Home » » Islam Bernegara di Indonesia

Islam Bernegara di Indonesia

Tokoh-Tokoh Pergerakan Islam
Sejarah Islam bernegara di Indonesia setidaknya bisa kita lihat dalam tiga episode, babakan atau kurun waktunya, yaitu: pra-penjajahan, masa penjajahan, dan pasca penjajahan.

Islam bernegara di Indonesia pra-penjajahan adalah Islam yang memiliki sejarah Islam bernegara yang lama; dalam bentuk kesultanan. Kita kenal kesultanan Samudera Pasai, Malaka, Aceh Darus-Salam, Demak, Mataram, Cirebon, Banten, Gowa, Ternate dan Tidore dll-nya. Islam di masa penjajahan kolonial Kerajaan Protestan Belanda bisa kita lacak diantaranya dalam bentuk kiprah penjajah dalam ‘menjinakkan’ (baca: menghancurkan) politik Pemerintahan Islam. Di kurun waktu ini kita menemukan beberapa peristiwa pemberontakan dan upaya mengusir penjajah yang berlandaskan dan berbasis Islam seperti Perang Aceh, Diponegoro, Imam Bonjol, Banten, Mataram dan lain sebagainya.

Di sini kita akan mengupas sejarah Islam bernegara di Indonesia dalam kurun waktu antara awal tahun 1900 sampai 1962/65. Kurun waktu ini biasa disebut masa Gerakan Islam Modern. Di masa ini, konsep perjuangan Islam dalam bernegara telah mulai terbentuk dalam organisasi yang berlandaskan Islam dan mempunyai strategi serta program yang jelas. Pergerakan Islam di Indonesia di kurun waktu ini tidak dapat dipisahkan dari Tiga Tokoh Muslim sebagai pelopornya. Masing-masing dari ketiga tokoh tersebut berkesinambungan gerak sebagai kesatuan untuk mencapai tujuan (goal) dalam melaksanakan teladan Nabi Muhammad SAW; yang menjadikan Islam sebagai strategi perjuangan.

Bermula dari pelopor pembangkit Iman (kepercayaan) yang hampir punah dari jiwa umat Islam yang terjajah sekian lama (lebih dari 350 tahun), Haji Samanhudi, penggagas organisasi masyarakat muslim (ormas) pertama, Sarekat Dagang Islam (SDI, 1905) dan Sarekat Islam (SI, 1906). Kedua Haji Omar Said (HOS) Cokroaminoto, organisator ulung yang menggariskan konsep strategi perjuangan Islam melalui politik non-kooperasi (Sikap-Hijrah) dan konseptor ide ad-Daulah al-Islamiyah yang dicapai melalui jalan menyusun kekuatan dan memiliki kekuasan untuk mencapai kemerdekaan agama (Islam) dan bangsa dari penjajah (imperialis) kafir Kerajaan Protestan Belanda. Dan ketiga Sekarmaji Marijan (SM) Kartosuwiryo, yang mengobarkan semangat Jihad (perang) menghadapi penjajah kafir, penjajah kolonial Kerajaan Protestan Belanda yang berusaha kembali menguasai Indonesia (1947/48), tepatnya pada agresinya pertama dan kedua. Jihad juga dikobarkan untuk membela dan mempertahankan proklamasi Negara Islam Indonesia (7 Agustus 1949) dan memperlakukan Hukum Islam dalam masa Perang, Hukmul-Islam fi Waqtil-harbi[1] di Indonesia.

Santri, Priyayi, dan Abangan

Haji Samanhudi dapat dikatakan orang yang mewakili kalangan santri. Ia hidup dalam keluarga taat agama (santri) dan dididik dengan pengetahuan Islam ala santri, pernah bermukim di Makkah dalam musim Haji. Haji Omar Said (HOS) Cokroaminoto terlahir dari lingkungan Priyayi (Ninggrat). Ia berasal dari keluarga priyayi era kolonial penjajah, mendapat pendidikan formal Barat (Belanda). Dia memahami Islam dan ajarannya dari sumber buku-buku yang berbahasa dan aksara Jawa[2] secara otodidak. Kemudian dia belajar dengan membaca leteratur bahasa Barat (Belanda) yang membuka wawasan pemikiran tentang pemerintahan politik Islam. Sedangkan Sekarmaji Marijan (SM) Kartosuwiryo, berlatar belakang keluarga dan lingkungan Abangan[3]. Ia memahami Islam dan pemerintahan politik (Islam) dari guru dan ketuanya[4] yaitu presiden PSII: HOS Cokroaminoto. Karakternya dibentuk dan digembleng dalam wadah (lapangan) perjuangan organisasi Islam, dan Alim Ulama Jawa-Barat.

Mencermati ketiga tokoh yang kita bentangkan di atas dengan meminjam istilah yang dipakai Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa[5], tampak dengan terang bahwa latar belakang pengkotakkan Geertz tidak menghalangi mereka dalam satu garis perjuangan, yaitu Pergerakan Islam di Indonesia. Malah mereka telah mengukir bentuk Pergerakan tersebut menjadi bertambah terang sehingga mempunyai cara serta tujuan yang jelas. Kalangan Santri, Priyayi, dan Abangan bersama-sama menggariskan Islam sebagai penggerak (strategi) perjuangan dalam memerdekakan bangsa dari keterpurukan penjajah kafir, Kerajaan Protestan Belanda. Membimbing manusia (Muslim) dengan Islam dan ajarannya menuju pemerintahan politik sendiri; yaitu pemerintahan Islam. Santri membina wadah dan menghimpun manusia dalam Islam. Priyayi mengatur langkah dan gerak massa Islam dengan metode dan organisasi modern. Dan Abangan, bersama-sama Umat Islam Bangsa Indonesia yang telah tersedia membina serta mempertahankan Islam dan pemerintahan (Negara) Islam dengan Jihad dan ketaatan (Disiplin).
Nabi Muhammad bersabda, “Bada’al Islam ghariban sayakunu ghariban kama bada’. Tuba lil ghuraba’.” (Islam bermula dari aneh (asing) dan akan kembali menjadi asing. Maka berbahagialah mereka yang gharib).
Tujuan mengetengahkan tiga tokoh di atas—dan sangat diperlukan—adalah sebagai usaha untuk membedakannya dari Sirah Nabawi yang hanya mempunyai satu tokoh sentral dalam perjuangan tiga marhalahnya (Iman, Hijrah dan Jihad), yaitu Nabi Muhammad SAW. Ia adalah hamba-Allah dan utusan-Nya yang mendapat bimbingan langsung dari Allah Ta’ala melalui wahyu-Nya. Adapun tokoh-tokoh Pergerakan[6] kita tersebut hanyalah manusia biasa. Mereka memiliki kesungguhan untuk mengaplikasikan wahyu Ilahi dalam gerak langkah tauladan Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Rasulullah SAW hanya memerlukan masa kurang dari 25 tahun menyempurnakan tiga marhalah (3M) dalam merombak masyarakat jahiliyah. Sedangkan ketiga tokoh Pergerakan Islam di Indonesia telah mengarungi satu abad (100 tahun) lebih dan masih perlu bantuan dari tokoh-tokoh lain untuk menyempurnakan misi-Nya.
Mengenangkan semua itu, marilah kita doakan mereka, dan diri kita masing-masing:
Allahummaj’alna minhum wa fi zumratihim. Amin.
Allahumma Ya. Allah jadikanlah kami seperti mereka dan masukkanlah kami dalam golongan mereka.
Dengan mengetengahkan tokoh-tokoh yang mengaplikasikan Iman, Hijrah dan Jihad diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman Sejarah dengan metode 3M (Tiga Marhalah) dalam narasi Pergerakan Islam abad 20 (1905-1962) di Indonesia serta dapat diterima sebagai satu buku pengantar mengembangkan metode 3M dalam ilmu sejarah.


[1] Lihat teks Proklamasi Negara Islam dan Penjelasan ringkasnya dalam buku Pinardi, hal. 74-76.
[2] Perhatikan kata-kata Ki Hajar Dewantara, kakanda Cokroaminoto tidak asing dalam alam kesusasteraan (Jawa). Amelz, HOS Tjokroaminoto Hidoep dan Perdjoeangannja. Bulan Bintang, Jakarta, 1952, hal 30.
[3] Baca Tempo, Agustus 2010, Edisi Khusus 16-22 Agustus 2010, Kolom Kartosoewirjo, tulisan Bachtiar Efendi, hal. 72.
[4] Dia pernah menjadi sekretaris pribadi HOS Cokroaminoto dari tahun 1927-1929. Lihat Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Badan Penerbit Aryaguna, Jakarta, 1964, hal. 23.
[5] Lihat Clifford Geertz, The Religion of Jawa. Terjemahannya: Abangan, Santri, Priyayian, Pustaka Jaya, 1983.
[6] Dalam tulisan ini satu marhalah disandang oleh satu tokoh, tetapi banyak tokoh-tokoh lain yang akan dikemukakan dalam pembahasan selanjutnya. Maksudnya, apa yang dilakukan oleh Nabi seorang diri, harus dilakukan pengikutnya secara kolektif berjamaah. Disini jelas tampak perbedaan kualitas pada diri Rasulullah dibanding pengikutnya.
*Sumber: Manhaj Bernegara dalam Haji (Kajian Sirah Nabawi di Indonesia), Media Madania, Jakarta, November 2011.

link: Media Madania

0 komentar:

Posting Komentar