Home » » Haji Samanhudi (1868-1956)

Haji Samanhudi (1868-1956)

Pelopor kebangkitan Iman
Ayah Samanhudi bernama Haji Muhammad Zen, seorang pengusaha batik di Lawiyan, Surakarta. Beliau dilahirkan di Karanganyar, Wilayah Kesultanan (Islam) Surakarta (Solo) 1868 dan meninggal dunia di Klaten, 28 Desember 1956.
Pendidikan pertamanya adalah mengaji al-Quran, kemudian belajar agama dari Kiyai Jejorno.[1] Ia masuk Sekolah Rakyat (Volks School) zaman penjajahan di Surakarta (Solo), kemudian melanjutkan ke HIS (Hollansch Indische School), sekolah rendah dengan bahasa pengantar Belanda di Madiun, tetapi tidak sampai tamat.
Usaha batik yang digelutinya bermula dari magang dalam perusahaan keluarga sampai berusia 19 tahun, untuk seterusnya dapat berdiri sendiri. Di usia itu dikabarkan ia menikah. Di tahun 1888 (usia 20 tahun) ia membuka perusahaan batik dan berkembang dengan pesat. Di tahun 1900-an, cabang perusahaan batiknya sudah tersebar di berbagai kota, seperti Tulungagung, Bandung, Purwokerto, Surabaya, Banyuwangi dan Parakan. Di Solo saja pabrik batiknya mempekerjakan kurang lebih 200 orang. Ketika di Solo ia tergolong sebagai orang kaya.[2]
Nama semasa kecilnya adalah Supandi Wiryowikoro, berubah menjadi Haji Samanhudi[3] setelah ia menunaikan ibadah Haji ke Makkah pada tahun 1904. Dapat dipastikan, ibadah Haji bukan hanya merubah namanya, tetapi juga merubah jalan hidupnya; dari usahawan batik kaya menjadi aktifis Islam, pioner kebangkitan Pergerakan Islam di Indonesia. Berubah dari membangun pabrik-pabrik batik kepada membangun jiwa Muslimin (inlander) yang pingsan akibat penjajah kafir, Kerajaan Protestan Belanda. Keterpurukan jiwa dan ekonomi; jiwa mereka rusak, ekonomi mereka hancur akibat Cultuurstelsel[4] (Sistem Tanam Paksa 1830-1919) yang hampir-hampir saja menyeret mereka pada kekufuran, seperti ditegaskan dalam hadits: “kadal faqru yakunu kufran” (kefakiran itu dekat untuk menyebabkan kekufuran).
Janganlah kamu bersifat lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati. Padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang beriman. (Q.S. Ali Imran, 3:139)
Iman, kepercayaan kepada Allah al-Ahad, Muhammad hamba, Rasul-Nya serta mempercayai ajaran Islam menjadi penawar (obat) utama yang dapat menghilangkan sifat lemah (weakness) dan rendah diri (inferiority complex).
Ibadah Haji dan bermukim[5] di Makkah (1904-1905) selama musim Haji memberi kesempatan yang berharga baginya untuk menimba Ilmu ke-Islam-an dalam; Fiqh dan Politik ketika itu. Saat itu tengah berhembus angin pembaharuan (reformasi) Pergerakan Tajdid untuk membebaskan diri dari Imperialis-Barat sedang menjadi topik utama dalam Dunia-Islam. Pembaharuan yang dibawa Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridha (1865-1935) berhembus dari Barat Empayer Islam Turki Usmani dan ide Pan-Islamisme (solidaritas antar-umat Islam) Jamaluddin al-Afghani (w.1897) datang dari Timur, serta Pergerakan Salafiyah dari arah Selatan. Kemudian semua informasi Dunia-Islam itu bermuara di Makkah pada saat musim Haji.
Karena itu, tidak heran sekembalinya dari ibadah Haji, beliau mendirikan organisasi Islam dalam bidang yang dikuasainya, yaitu perniagaan dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905. Suryanegara menyebut tindakannya itu sebagai rapid response (jawaban yang cepat tepat) kepada imperialisme modern[6] dan sesuai dengan tantangan zamannya. Akan tetapi SDI bukan sekedar organisasi dagang sebagaimana yang kita kenal sekarang ini, semacam Comercial Chamber, Kamar Dagang atau Kongsi Perniagaan, yang bertujuan untuk keuntungan (profit) materi anggotanya. Tetapi SDI bertujuan mengangkat martabat Islam dan penganutnya (Muslim) yang sengsara akibat penjajahan kafir Kerajaan Protestan Belanda. Selain itu SDI dijadikan wadah dalam menghadapi diskriminasi perniagaan asing (Cina), yang telah mendapat hak istimewa dari kolonial penjajah.
Organisasi SDI mudah memperoleh tempat di hati masyarakat peniaga Muslim secara luas di pulau Jawa (Indonesia) ketika itu. Semuanya disebabkan dan ditunjang oleh adanya beberapa faktor berikut:
  1. Menjadikan Islam dan ajarannya sebagai strategi perjuangan membangkitkan semangat jiwa Islam (Iman) yang telah lama tertidur akibat penjajahan. “al-Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaihi”, (ilmu, ajaran Islam (Iman) itu tinggi tidak ada yang mengatasinya).
  2. Ide kesadaran berorganisasi lahir dari pendirinya sendiri, seorang haji, usahawan Muslim yang sukses (berjaya).
  3. Pendanaan awal yang berasal dari kantong pribadi ketua, pengusaha berhasil di zamannya.
  4. Kain batik dan sarung merupakan komoditi masyarakat Muslim Nusantara di kota-kota sampai ke pedesaan dan di komunitas institusi pendidikan (pesantren).
  5. Menggunakan jaringan perniagaan beliau, yang memang telah mapan di berbagai kota seluruh Pulau Jawa: Solo, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Batavia (Jakarta).
  6. Memiliki buruh pabrik (karyawan) batik dan kolega (rekan) dagang bertaraf internasional dari bangsa Arab, Muslim India, Cina dan Muslim pribumi Nusantara.
  7. Mempunyai alat media komunikasi yang efektif sejak sebelum berdirinya SDI, yaitu buletin Taman Pewarta (1902-1915).
Haji Samanhudi memimpin (sebagai ketua) SDI dari tahun 1905 hingga 1912. Beliau berhasil menyatukan solidaritas Muslim (Ukhuwah Islamiyah), khususnya dalam perdagangan, yang di kemudian hari menjadi kekuatan untuk menuntut kemerdekaan dari penjajah kolonial Belanda.
Tahun 1912, Haji Samanhudi dengan SDI-nya difitnah oleh kolonial pemerintahan Belanda sebagai penggerak Huru-Hara Anti Cina[7] (Anti China Riot) di Kesultanan Surakarta (Solo) yang meluas ke kota-kota lain. Padahal semua itu adalah provokasi pemerintah kolonial, dengan target, Revolusi Cina pimpinan Sun Yat Sen, 1911 — yang mendapat kemenangan berkat dukungan Muslim Cina — tidak menular ke Indonesia.[8] Sebenarnya huru-hara itu dilakukan oleh Lasjkar Mangoenegaran yang ditugaskan pemerintah untuk merusak toko-toko Cina. Akibatnya Oleh Residen Surakarta, Wijck, SDI dijatuhi hukuman schorsing (suspension, digantung) pada 12 Agustus 1912. Beberapa hari kemudian, pada 26 Agustus schorsing tersebut terpaksa dicabut kembali, karena menimbulkan reaksi yang di luar perhitungan pemerintah kolonial Belanda, yaitu para petani anggota Sarekat Islam dari Kesultanan Surakarta melakukan mogok, menolak kerja di onderneming[9] Krapyak, Surakarta.[10]
Berkaitan dengan tahun lahirnya Sarekat Islam ada terdapat dua versi, yang kemudiannya menjadi polemik pada ahli sejarah. Sebagian menetapkan organisasi berdiri berdasarkan tahun pendaftaran organisasi. Dan yang lain cenderung menetapkan awal organisasi berdasarkan pengakuan dari pendiri organisasi.
Penuturan Haji Samanhudi kepada Haji Tamar Djaja pada 25 Juni 1955, bahwa Sarekat Dagang Islam didirikan pada 16 Oktober 1905. Kemudian diikuti dengan didirikan Sarekat Islam (SI) pada 1906. Penuturan ini dibenarkan oleh Muhammad Roem sebagai pelaku sejarah Sarekat Islam (SI) dan dituliskan dalam Bunga Rampai dari Sejarah. Dijelaskan oleh Haji Samanhudi bahwa Susunan Pengurus Sarekat Islam (SI) adalah: Ketua Haji Samanhudi. Sekretaris I dan II Surati dan Haji Hisyam Zaini. Bendahara: Kartosumarto. Komisaris: Haji Syarif, Haji Syukur, Esmuntani, Mangunprawiro, Abdul Fatah, Cokrosumarto, Sutosumarto.[11]
Data di atas diyakini benar (otentik) oleh pakar sejarah, Suryanegara, menunjukkan bahwa Haji Samanhudi sebagai ketua dalam dua organisasi Islam pertama di Indonesia. Berkaitan dengan data tersebut, akan kita bahas lebih lanjut, dalam sub-judul Marhalah berikutnya.
Beliau menjadi ketua dan memimpin SDI hingga tahun 1912, dan sebagai ketua kehormatan ketika SI diketuai oleh Omar Said Cokroaminoto. Selanjutnya kita tidak mempunyai catatan data jejak perjuangannya yang menonjol dalam organisasi ataupun pemerintahan di Indonesia.[12] Baru pada tahun 1953 pemerintah Republik Indonesia memberikan kepadanya uang pensiun kehormatan sejumlah Rp. 750 per bulan.[13]Kemudian dengan Surat Keputusan Presiden RI No, 590 Tahun 1961, tanggal 9 November 1961, beliau dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Gerakan Nasional.

[1] Ensiklopedi Islam, hal. 244.
[2] Amelz, HOS Tjokroaminoto Hidoep dan Perjuangannya, Jilid 1, Bulan Bintang, Jakarta, 1952, hal.89.
[3] Samanhudi dalam bahasa Arab terdiri dari tiga kalimat; saman (harga) huda (petunjuk) dhamir ya nisbah (kepunyaan), seluruhnya dapat bermakna: Petunjuk (ku) yang sangat berharga.
[4] Api Sejarah, Jilid 1, hal. 214.
[5] Mukim dalam arti menetap sementara di Makkah. Di zaman itu orang memerlukan masa yang panjang dalam Ibadah haji, 4 hingga 6 bulan. Bahkan ada juga yang sampai setahun, disebabkan sarana/alat transportasi yang masih minim.
[6] Api Sejarah, Jilid 1, hal. 350
[7] Ini tidak lepas dari adanya hubungan kerjasama niaga secara rahasia antara SDI dengan Kongsi Dagang Muslim Cina, “Khong Sing” lihat Api Sejarah, hal 348.
[8] Api Sejarah, jilid 1, hal 348-349.
[9] Perusahaan Perkebunan semacam Perusahan Terbatas (PT) hari ini.
[10] Api Sejarah, jilid 1, hal. 361.
[11] Lihat Api Sejarah, Jilid 1, 373.
[12] Ini suatu teladan pribadi Muslim yang muttaqin; menjadikan karir (amal) politik hanya sebagai tugas, yang selesai apabila telah diserahkan kepada lain orang.
[13] Enseklopedi Islam, hal, 245


*Sumber: Manhaj Bernegara dalam Haji (Kajian Sirah Nabawi di Indonesia), Media Madania, Jakarta, November 2011.

link: Media Madania

0 komentar:

Posting Komentar