Home » » SYAIKH AHMAD SURKATI

SYAIKH AHMAD SURKATI

SYAIKH AHMAD SURKATI adalah tokoh utama berdirinya Jam’iyat al-Islah wa Al-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berubah menjadi Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah), atau disingkat dengan nama Al-Irsyad. Banyak ahli sejarah mengakui perannya yang besar dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, namun sayang namanya tak banyak disebutdalam wacana sejarah pergulatan pemikiran Islam di Indonesia.

Sejarawan Deliar Noer menyatakan Ahmad Surkati “memainkan peran penting” sebagai mufti.[1] Sedang sejarawan Belanda G.F. Pijper menyebut dia “seorang pembaharu Islam di Indonesia.” Pijper juga menyebut Al-Irsyad sebagai gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformasi di Mesir, sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha lewat Jam’iyat al-Islah wal Irsyad (Perhimpunan bagi Reformasi dan Pimpinan).[2]

Sejarawan Abubakar Aceh menyebut Syeikh Ahmad Surkati sebagai pelopor gerakan salaf di Jawa.[3] Howard M. Federspiel menyebut Syekh Ahmad Surkati sebagai “penasehat awal pemikiran Islam fundamental di Indonesia”. Dan pendiri Persatuan Islam (Persis), Haji Zamzam dan Muhammad Yunus, oleh Federspiel disebut sebagi sahabat karib Syekh Ahmad Surkati.

Pengakuan terhadap ketokohan Syekh Ahmad Surkati juga datang dari seorang tokoh Persis, A. Hassan. Menurut A. Hassan juga menyebut, pendiri Muhammadiyah H. Ahmad Dahlan dan pendiri Persis Haji Zamzam juga murid-murid Ahmad Surkati.

Menurut A. Hassan:

“Mereka itu tidak menerima pelajaran dengan teratur, namun Al-Ustadz Ahmad Surkati inilah yang membuka pikirannya sehingga berani membuang prinsip-prinsip yang lama, dan menjadi pemimpin-pemimpin organisasi yang bergerak berdasarkan Al-Kitab dan Al-Sunnah.”

Pujian terhadap Ahmad Surkati juga datang dari ayah Hamka, H. Abdul Karim Amrullah. Kisahnya, pada tahun 1944 Hamka bertanya kepada ayahnya tentang seseorang yang dipandang sebagai ulama besar di Jawa. Ayahnya menjawab, “Hanya Syekh Ahmad Surkati.” Hamka bertanya kembali, “Tentang apanya?”

“Dialah yang teguh pendirian. Walaupun kedua belah matanya telah buta, masih tetap mempertahankan agama dan menyatakannya dengan terus terang, terutama terhadap pemerintah Jepang. Ilmunya amat dalam, fahamnya amat luas dan hati sangat tawadu.”

Dalam bukunya yang berjudul Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Hamka juga menulis hubungan khusus antara ayahnya dengan Syekh Ahmad Surkati. “Setelah pindah ke tanah Jawa, sangatlah rapat hubungannya dengan almarhum Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad yang masyhur itu. Pertemuan beliau yang pertama dengan Syekh itu di Pekalongan pada 1925. Ketika itu Syekh masih sehat dan matanya belum rusak…”

Syekh Ahmad Surkati lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula negara Sudan, 1292 H atau 1875 M. Ayahnya bernama Muhammad dan diyakini masih punya hubungan keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, Sahabat Rasulullah SAW dari golongan Anshar.

Syekh Ahmad Surkati lahir dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam. Ayahnya, Muhammad Surkati, adalah lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. Syekh Ahamd dikenal cerdas sedari kecil. Dalam usia muda, ia sudah hafal Al-Qur’an.

Setamat pendidikan dasar di Mesjid Al-Qaulid, Ahmad Surkati dikirim oleh ayahnya belajar di Ma’had Sharqi Nawi, sebuah pesantren besar di Sudan waktu itu. Ia kembali lulus memuaskan, dan ayahnya ingin ia bisa melanjutkan ke Universitas Al-Azhar di Mesir. Namun pemerintahan Al-Mahdi yang berkuasa di Sudan waktu itu, melarang warganya meninggalkan Sudan. Putus keinginan Ahmad muda untuk mengikuti jejak ayahnya, menjadi sarjana Al-Azhar.

Namun suatu waktu, Ahmad Surkati bisa juga lolos dari Sudan dan berangkat ke Madinah dan Mekkah, untuk belajar agama. Tepatnya, setelah ayah beliau wafat pada 1896 M. Di Mekkah, ia sempat memperoleh gelar Al-Allaamah yang prestisius waktu itu, dari Majelis Ulama Mekkah, pada 1326 H. Syekh Ahmad lantas mendirikan sekolah sendiri di Mekkah, dan mengajar tetap di Masjidil Haram.

Meski berada di Mekkah, ia rutin berhubungan dengan ulama-ulama Al-Azhar lewat surat menyurat. Hingga suatu waktu datang utusan dari Jami’at Kheir (Indonesia) untuk mencari guru, ulama Al-Azhar langsung menunjuk ke Syekh Ahmad. Dan beliaupun pergi ke Indonesia bersam dua kawan karibnya, Syekh Muhammad Abdulhamid al-Sudani dan Syekh Muhammad Thayyib al-Maghribi.

Di negeri barunya ini, Syekh Ahmad menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syekh Ahmad Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami’at Kheir di Jakarta dan Bogor.

Berkat kepemimpinan dan bimbingannya, dalam waktu satu tahun sekolah-sekolah tersebut maju pesat. Namun Syekh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Kheir, karena perbedaan faham yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jami’at Kheir, yang umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin).

Sekalipun Jami’at Kheir tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jami’at Kheir dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad Surkati tentang kafaah (persamaan derajat).

Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan mundur dari Jami’at Kheir, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan dihari itu juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya dari golongan non-Alawi mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya: Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad Al-Islamiyyah).

Karya Syeikh Ahmad Syurkati

Selain mengajar di sekolah formal, di Indonesia Syekh Ahmad Surkati juga rajin membuat karya tulis . Di antaranya adalah:

1. Surat al-Jawab (1915), Risalah ini merupakan jawaban Ahmad Surkati terhadap permintaan pemimpin surat kabar Suluh India, H.O.S. Tjokroaminoto, sehubungan dengan makin luasnya pembicaraan tentang kafa’ah.
2. Risalah Tawjih al-Qur’an ila Adab al-Qur’an (1917), Karyanya ini lebih menajamkan isi yang terkandung dalam Surat al-Jawab. Intinya antara lain: kedekatan seseorang pada Muhammad Saw sebagai Rasulullah bukan didasarkan atas keturunan, namun atas dasar ketekunan dan kesungguhan dalam mengikuti jejak dan dakwahnya.
3. Al-Dhakhirah al-Islamiyah (1923), Majalah bulanan yang dikelola Syekh Ahmad Surkati bersama saudaranya, Muhammad Nur al-Anshari. Melalui majalah ini Syekh Ahmad Surkati membongkar praktik-praktik beragama yang keliru, menulis tentang Islam yang cocok untuk segala bangsa dan di segala waktu, dan persatuan ummat.
4. Al-Masa’il al-Thalats (1925), berisi pandangan Syekh Ahmad tentang ijtihad dan taqlid, sunnah dan bid’ah serta tentang ziarah kubur dan tawassul.
5. Al-Wasiyyat al-Amiriyyah (1918)
6. Zedeleer Uit Den Qor’an (1932)
7. Al-Khawatir al-Hisan (1941)

Beberapa buku di atas sudah diterjemahkan ke Bahasa Melayu (Indonesia).

G.F. Pijper menulis: “Sebagai seorang Muslim yang baik, dia menjauhkan diri dari para pejabat pemerintah. Tentu saja dia bukanlah tipe seorang sahabat pemerintah Kolonial….” Pijper adalah penasehat Pemerintah Hindia Belanda menjelang dan sampai masuknya Jepang ke Indonesia. Menurut pengakuannya, ia kenal baik dengan Syekh Ahmad, bahkan ia sempat tiga tahun belajar Ilmu Tafsir dan Ilmu Fiqih pada Syekh Ahmad.

Banyak pemuka Islam yang selain merupakan sahabat erat Syekh Ahmad, juga sempat menimba ilmu darinya. Antara lain A. Hassan, salah satu tokoh Persatuan Islam (Persis). Juga KH. Mas Mansyur dan H. Fachruddin (pemuka Muhammadiyah), KH. Abdul Halim, pemuka Persyarikatan ‘Ulama yang kemudian menjadi PUI (Persatuan Umat Islam).

A. Hassan-lah yang memperkenalkan Syekh Ahmad Surkati pada Bung Karno, ketika Bung Karno berada dalam pembuangan di Ende, lewat brosur-brosur dan buku-buku yang ditulis Syekh Ahmad. Presiden pertama RI ini ketika bebas dari Ende, sering bertandang ke rumah Syekh Ahmad.

Syekh Ahmad juga menjadi “guru spritual” Jong Islamieten Bond (JIB), dimana para aktifisnya seperti Muhammad Natsir (mantan perdana Menteri), Kasman Sigodimedjo dkk. Sering belajar pada beliau.

Ahmad Surkati tutup usia pada hari Kamis, 6 September 1943, jam 10.00 pagi, di kediaman beliau Jalan Gang Solan (sekarang Jl. KH. Hasyim Asy’ari no. 25) Jakarta, tepat 29 tahun setelah beliau mendirikan Al-Irsyad. Jenazahnya diantar ke Pekuburan Karet dengan cara sederhana dan tidak ada tanda apa-apa di atas tanah kuburannya. Ini sesuai amanat beliau sendiri sebelum meninggal.

Di antara orang-orang dan para muridnya yang melayat, sebagian besar telah menjadi tokoh masyarakat dan pejuang bangsa. Di antaranya Bung Karno, yang pernah menyatakan: “Almarhum telah ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia.”

Referensi1. ^Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900 – 1942, Oxford
2. ^ University Press, Singapore, 1973, hal. 59 dan 63
3. ^ G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950, terj. Oleh Prof. Dr. Tudjimah dan Drs. Yessy Dagusdin, Universitas Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 120 dan 114.
• Abubakar Aceh, Salaf, Permata, Jakarta, 1970, hal. 27
• Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Cornell University, Ithaca, 1970,hal.12
• Umar Sulaiman Naji, Tarjamat Al-Hayat al-Ustadz Ahmad al-Surkati al-Ansari al-Sudani, Manuskrip, hal.29.

KLIK: RUANG JUANG

0 komentar:

Posting Komentar