia atau sumpah setia seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW kepada orang Yastrib yang baru masuk Islam di tahun-tahun awal Islam. Misalnya Bai’at Aqabah.
[11] Amelz, ibid. 93.
[12] Anggaota SI/PSII akan menyebutnya Saudara Ketua. ibid, hal. 126 dan menulis namanya dengan Ketua HOS Cokroaminoto. Lihat misalnya tulisan W. Wondoamiseno dalam Amelz, h. 21-24.
[13] Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta, 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus tentang Negara Republik Indonesia, (1945-1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 6-8.
[14] Sekarang sering digunakan dengan istilah Islam kaffah.
[15] Al-Hayyu al-Qayyum (Allah).
[16] Dalam sejarah dicatat sebagai November-verklaring; janji atau pernyataan Kerajaan Protestan Belanda membentuk Parlemen sendiri untuk anak negeri jajahannya. Selanjutnya lihat Amelz, hal. 111.
[17] Anggota partai dalam bahasa Belanda yang dipakai diawal SI.
[18] Api Sejarah. Hal. 382.
[19] Tulisan W. Wondoamiseno, sebagai pelaku sejarah. Dalam buku Amelz, hal 123-129.
[20] Dr. Badri Yatim, MA. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada 2000, hal.
[21] Kongres ini gagal atas campur tangan Kerajaan Anglikan Inggeris.
[22] Amelz, hal. 42
[23] Ibid, hal 118.
[24] Ibid, jilid 2, hal. 7.
[25] Berdasarkan saksi peristiwa: Wondoamiseno, Anwar dan AM Sangaji; Lihat Amelz, HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya, jilid 2. hal. 3-8
[26] Ibid, hal. 25.
[27] Buku saku Partai PSII, Tafsir Program-Asas dan Program-Tandhim Partai Sjarikat Islam Indonesia, oleh almarhum Yang Utama H.O.S. Tjokroaminoto, Cet. Kesembilan, al-Huda, Maret 2010, hal. 1.
[28] Amelz , jilid 2, hal. 54
[29] Lihat Q.S. Yasin, 36:82. fi’il arada (madhi), yakunu (mudhari’) dan kun (amar).

*Sumber: Manhaj Bernegara dalam Haji (Kajian Sirah Nabawi di Indonesia), Media Madania, Jakarta, November 2011.

link: Media Madania

1 komentar: