Home » » SEKARMADJI MARIDJAN KARTOSOEWIRJO

SEKARMADJI MARIDJAN KARTOSOEWIRJO

Pelopor Jihad. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa Kartosuwiryo lahir di Sulang, Rembang, 7 Februari 1905 dan wafat (syahid) September 1962.[1] Tetapi berdasarkan keterangan tertulis yang diberikan beliau kepada pejabat Militer Kodam VI Siliwangi dalam rangka pemeriksaan pendahuluan yang disalin oleh Pinardi,[2] beliau lahir di Cepu, Jawa-Timur, pada hari Selasa Kliwon 7 Februari 1905. Nama pribadinya Sekarmadji, nama ayahnya Maridjan,[3] dan kakeknya bernama Kartosoewirjo. Nama beliau biasanya ditulis dengan lengkap: Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo.

Pendidikan
Pada usia 6 tahun masuk sekolah Bumiputera Kelas Dua (Tweedi Inlandsche School). Setelah tamat, melanjutkan ke sekolah Dasar Kelas Satu, H.I.S (Holland Inlandse School) dengan pengantar bahasa Belanda di Rembang. Setelah ayahnya pindah ke Bojonegora, ia berhasil masuk Sekolah Dasar Eropa E.L.S (Europese Lagere School), yaitu lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa. Bagi anak pribumi, sekolah itu merupakan sekolah elite. Menurut Ensiklopedi, dia dapat diterima di sekolah itu karena dia dianggap sebagai anak berbakat. Setelah tamat dari ELS, ia melanjutkan studi ke Surabaya dan masuk Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Dokter Hindia-Belanda. Sekolah ini terdiri dari dua tingkat: tingkat persiapan tiga tahun dan tingkat lanjutan enam tahun. Dia masuk tingkat persiapan pada tahun 1923 dalam usia 18 tahun. Setelah tamat dari tingkat persiapan ini, dia diterima pada tingkat lanjutan.

Sejak menjadi murid sekolah NIAS di Surabaya (1923-1927) beliau sudah aktif dalam organisasi. Misalnya dia terdaftar sebagai anggota Jong Java (organisasi pelajar Jawa). Bahkan terpilih menjadi ketua cabang Surabaya. Pada tahun 1925 timbul aliran baru dalam Jong Java, dimana para pelajar yang beragama Islam dan berhaluan Islam mendirikan Perhimpunan Pelajar yang bernama Jong Islamieten Bond (JIB). Apabila dicermati tahun timbulnya aliran Islam, JIB adalah berasal dari Himpunan Pelajar, Jong Java (1925). Hal ini sebagai dampak dari benturan ideologi pergerakan politik dalam Sarekat Islam (1923) antara orang-orang nasionalis komunis (Partai Komunis India)[4] dan orang-orang nasionalis Islam, Partai Sarekat Islam[5] (PSII). Beliau memilih untuk meninggalkan Jong Java dan masuk ke JIB.[6] Adapun alasan yang dipakai untuk mengeluarkannya dari NIAS, karena ia aktif dalam politik. Hal ini menunjukkan dia telah menjadi anggota Partai Sarekat Islam (PSII). Alasan lainnya adalah karena dia memiliki buku-buku yang berbau Komunis. Semuanya dapat dijadikan indikasi, dia mengikuti pertarungan dua ideologi politik dalam Partai Sarekat Islam sejak tahun 1923, yaitu tahun pertama dia menjadi pelajar NIAS dalam usia 18 tahun.[7] Dikatakan Pinardi, kegiatannya dalam berorganisasi membawa konsekwensi (akibat) besar bagi pendidikannya. Gerak-geriknya menjadi intaian P.I.D (Polisi Rahasia Belanda),[8] karena alasan aktif dalam organisasi politik itu, dia dikeluarkan dari sekolah tahun 1927.

