Ia
dijuluki "Singa Podium". Sebuah julukan yang sangat beralasan demikian
karena kefasihan kemampuan berorasi mampu mengobarkan semangat setiap
orang yang mendengarnya. Pemuda yang bertubuh pendek, gemuk dengan bahu
yang agak bungkuk ini lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 1 Juli 1916. Di
usianya yang masih remaja, Isa Anshari telah terjun ke dunia politik.
Di kota kelahirannya itu ia sudah menjadi kader PSII dan aktif sebagai
mubaligh Muhammadiyah. Seperti halnya para pemuda lainnya, Isa Anshari
merantau ke pulau Jawa dan menetap di kota Bandung. Di kota Kembang
inilah ia bertemu dengan Soekarno.
Selain dikenal sebagai pemuda yang taat beragama, aktivitas politiknya
makin menggebu-gebu. Di usianya yang muda, ia telah memimpin beberapa
organisasi, yaitu Ketua Persatuan Muslimin Indonesia Bandung, Pemimpin
Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia Bandung, Sekretaris Partai Islam
Indonesia Bandung serta ikut mendirikan Muhammadiyah cabang Bandung.
Dalam pergerakan itu, ia bergabung dengan kelompok pemuda yang
disebut-sebut radikal, seperti M. Natsir. Aktivitasnya di Persis yang
sempat dipimpinnya beberapa periode seakan-akan semakin tersemai subur.
Ia juga menjadi anggota Indonesia Berparlemen, Sekretaris Umum Komite
Pembela Islam dan pemimpin redaksi majalah Daulah Islamyah.
Satu
hal yang mencolok dari tokoh yang pernah menjadi pembantu tetap Pelita
Andalas dan Perbincangan ini adalah sikapnya yang tegas. Ia sering
dinilai tidak bersikap kompromistis. Tidak mengherankan kalau Herbert
Feith menyebutnya dengan figur politisi fundamentalis yang memiliki
keyakinan teguh.
Oleh karena itu, pada zaman Jepang, ia telah mengomandoi gerakan Anti
Fasis (Geraf), Biro Penerangan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Priangan,
memimpin Angkatan Muda Indonesia dan mengorganisasi Majelis Islam yang
membentuk kader-kader Islam.
KH. Isa Anshari adalah salah satu pilar yang membangun Persis. Pada
tahun 1935-1960 ia sempat menjadi ketua umumnya. Selama memimpin Persis,
perannya sangat menonjol. Ia selalu memberikan arahan dan warna bagi
organisasi itu. Pidatonya selalu bergelora membuat pandangan yang
mendengarkan selalu tertuju kepadanya. Bukan sekali dua kali ia ditegur
oleh aparat keamanan karena “garangnya” pidato yang ia sampaikan.
Dalam hal tulis menulis analisisnya cukup tajam. Di antaranya hasil
karyanya adalah Bahaya Merah Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948),
Islam Menentang Komunisme (1956), Tuntunan Puasa (1940), Umat Islam
Menghadapi Pemilihan Umum (1953), dan lain-lain.
Dalam
kancah politik, Masyumi menjadi ladangnya. Bagi para ulama kritis ,
berpolitik merupakan bagian tuntutan agama. Mereka selalu meneriakkan
kebenaran walaupun pahit dirasakan. Bagi mereka, berpolitik adalah alat
untuk mencapai cita-cita umat Islam. Di bawah bendera Masyumi, ia
semakin memperkuat posisinya sebagai politisi. Tahun 1949, ia memimpin
sebuah kongres Gerakan Muslimin Indonesia.
Keterlibatan KH. Isa Anshari dalam pentas politik membuat dia harus
menghadapi risiko yang tidak kecil. Ketika terjadi razia terhadap
orang-orang yang diisukan ingin membunuh presiden dan wakil presiden
pada bulan Agustus 1951 oleh PM Sukiman Wirdjosandjoyo, KH. Isa Anshari
ditangkap. Namun beberapa saat kemudian ia dilepaskan dan dinyatakan
tidak bersalah.
Sepak terjangnya di bidang politik sempat menyedot perhatian massa. Di
mana ia memberikan pidato, pasti dipenuhi massa yang ingin mendengarkan
suaranya. Biasanya massa yang hadir bukan hanya partisipan Masyumi, tapi
juga masyarakat umum.
Pada masa Soekarno, Masyumi menjadi salah satu lawan politik pemerintah
yang terus digencet. Saat tragedi Permesta meledak (1958), banyak
tokoh-tokoh yang diciduk. Termasuk KH. Isa Anshariyang saat itu berada
di Madiun bersama Prawotomangkusasmito, M. Roem, M. Yunan Nasution dan
EZ. Muttaqien serta beberapa tokoh lainnya.
Pada masa demokrasi parlementer, muncul beberapa konflik antar kelompok. Ada yang menginginkan Indonesia berideologi sekuler-nasionalis dengan dasar negara Pancasila. Di sisi lain ada yang menginginkan terbentuknya negara Islam, atau paling tidak negara yang berideologikan hukum-hukum Islam. Di tubuh Masyumi, cita-cita untuk membangun Negara Islam sangat subur. KH. Isa Anshari tetap menjadi juru bicara yang ulet bagi Masyumi. Namun sayang, keinginan mereka untuk mewujudkan Negara Islam gagal. Ketidakberhasilan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya munculnya polarisasi mengenai bentuk dan konsep negara Islam itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa aturan dan ajaran Islam harus terwujud lebih dahulu yang nantinya dengan sendiri akan terbentuk negara Islam. KH. Isa Anshari termasuk dalam kelompok ini. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa negara Islam harus di bentuk dahulu, baru kemudian diberi corak dan warna Islam. Di Luar itu, muncul kelompok yang lebih keras lagi. Maka meledaklah peristiwa DII/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh serta gerakan Ibnu Hajar di Kalimantan. Gerakan-gerakan itu dapat dipadamkan oleh Soekarno. Pada era berikutnya, KH. Isa Anshari terus berkecimpung dalam membangun umat. Di usianya yang kian lanjut, ia lebih banyak mengkader generasi muda. Ia tidak lagi menjadi pemimpin di organisasi yang membesarkannya, tapi cukup sebagai penasehat. Begitulah contoh seorang pemimpin yang mengetahui keadaannya. Kendati demikian ia tetap saja mendapat halangan. Ia sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh Soekarno. Dari balik terali besi ia masih sempat mengirimkan tulisan-tulisan ke para sahabatnya. KH. Isa Anshari tidak mengenal lelah. Menjelang akhir akhir hayatnya ia tetap bekerja untuk umatnya. Pada 11 Desember 1969 atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri 1369 H ia meninggal dunia, di RS Muhammadiyah Bandung. Sehari sebelumnya ia menyatakan bersedia memberikan khutbah Idul Fitri, namun takdir berkehendak lain. Naskah khutbah itu sempat diketiknya dua halaman, dan tak sempat terbacakan.
(c) Sumber : wikipedia.com - Majalah Panjimas Juli 1989
copas dari: ILHAM Cluster
bismillah ... afwan sebelumnya,,, apakah yang memiliki blog ini masih ada atau masih aktif ?? saya sangat membutuhkan informasi. syukron jazakallah atas bantuannya
BalasHapus