Pendidikan Islam

Beliau memahami Islam dan politiknya di lembaga partai. Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) ketika itu merupakan organisasi awal yang telah mempunyai sistem pengkaderan lengkap; sejak perekrutan hingga ke tingkat atas (elite) anggotanya. Melalui kursus-kursus partai yang memiliki tenaga pengajar Islam dari Muhammadiyah dan Nahdatul ‘Oelama (NO). Sedangkan dalam bidang politik dan pengetahuan Barat, mereka mempunyi HOS Cokroaminoto. Menurut Pinardi, tokoh-tokoh ulama dari daerah Priangan juga banyak mempengaruhi perkembangan jiwa Kartosuwiryo, antara lain: Yunus Anis dari Bandung, Yusuf Taujiri dari Wanaraja, Mustafa Kamil dari Tasik, Abdul Kudus Ghazali Tusi,[9] Raden Oni dan lain-lain.[10]

Karir
Setelah dikeluarkan dari NIAS, beliau sempat mengajar di sekolah swasta di Bojonegoro, kemudian kembali lagi ke Surabaya dan tinggal di rumah Haji OS Cokroaminoto sebagai sekretaris pribadi politikus terkemuka ini sampai tahun 1929. Pinardi menulis:

Tahun 1927 SM Kartosuwiryo mulai aktif dalam kehidupan kepartaian. Mulai saat itu sampai dengan gulung tikarnya kekuasaan pemerintahan Belanda di Indonesia, hidup Kartosuwiryo boleh dikatakan dicurahkan sepenuhnya kepada Pergerakan kepartaian. Haluan ke-Islaman yang dianutnya sejak masa sekolah mendapat bimbingan yang baik dari seorang tokoh Islam pada masa itu, yaitu Almarhum HOS Cokroaminoto.[11]

Jurnalistik

Dengan bimbingan Haji OS Cokroaminoto, SM Kartosuwiryo menerjunkan diri dalam lapangan jurnalistik, dimulai dari sebagai korektor. Kemudian menjadi reporter dan meningkat menjadi redaktur dalam berita harian “Fajar Asia” yang dipimpin HOS Cokroaminoto. Karir beliau cepat meningkat. Dalam waktu setahun dia sudah diangkat menjadi Hoofd Redaktur atau Pimpinan Redaksi dari harian “Fajar Asia”.[12] Sesuai dengan pengakuannya di hadapan para pejabat Militer Kodam VI Siliwangi; beliau menerangkan bahwa selama hidupnya tidak pernah menjadi pegawai negeri.[13] Seluruh hidupnya dicurahkan untuk organisasi PSII, yaitu untuk Islam dan ideologi politiknya.

Perkawinan

September 1927, Haji O.S Cokroaminoto mengadakan kunjungan kepartaian ke cabang-cabang PSII Jawa-Barat (Cimahi), yang disertai SM Kartosuwiryo, sebagai sekretaris pribadinya.[14] Ini merupakan perjalanan (tour) partai pertama yang disertai SM Kartosuwiryo. Hal ini merupakan peluang baginya untuk mengenal daerah Jawa-Barat dan masyarakatnya. Selang dua tahun setelah itu, pada April tahun 1929 ia menikah dengan Dewi Siti Kalsum[15](1913-1998), putri Ajengan Ardiwisastra, Kiayi sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Sedangkan ibundanya, Raden Rubu Asiyah, adalah perempuan menak asal Keraton Sumedang.[16] Dari segi pendidikan, Ibu Wiwiek—pangilan akrab beliau—adalah lulusan sekolah HIS (Holland Inlandse Scool) dan Madrasah Quran Muhammadiyah Garut. Menurut Pinardi, SM Kartosuwiryo menjadi menantu Ajengan Ardiwisastra, tokoh PSII setempat yang disegani karena sepak terjangnya dalam Partai Sarekat Islam Indonesia yang menarik perhatian orang banyak. Selain itu, hampir semua keluarga Ajeng¬an adalah anggota PSII.[17]

Karena perjuangannya dalam Pergerakan Islam melalui parti (PSII) dan perkawinannya itu, SM Kartosuwiryo menetap di Jawa bagian Barat, yang meliputi Jawa-Barat sekarang dan termasuk Kebumen, Cilacap dan Brebes. Tidak diragukan, beliau sangat mengenal jiwa terdalam masyarakat setempat, yang dikemudian hari terpilih menjadi basis dalam menegakkan Negara Kurnia Allah (NKA), daerah hijrah atau Darul-Hijrah, basis Pergerakan Islam bernegara.

Aktivitas Pergerakan

Menurut Suryanegara yang bersumber dari beberapa buku,[18] SM Kartosuwiryo hadir pada 28 Oktober 1928 di Kongres Pemuda II yang diselenggarakan atas usaha Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia PPPI (1926) di Kramat Raya 106, Jakarta yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dinyatakannya dalam buku Api Sejarah, hal. 505; hadir juga Pengurus Besar Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), yang diwakili SM Kartosuwiryo. Tepatnya beliau hadir di Kongres Pemuda II itu sebagai peserta dari Jong Islamieten Bond. Sebab tahun 1928, dia belum duduk dalam kepengurusan Partai SI Indonesia, hanya sebagai sekretaris pribadi presiden parti. Di forum pemuda itu pula dia sempat membacakan (pidato) ad-Daulah al-Islamiayah — ide Negara Islam–yang sebelum selesai telah ‘diturunkan’ oleh pimpinan Kongres, Sugondo Joyopuspito.

Pada tahun 1929 ketika Partai Sarekat Islam India Timur (PSIHT) mengadakan kongresnya di Jakarta, SM Kartosuwiryo diangkat menjadi Komisaris Partai untuk daerah Jawa-Barat. Kongres ini merupakan kongres yang merubah nama PSIHT menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Di Kongres partai berikutnya (1931) SM Kartosuwiryo diangkat menjadi Sekretaris Umum, suatu jabatan partai yang cukup disegani, apalagi jika mengingat usia SM Kartosuwiryo pada masa itu baru 26 tahun. Kedudukannya sebagai Sekretaris Umum ini dipegangnya sampai tahun 1935. Presiden Partai ketika itu ialah Haji OS Cokroaminoto (w.1934).[19]

Pada Kongres PSII tahun 1936,[20] beliau terpilih menjadi Vice President atau Wakil Ketua Partai. Sedangkan yang terpilih menjadi Presiden Dewan Partai ialah Wondoamiseno. Dalam Kongres tahun 1936 itu juga isu kooperasi dan non-kooperasi dengan pemerintahan kolonial penjajah Kerajaan Protestan Belanda diangkat kembali. Dan pada akhirnya perpecahan dalam partai tidak dapat dielakkan. Haji Agus Salim, Mr. Muhammad Roem keluar dari PSII dan mendirikan partai baru yang diberi nama PSII “Penyedar”. Sedangkan golongan (kelompok) yang ‘masih setia’ dengan garis perjuangan non-kooperasi partai — sejak Haji OS Cokroaminoto –, mengariskan dengan tegas asas perjuangan partai dengan “Sikap-Hijrah” PSII. Kelompok ini dipelopori oleh Wondoamiseno, SM Kartosuwiryo, Aruji Kartawinata dan Abikusno. Kongres juga menugaskan agar SM Kartosuwiryo untuk menulis brosur tentang hijrah. Brosur Sikap-Hijrah PSII tersebut disiapkan oleh beliau pada tahun 1936/1937 dalam dua jilid[21] yang kemudian disahkan dan ditanda-tangani oleh Abi Kusno Cokrosuyoso dan Aruji Kartawinata.

Tahun 1939 dalam Kongres PSII di Palembang, sekali lagi asas-perjuangan partai (Sikap-Hijrah) dipermasalahkan. Pandangan atau sikap politik yang “non dan co”, melahirkan dua kubu yaitu kubu “PSII-Parlemen” (kooperatif) dengan tokoh-tokohnya: Wondoamiseno, Abikusno, Aruji Kartawinata, Harsono dan Anwar Cokroaminoto. Lalu ada kubu non kooperatif yaitu Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPK-PSII, 1940) atau dikenal juga dengan nama PSII-Sikap Hijrah dengan tokoh utamanya: Yusuf Taujiri, SM Kartosuwiryo, Yarmani dan Kamran. Nama-nama yang terakhir ini, berdasarkan keputusan Kongres PSII (1939) dipecat dari partai PSII. Namun demikian, KPK-PSII ini mempunyai cabang-cabang di seluruh Indonesia, bersamaan dengan cabang PSII (Parlemen). KPK-PSII (1940) didukung oleh 139 cabang, termasuk 8 cabang di Jawa-Tengah serta cabang PSII Cibadak, Parangrahan, Wanaraja, dan Malangbong.

Apabila kita cermati, terdapat persamaan dan perbedaan antara PSII Penyedar (1936), PSII (Parlemen, 1939) dan KPK-PSII (1940). Kesamaannya terletak dalam tuntutan partai, yaitu: (1) Kemerdekaan Indonesia (self government) (2) Pelaksanaan undang-undang syariah Islam dalam pemerintahan politiknya (3) Islam merupakan strategi perjuangan. Sedangkan perbedaannya dalam asas (strategi) perjuangan partai: kooperatif dan non-kooperatif (Sikap-Hijrah). Non-kooperatif merupakan strategi yang telah digariskan Partai sejak awal dan telah dilaksanakan oleh Presiden Partai SI Indonesia pertama, Haji OS Cokroaminoto. Kooperatif (kerja-sama) hanya dapat terwujud dengan jujur (benar) dalam kedudukan yang setaraf dan sama (sederajat, se-level), bukan dalam hubungan sebagai “tuan penjajah” (Belanda) dan “hamba” yang terjajah (bangsa Indonesia).

Setelah dipecat dari PSII — hasil Kongres Palembang (1939) –Kartosuwiryo tetap konsisten dengan program PSII hasil Kongres 1936. Bersama dengan anggota parti lainnya membangun lembaga pendidikan untuk kader-kader PSII, yaitu mendirikan Institut Suffah PSII.[22] Dari namanya kita tahu bahwa ini adalah pendidikan tingkat atas (Perguruan Tinggi), dan merupakan institusi Islam pertama yang dimiliki bangsa Indonesia. Institut ini berlokasi pinggir jalan raya antara Malangbong-Blubur Limbangan. Menurut Pinardi, keadaan fisik Perguruan dan keistimewaan institut ini adalah:
1. Institut untuk mendidik kader-kader PSII.
2. Mempunyai papan gapura besar (signboard) yang lebarnya kurang lebih 5 meter dengan tulisan “Institut Suffah” di bahu-jalan.
3. Berlokasi jauh dari keramaian dan terpencil.
4. Luasnya meliputi tanah sekitar 4 hektar.
5. Memiliki tenaga-tenaga pengajar yang ahli (pakar) dalam bidangnya masing-masing.
6. Menjadi besi berani yang menarik kalangan pemuda Islam dari segenap penjuru Indonesia seperti: Banten, Wonorejo, Cirebon, dan Toli-toli, Sulawesi Selatan.
7. Menggabungkan mata-pelajaran ‘dunia dan akhirat’; Ilmu Falak (astronomi), Tauhid dan Bahasa Belanda.
8.
Pada masa ‘pendudukan’ militer Kerajaan Shinto Jepang (1942-1945) di Indonesia dan pemerintah penjajah kolonial Kerajaan Protestan Belanda lari ke Australia, semua bentuk Pergerakan politik dan organisasi dibekukan. PSII dan partai lainnya dibubarkan, kemudian dikubur hidup-hidup dalam model “Sangkar-Emas”, Hookookai. Bagi kaum Muslimin disediakan tempat yang bernama “Masyumi” yang merupakan medan bakti ala Jepang[23]. Selama pendudukan Jepang SM Kartosuwiryo di Jawa Hoko-Kai Cuo. Ia kemudian diangkat menjadi Sekretaris Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) bikinan Jepang yang kantor pusatnya di Jakarta. Ketua Masyumi saat itu adalah Kiyai Haji Abdul Wahab Hasyim (tokoh NU).[24]

Program militer Kerajaan Shinto Jepang adalah memperkuat pertahanan untuk memenangkan Perang Asia-Pasifik (Perang Asia-Timur Raya). Sejalan dengan itu, maka Institut Suffah pun memasukkan mata-pelajaran militer dalam kurikulumnya. Melatih pemuda-pemuda Islam Sabilillah (sayap militer Masyumi) dan Hisbullah yang datang dari berbagai daerah Priangan-Timur, Jawa Bagian Barat dan Tolitoli, Sulawesi-Selatan. Tercatat ratusan, bahkan ribuan siswa yang direkrut institut ini.[25]

Memiliki institut militer memang sudah menjadi cita-cita partai sejak keputusan Nasional Central Sarekat Islam di Bandung 17-24 Juni 1916; yang menuntut Pemerintahan sendiri, Zelfbestuur (Self Government, Islam) dan membangun organisasi kesenjataan modern melalui Indie Weebaar Actie[26] (Pertahanan Asia) untuk menghadapi Perang Dunia I (1914-1919). Cita-cita (program) partai itu baru terlaksana 26 tahun kemudian di Institut Suffah. Namun pada tahun 1948, masjid serta bangunan dalam kompleks Institut Suffah dihancurkan oleh tentara Kerajaan Protestan Belanda, yaitu pada aksi militer mereka dalam upaya menjajah kembali umat Islam bangsa Indonesia.

Dalam data tertulis yang disalin Pinardi dari pejabat militer Kodam VI Siliwangi dijelaskan bahwa pada 15 Agustus 1945 militer Kerajaan Shinto Jepang menyerah kepada Pakta Pertanan Sekutu (Allied Pact). SM Kartosuwiryo bersama Mohammad Natsir dan KH Abdul Wahab Hasyim mendirikan Partai Masyumi dengan gaya baru.[27] Sebagai ketua terpilih Moh. Natsir sedang SM Kartosuwiryo sebagai Sekretaris I. Tahun 1946 SM Kartosuwiryo mendapat tawaran dari Pemerintah Republik di Jogya untuk menjabat Menteri Muda Pertahanan, sebagai wakil dari Menteri Pertahanan Syarifuddin. Tawaran ini ditolak oleh SM Kartosuwiryo dengan alasan masih terikat dalam Masyumi dan belum mencampuri PSII.[28] Tahun 1947 SM Kartosuwiryo kembali ke Malangbong menjabat sebagai Sekretaris I Masyumi, juga diangkat menjadi Komisaris Masyumi Daerah Jawa-Barat.[29]

Pasca Perang Dunia II (1939-1945), Kerajaan Protestan Belanda berusaha kembali menguasai negeri jajahan lamanya, Indonesia. Dari Australia dengan menumpang tentara Sekutu, Allied Pact, Amerika, Prancis, Rusia, Inggeris. Mereka sampai di Tanjung Priok, Jakarta. Bersamaan dengan itu, tentara Kerajaan Protestan Belanda menyusup dengan nama Netherlands Indies Civil Administration–NICA, kemudian disusul datangnya Gubenur Jenderal Van Mook pada 5 Oktober 1945.[30] Dalam sejarah Indonesia, peristiwa itu dicatat sebagai aksi militer Kerajaan Protestan Belanda pertama 21 Juli tahun 1947 dan aksi militer kedua tahun 1949.

Menyikapi keadaan itu, SM. Kartosuwiryo berusaha mengkoodinasi (menyusun) kekuatan Umat Islam yang berada di Jawa bagian Barat. Dimulai dari beberapa Konferensi Umat Islam Cirebon, Tasikmalaya dan puncaknya pada 7-10 Februari 1948,[31] Konferensi di Cisayong dengan membentuk Majlis Islam sebagai landasan perjuangan umat Islam menghadapi kafir, Kerajaan Protestan Belanda. Pada konferensi itu juga dapat dikonsolidasikan kekuatan militer Islam dalam wadah yang bernama Tentara Islam Indonesia (TII).[32]

Majlis Islam dan Tentara Islam Indonesia (MI/TII) yang baru dipersatukan itu menghadapi pertempuran ‘besar’ (kubra) di sekitar Gunung Cupu, Tasik. Pertempuran sebagai medan Jihad pertama itu mengobarkan revolusi Islam pada tanggal 17 Februari 1948, hanya seminggu dari dibentuknya MI/TII. Berikutnya disusun Dewan Imamah, Dewan Fatwa dan Undang-Undang Dasar Negara (Qanun ‘Asasi) melalui beberapa Konferensi Umat Islam[33] antara tahun 1948 dan awal bulan Agustus 1949.

Sementara itu Pemerintah Republik masih disibukkan dengan diplomasi perundingan dan perjanjian-perjanjian; dari Linggarjati 10-15 November 1946 Indonesia secara de facto tinggal Sumatera, Jawa dan Madura. Kemudian perjanjian (perundingan) Renville Agreement 17 Januari 1948 di atas kapal perang Amerika Renville; Indonesia de facto berdasarkan demarkasi Van Mook tinggal Yogyakarta dengan delapan keresidenannya.[34] Akibatnya fatal, Pemerintah Republik pindah ke Yogya dan seluruh kekuatan militer ditarik ke delapan kota (residen)-nya.[35] Rakyat Jawa bagian Barat khususnya serta daerah-daerah lainnya dibiarkan menentukan nasib sendiri. Maka SM Kartosuwiryo bersama-sama Umat Islam Bangsa Indonesia menentukan perjalanan hidupnya yaitu dengan memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Madinah-Indonesia, Jawa bagian Barat pada 12 Syawal 1368/7 Agustus 1949.

Negara yang dibangun itu memenuhi cukup syarat sah sebagai Negara yang berdaulat menurut ukuran pada umumnya; yaitu memiliki Pemerintahan, Imam (presiden) dan Dewan Imamahnya (menteri-menteri) dan Undang-undang dasar (Qonun Asasi). Menguasai wilayah de facto Jawa Bagian Barat.[36] Mempunyai rakyat sendiri, yaitu Umat Islam Bangsa Indonesia. Pemerintahan Islam, wilayah kekuasaan, pertahanan militer dan rakyat: umat Islam bangsa Indonesia. Pemerintahan yang sesuai dengan tuntutan Kongres Central Sarekat Islam pertama (1916) di Bandung, 33 tahun silam.: Zelfbestuur (Self Government, Islam)[37] dari imperialis kafir, Kerajaan Protestan Belanda.

Setelah Negara Islam diproklamasikan, kemudian dipermaklumkan hukum Islam yang berlaku dalam wilayah de facto atas pemerintahan dan rakyatnya, yaitu “Hukmul Islam fi Waqtil Harbi”, Hukum Islam dalam masa perang dan Jihad melawan kafir, penjajah Kerajaan Protestan Belanda, dimana SM Kartosuwiryo sebagai penggerak (muharridh) Jihad.

Selama ini NII merupakan Negara Islam dimasa perang atau Darul Islam Fi-Waqtil-Harbi. Maka segala Hukum yang berlaku dalam masa itu, di dalam lingkungan NII ialah Hukum Islam dimasa Perang.[38]

Kartosuwiryo adalah Imam, kepala Negara, juga Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Ia turut bergerilya (perang), berjihad selama 13 tahun di Jawa Bagian Barat, sebagai medan bakti Sabilillah. Selanjutnya berkaitan dengan eksistensi (wujud) Negara ini akan kita bahas lebih lanjut dalam metode sejarah tiga Marhalah (3M).

Pengalaman dipenjara
SM Kartosuwiryo, berdasar buku Pinardi; dua kali masuk penjara. Pertama tahun 1936, yaitu ketika baru memisahkan diri dari kelompok Haji Agus Salim (PSII-Penyedar). Ia dipenjarakan oleh Belanda di penjara Gang Tengah di Jakarta hanya beberapa hari, karena dituduh ingin memberontak terhadap imperialis Kerajaan Protestan Belanda. Kedua kalinya ketika zaman Jepang di Purwakarta, yaitu ketika militer Kerajaan Shinto Jepang hendak menyerbu Indonesia. Ia dimasukkan dalam penjara selama satu setengah bulan, karena dituduh menjadi mata-mata Kerajaan Shinto Jepang.[39] Dan penjara ketiga,[40] adalah penjara yang mengantarnya ke tingkat syahadah dunia dan akhirat, yaitu melalui Mahadper (1962) Mahkamah Angkatan Darat (Republik Indonesia) dalam keadaan Perang untuk Jawa dan Madura. Sidang yang berlangsung selama tiga hari itu; dua hari (14-15) Agustus merupakan sidang tertutup, dan tanggal 16 Agustus, merupakan sidang terbuka, saat keputusan diumumkan.[41] Hukuman mati Mahadper adalah ‘kehormatan’ yang layak diterima SM Kartosuwiryo as-Syahid sebagai Mujahid (Panglima-Militer) membela dan mempertahankan Negara dan rakyatnya.[42] Mahkamah militer (RI) itu dibentuk khusus untuk menyidangkan kasusnya.[43]

PUSTAKA:
[1] Ensiklopedi Islam, jilid 3. hal 18-19.
[2] Parmadi, Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo, PT. Aryaguna, Jakarta, 1964, hal. 20
[3] Marijan dalam bahasa Jawa, kemungkinan dari ucapan Arab: Marjan. yang berarti (permata). Ayahnya bekerja pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan sekretaris distrik (lihat swaramuslim net.) Selanjutnya kita tuliskan dalam ejaan bahasa Indonesia yang diperbaharui: Sekarmaji Marijan (SM) Kartosuwiryo.
[4] Partai Komunis India (PKI) yang kemudian menamakan diri Partai Komunis Indonesia (1927). Mereka disebut juga dengan sebutan Nasionalis Sekuler non agama untuk membedakannya dari nasionalis sekuler agama. Lihat juga, Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Rjawali Pers, Jakarta, januari 2000.
[5] Biasanya digunakan istilah SI Merah (Komunis) dan SI Putih (Islam).
[6] Lihat Sejarah Penubuhan Organisasi oleh Ketuanya R. Sjamsoeridjal dalam Api Sejarah jilid 1, hal. 502. Jabatan akhir SM Kartosuwiryo di perhimpunan ini sebagai Ketua Cabang Surabaya. Lihat Parmadi, ibid.
[7] Usia termuda yang dapat diterima menjadi anggota SI adalah 18 tahun. Lihat Amelz hal. 36. Kalau benar apa yang kita katakan ini, maka keaktifannya dalam organisasi politik Islam (PSII) berkisar antara tahun 1923 dan tahun 1925.
[8] Pinardi, ibid. h.22. Barangkali PID yang dimaksud adalah politie-inlichtingendienst (polisi intelijen).
[9] Abdul Quddus Ghazali Tusi, berasal dari Banten yang nantinya duduk dalam Majlis Fatwa Negara Islam Indonesia. Dan Raden Oni Syahroni dari Tasik, sebagai Majlis Pertahanan dalam NII.
[10] Pinardi, hal 28.
[11] Ibid h. 22.
[12] Ibid.
[13] Pegawai Negeri yang dimaksud tentunya, yaitu Imperialis kolonial penjajah Kerajaan Protestan Belanda atau Kerajaan Shinto Jepang, maupun Republik Indonesia (Negara Pancasila). Ibid, lihat, hal. 40.
[14] Pinardi, hal. 23
[15] Dalam ungkapan Pinardi, bunga kebanggaan kota kecil Malangbong, wanita shalihah dan rupawan dan lid PSII militant, hal 23.
[16] Lihat Tempo 22 Agustus 2010, Edisi Khusus.
[17] Pinardi hal. 23.
[18] 45 Tahun Sumpah Pemuda, Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa dll. Lihat Api Sejarah, Jilid 1, hal 505.
[19] Pinardi, ibid. hal. 25
[20] Kongres pertama sejak wafatnya Presiden Pertama PSII; Haji O.S. Cokroaminoto.
[21] Lihat Pinardi, hal 25
[22] Nama Suffah berarti suci (bersih) yang berasal dari kata Suffah yang digunakan untuk beranda Masjid Nabawi Madinah. Ada yang berkata Institut ini berdiri tahun 1940.
[23] SM. Kartosuwiryo menganggap masa ini masa gelap, hidup dalam tanah (underground). Lihat Ibnu Bahasan, Halumma ila Mardhatillah, hal. 57.
[24] Lihat Pinardi, hal 31.
[25] Pinardi, hal. 29. (alumni Institut Suffah ada juga yang bertugas di TNI, misalnya Letkol Soetoko).
[26] Lihat Suryanegara, Api Sejarah Jilid 2, hal. 6.
[27] Partai Masyumi didirikan pada 7 November 1945, lihat Api Sejarah Jilid 2, hal xxi.
[28] PSII yang dimaksud tentunya PSII-Parlemen (Kooperasi). Lihat Suryanegara, Api Sejarah, Jilid 2, hal. 237.
[29] Pinardi, hal 31-32.
[30] Suryanegara, Api Sejarah, Jilid 2, hal. 177.
[31] Ibid, hal 33
[32] Di antara mereka banyak yang berasal dari satuan Hisbullah dan Sabilillah alumni Institut Suffah.
[33] Konferensi Umat Islam Cipeundeuy pertama, 3 Maret, Konferensi Umat Islam Cijoho 1-5 Mei 1948 dan Konferensi Umat Islam Cipeundeuy kedua 27 Agustus 1948.
[34] Suryanegara, Api Sejarah, jilid 2, hal. 240.
[35] Ibid 241
[36] Berdasar garis demarkasi Van Mook ketika itu, Jawa bagian barat masuk dalam adminisrtasi NICA, penjajah Kerajaan Protestan Belanda, tetapi belum sepenuhnya dikuasainya.
[37] Ini juga sebenarnya yang dimaksud Suryanegara; sebagai tuntutan perjuangan umat Islam dari 40 kesultanan yang pernah eksis di Indonesia.
[38] Disalin dari Penjelasan Singkat Proklamasi NII, no 6 & 7 yang termaktub dalam Pedoman Darma Bakti 1, 2 dan 3 dan dapat di lihat dalam buku Pinardi, hal.74-75.
[39] Pinardi, hal 35.
[40] Penjara ini tidak ditemukan dalam tulisan Pinardi; penjara anak bangsanya sendiri.
[41] Pinardi, hal. 13.
[42] Tawaran grasi oleh Mahmilub (barangkali maksudnya Mahadper) ditolak oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, dengan menyatakan: Haram hukumnya saya meminta grasi kepada manusia Presiden Soekarno. Makin cepat eksekusi dilaksanakan, makin cepat saya melihat hasil ijtihad (Jihad?) saya dihadapan Mahkamah Allah. Disalin dari Api Sejarah, jilid 2, hal. 348.
[43] Mahadper di zaman Sukarno setelah kasus itu tidak pernah ada lagi. Dan pada zaman Suharto, 1966 ada Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) yang menyidangkan kasus pemberontakan “G30S PKI”.

*Sumber: Manhaj Bernegara dalam Haji (Kajian Sirah Nabawi di Indonesia), Media Madania, Jakarta, November 2011.

link: Media Madania

0 komentar:

Posting Komentar